Transistor adalah termasuk komponen utama dalam elektronika. Transistor terbuat dari 2 dioda germanium yang disatukan. Tegangan kerja transistor sama dengan dioda yaitu 0,6 volt.
Transistor memiliki 3 kaki yaitu :
Emitor (E)
Basis (B)
Colector (C)
Jenis transistor ada 2 yaitu :
1. Transistor PNP (anoda katoda anoda / kaki katoda yang disatukan)
2. Transistor NPN (katoda anoda katoda / kaki anoda yang disatukan)
Contoh transistor : C 828, FCS 9014, FCS 9013, TIP 32, TIP 31, C5149, C5129, C5804, BU2520DF, BU2507DX, dll
Menentukan Kaki Transistor
Menentukan Kaki Basis
Putar batas ukur pada Ohmmeter X10 atau X100.
Misalkan kaki transistor kita namakan A, B, dan C.
Bila probe merah / hitam => kaki A dan probe lainnya => 2 kaki lainnya secara bergantian jarum bergerak semua dan jika dibalik posisi hubungnya tidak bergerak semua maka itulah kaki BASIS.
Menentukan Kaki Colector NPN
Putar batas ukur pada Ohmmeter X1K atau X10K.
Bila probe merah => kaki B dan probe hitam => kaki C. Kemudian kaki A (basis) dan kaki B dipegang dengan tangan tapi antar kaki jangan sampai terhubung. Bila jarum bergerak sedikit berarti kaki B itulah kaki COLECTOR.
Jika kaki basis dan colector sudah diketahui berarti kaki satunya adalah emitor.
Mengukur Transistor Dengan Multitester
Batas ukur pada Ohmmeter X10 / X100
Transistor PNP
Transistor NPN
Transistor NPN Dengan Dumper
Transistor NPN Dengan Dumper
Senin, 19 Desember 2011
Sabtu, 03 Desember 2011
Sejarah Kota Pasuruan
Sejarah Kota Pasuruan
Pasuruan adalah sebuah kota pelabuhan kuno. Pada zaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan "Paravan" . Pada masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak geografisnya yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antar pulau serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai.
[sunting]Sejarah Kota Pasuruan
Pasuruan yang dahulu disebut Gembong merupakan daerah yang cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang beragama Hindu. Pada dasawarsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda (Pasuruan) adalah Pate Supetak, yang dalam babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibukota Pasuruan.
Menurut kronik Jawa tentang penaklukan oleh Sultan Trenggono dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada tahun 1545. Sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Pada tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.
Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa di Pasuruan adalah seorang Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari Kertosuro sehingga Pasuruan jatuh dan Kiai Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke Surabaya hingga meninggal dunia dan dimakamkan diPemakaman Bibis (Surabaya).
Selanjutnya yang menjadi raja adalah putra Kiai Gedee Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II (1645-1657). Pada tahun 1657 Kiai Gedee Dermoyudho II mendapat serangan dari Mas Pekik (Surabaya), sehingga Kiai Gedee Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di Kampung Dermoyudho, Kelurahan Purworejo, Kota Pasuruan. Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III) hingga meninggal dunia pada tahun 1671 dan diganti oleh putranya, Kiai Onggojoyo dari Surabaya (1671-1686).
Kiai Onggojoyo kemudian harus menyerahkan kekuasaanya kepada Untung Suropati. Untung Suropati adalah seorang budak belian yang berjuang menentang Belanda, pada saat itu Untung Suropati sedang berada di Mataram setelah berhasil membunuh Kapten Tack. Untuk menghindari kecurigaan Belanda, pada tanggal 8 Februari 1686, Pangeran Nerangkusumayang telah mendapat restu dari Amangkurat I (Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke Pasuruan untuk menjadi adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan sekitarnya.
Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati (1686-1706) dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni Belanda. Namun demikian dia masih sempat menjalankan pemerintahan dengan baik serta senantiasa membangkitkan semangat juang pada rakyatnya.
Pemerintah Belanda terus berusaha menumpas perjuangan Untung Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Belanda kemudian bekerja sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama Onggojoyo untuk menyerang Untung Suropati. Mendapat serangan dari Onggojoyo yang dibantu oleh tentara Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka berat hingga meninggal dunia (1706). Belum diketahui secara pasti dimana letak makam Untung Suropati, namun dapat ditemui sebuah petilasan berupa gua tempat persembunyiannya pada saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan, Kota Pasuruan.
Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).
Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho (IV) kemudian menjadi Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun 1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan, yang menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro.
Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabai Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda. Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting sehingga menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah: Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, danKabupaten Bangil.
Karena jasanya terhadap Belanda, Kiai Ngabai Wongsonegoro diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang merupakan keturunan dari Sunan Ampel, Surabaya. Pada saat dihadiahkan, Raden Ayu Berie dalam keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden Groedo. Saat Kiai Ngabai Wongsonegoro meninggal dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun menggantikan kedudukannya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal 27 Juli 1751).
Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48 tahun (hingga 8 November 1799). Adipati Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai Hasan Sanusi (Mbah Slagah).
Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelarToemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809, Toemenggoeng Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dan dimakamkan di belakang Masjid Al Anwar. Penggantinya adalah Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah Surga-Surgi.
Pemerintahan Pasuruan sudah ada sejak Kiai Dermoyudho I hingga dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari1901. Sedangkan Kotapraja (Gementee) Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918 No.320 dengan nama Stads Gemeente Van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.
Sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi 3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.
AJARAN FILSAFAT JAWA
AJARAN FILSAFAT JAWA
A. Hakikat Kebenaran
Kata filsafat berasal dari sebuah kata majemuk dalam bahasa Yunani, philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan. Sedang orang yang melakukannya disebut filsuf yang berasal dari kata Yunani philosopos. Kedua kata itu sudah lama dipakai orang. Dari sejarah telah terungkap bahwa kata-kata itu sudah dipakai oleh filsuf Socrates dan Plato pada abad V sebelum Masehi. Seorang filsuf berarti seorang pencinta kebijaksanaan, berarti orang tersebut telah mencapai status adimanusiawi atau wicaksana. Orang yang wicaksana disebut juga sebagai jalma sulaksana, waskitha ngerti sadurunge winarah atau jalma limpat seprapat tamat.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai hakikat kebenaran. Wayang sebagai pertunjukan merupakan ungkapan dan peragaan pengalaman religius yang merangkum bahwa wayang dan pewayangan mengandung filsafat yang dalam dan dapat memberi peluang untuk melakukan filsafati dan mistis sekaligus. Pada umumnya penggemar pewayangan beranggapan bahwa tidak ada kebenaran dan kesalahan yang mutlak. Sikap toleransi mereka terungkap dalam kata seloka yang cukup populer yaitu aja dumeh, jangan mentangmentang dan aja nggugu benere dhewe, jangan menuruti kebenaran sendiri. Bila di Barat filsafat diartikan cinta kearifan, maka di Jawa berarti cinta kesempurnaan atau ngudi kawicaksa-nan atau kearifan, wisdom. Di Barat lebih ditekankan sebagai hasil renungan dengan rasio atau cipta-akal pikir-nalar dan berarti pengetahuan berbagai bidang yang dapat mem-beri petunjuk pelaksanaan sehari-hari. Di dalam kebudayaan Jawa, kesempurnaan berarti mengerti akan awal dan akhir hidup atau wikan Sangkan paran.
Kesempurnaan hidup manusia dihayati dengan seluruh totalitas cipta-rasa-karsa. Manusia sempurna telah menghayati dan mengerti awal akhir hidupnya. Orang sering menyebut mulih mula mulanira atau meninggal. Manusia telah kembali dan manunggal dengan penciptanya, manunggaling kawula Gusti. Manusia sempurna memiliki kawicaksanan dan kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu atau kawaskithan. Dalam pandangan filsafat universal, hakikat kebenaran semata-mata berorientasi pada aktifitas olah cipta. Sedangkan dalam filsafat Jawa, hakikat kebenaran lebih berorientasi kepada olah rasa, yaitu sari rasa jati - sarira sajati, sari rasa tunggal - sarira satunggal. Berpangkal tolak dari ketajaman spiritual tingkat tinggi ini, maka filsafat Jawa dapat mengantarkan seseorang menjadi pribadi adimanusiawi. Segala hal yang berkaitan dengan owah gingsiring jaman dipandang dalam perspektif batiniah yang bener-pener dan genep-genah.
Unsur-unsur ilmu filsafat yang terdiri dari logika - etika – estetika, dalam kawruh Kejawen, lebih populer dengan istilah cipta – rasa - karsa. Pagelaran wayang purwa yang merupakan lambang wewayanganing ngaurip, telah merangkum sinopsis ketiga unsur tersebut. Lakon Begawan Ciptoning merupakan simbol Raden Arjuna yang selalu mengutamakan daya cipta dan logikanya. Lakon Bima Suci merupakan simbol Raden Werkudara yang selalu mengutamakan daya karsa dan etikanya. Lakon Jamus Kalimasada merupakan simbol Prabu Puntadewa yang selalu mengutamakan daya rasa dan estetikanya.
Kebijaksanaan hidup yang dilandasi logika - etika - estetika, cipta - rasa - karsa, kebenaran - kebaikan – keindahan, dalam filsafat Jawa akan bersemayam dalam sanubari jalma pinilih, pethingane manungsa, pitatane dumadi. Manusia berjiwa agung, yang tidak kaget atas segala perubahan sosial, karena dirinya sudah pana pranaweng kapti, tan samar pamoring suksma, sinuksmaya winahya ing ngasepi. Hatinya selalu terang benderang. Pambukane warana, sinimpen telenging kalbu, tarlen saking liyep-layaping aluyup. Layar kesadarannya akan memantulkan aura kewibawaan. Itulah intisari ajaran filsafat Jawa.
B. Menggali Kearifan Tradisional
Penggalian kearifan tradisional dapat dikaji lewat perilaku kehidupan masyarakat di wilayah pedesaan. Denyut nadi kehidupan tradisional bisa terlihat dari betapa hiruk pikuknya masyarakat dalam bekerja dan berusaha untuk meraih nafkah rezeki. Pagi-pagi benar, sebelum ayam jantan berkokok, orang Jawa sudah bangun tidur. Menurut keyakinan mereka rejeki seseorang akan diambil oleh ayam bila bangun tidur kesiangan. Tugas sehari-hari sudah menunggu untuk diselesaikan sesuai dengan profesinya masing-masing. Para pedagang memulai paginya dengan harapan yang optimis. Para mbok-mbok bakul mempersiapkan dagangannya di pasar-pasar. Hasil bumi yang berupa beras, jagung, ketela, sayuran dan buah-buahan di gelar di pasar untuk dipertemukan kepada konsumen. Mereka berjalan menuju ke pasar dengan membawa barang-barang dagangan itu dengan cara dipikul, digendong dengan diterangi obor.
Kehidupan perekonomian desa berporos pada perdagangan tradisional. Perdagangan tradisional berlangsung pada hari pasaran, yakni Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Tawar-menawar antara pedagang dan pembeli boleh jadi sangat alot, sehingga merupakan suatu seni tersendiri dalam transaksi perdagangan. Sistem pedagang bakulan itu merupakan sokoguru perekonomian Jawa. Kegiatan pertanian di sawah digerakkan oleh Pak Tani. Kegiatan Pak Tani sudah dimulai dengan mengasah sabit dan membetulkan cangkul. Pak Tani berangkat ke sawah tanpa alas kaki dan siap mengolah lahannya. Antar pemilik sawah suka bekerja sama dengan tidak mengharapkan imbalan. Sambil macul mereka juga menyabit rumput untuk pakan ternak. Seolah-olah pakan ternak itu adalah oleh-oleh untuk raja kaya mereka yang menunggu di rumah. Para petani adalah pekerja yang ulet. Pekerjaannya yang dekat dengan tanah, air dan udara yang sangat segar membuat hidup menjadi tenang, tentram, seimbang, dan alami. Tidak jarang di antara petani itu suka rengeng-rengeng, berdendang tembang dan lagu daerah dengan santai. Orientasi mereka bukan hasil kuantitatif tetapi proses kualitatif. Sikap beringas, keras, cemburu dan iri sukar berkembang. Masing-masing pihak tahu diri dan sadar hak dan kewajibannya.
Bu Tani sebagai ibu rumah tangga sekaligus pendamping suami adalah perempuan yang tangguh. Bu Tani yang bertugas di rumah tak kalah sibuknya mengurus rumah tangga. Memasak, mencuci dan membereskan pekerjaan rumah tangga adalah kewajiban pokoknya. Pantangan bagi Bu Tani adalah bila genthong kosong dan kendhi tak berisi. Genthong dan kendhi merupakan simbol wadah rejeki. Kalau genthong kendhi hampa, akan ditafsirkan keluarga petani itu akan lamban dan lambat dalam memperoleh rejeki. Selain itu wadah yang kering juga membuat suasana panas yang memudahkan hari untuk marah. Prinsip Bu Tani terhadap kedudukan suami adalah suwarga nunut neraka katut, yaitu suami yang jaya akan sekaligus meningkatkan kejayaan istri. Sebaliknya suami yang jatuh, maka istri pun pasti juga merasakan kesengsaraan.
Anak-anak merupakan harapan masa depan keluarga. Adapun tugas anak-anak adalah mikul dhuwur mendhem jero nama baik kedua orang tuanya. Maksudnya si anak itu harus mau menjunjung tinggi harkat dan martabat ayah ibu. Orang Jawa mengatakan anak polah bapak kepradah. Artinya bahwa tingkah laku anak senantiasa membawa nama orang tua. Kebesaran orang tua bisa tercemar karena anaknya yang urakan dan melanggar peraturan. Pembagian kerja di wilayah pedusunan itu sudah berlaku turun-temurun. Konflik jarang terjadi karena masing-masing pihak sudah faham terhadap hak dan kewajibannya masing-masing.
C. Konsep Wa Pitu
Prabu Jayabaya adalah raja agung Kraton Kediri yang sudah misuwur sebagai narendra gung binathara, mbaudhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, memayu hayuning bawana. Beliau memang raja besar laksana Sang Hyang Wisnu yang angejawantah ing madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijak bestari. Kewibawaannya telah membuat ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang membuat kerajaan Kediri mencapai masa kejayaan dan keemasan.
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Ingkang Sinuwun Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kraton kediri didukung oleh tampilnya cendekian terkemuka : Empu Sedah, Panuluh, Darmaja, Triguna dan Manoguna. Mereka adalah jaama sulaksana, manusia paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabaya, Kraton kediri mencapai puncak peradaban terbukti dengan lahirnya kakawin Baratayuda, Gathutkacasraya, dan Hariwangsa yang hingga kini merupakan warisan karya sastra bermutu tinggi.
Strategi Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kraton yang beribukota di Dahono Puro bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi. Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja.
Dalam bidang spiritual juga sangat maju. Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri kerap melakukan tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur. Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu Jayabaya ngerti sadurunge winarah yang bisa meramal owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda jaman saat ini.
Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja, nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang gedhe obore, padhang jagade, dhuwur kukuse, adoh kuncarane, ampuh kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Konsep sapta wa atau Wa Pitu, dijadikan sebagai program utama yaitu : wastra (sandang), wareg (pangan), wisma (papan), wasis (pendidikan), waras (kesehatan), waskita (keruhanian) dan wicaksana (kebijaksanaan).
Dengan menengok perjalanan sejarah di atas, kita dapat bercermin untuk menata kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Pikiran-pikiran yang berkembang saat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari kehidupan masa lampau. Dalam kehidupan orang Jawa kesempurnaan karier seseorang tercapai bila telah memperoleh curiga, garwa, turangga, wisma, wirya dan kukila.
1. Curiga
Curiga berarti senjata. Pengertiannya adalah seseorang yang sudah bisa mengatasi kebutuhan hidup secara mandiri, tidak tergantung pada orang lain. Dengan aktivitas yang bermanfaat akan mendatangkan reward atau pemasukan bagi dirinya sendiri.
2. Garwa
Garwa berarti teman hidup sebagai suami istri. Dalam jarwa dhosok garwa bermakna sigaraning nyawa atau belahan jiwa. Seseorang akan bertambah sempurna hidupnya manakala sudah ada pendamping hidup. Dengan menjalankan pernikahan berarti seseorang mulai hidup baru yang nantinya juga akan lahir generasi penerus sebagai pelanjut sejarahnya.
3. Turangga
Turangga berarti kuda. Dalam hidup sehari-hari, mobilitas seseorang dipengaruhi oleh fasilitas transportasi. Kini turangga bisa dimanifestasikan dalam wujud kendaraan yang cepat jalannya. Kendaraan yang memadai bisa meningkatkan produktifitas.
4. Wisma
Wisma berarti rumah. Pusat aneka ragam kegiatan seseorang memerlukan tempat yang memadai. Sebagai sentral aktivitas keluarga, rumah menempati posisi yang sangat penting. Di rumah pulalah seseorang menerima sanak kadang dan handai taulan. Dengan rumah sebagai tempat tinggal yang cukup representatif berarti pembinaan dan pendidikan anak dapat berlangsung dengan baik.
5. Wirya
Wirya berarti kekuasaan. Seseorang yang memiliki kekuasaan berarti mempunyai derajat yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Semakin tinggi pangkatnya akan semakin tinggi pula status sosialnya. Hal ini membuat dirinya diakui dan terpandang di hadapan masyarakat.
6. Kukila
Kukila berarti burung. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa suara burung yang berkicau mendatangkan ketentraman hati. Suara kicau burung juga melambangkan tertib kosmis. Orang memelihara burung mempunyai makna bahwa kehidupan dasarnya sudah terpenuhi. Dapat dikatakan bahwa burung termasuk kebutuhan sekunder yang bisa meningkatkan status seseorang.
D. Kepemimpinan Astabrata
Orang Jawa suka dengan referensi kepemimpinan menurut Lakon Wahyu Makutharama. Lakon ini menyuratkan kepemimpinan sosial yang terkenal dengan istilah astabrata, yang berarti delapan prinsip:
1. Laku Hambeging Kisma
Maknanya seorang pemimpin yang selalu berbelas kasih dengan siapa saja. Kisma artinya tanah. Tanah tidak mempedulikan siapa yang menginjaknya, semua dikasihani. Tanah selalu memperlihatkan jasanya. Walaupun dicangkul, diinjak, dipupuk, dibajak tetapi malah memberi subur dan menumbuhkan tanam-tanaman. Filsafat tanah adalah air tuba dibalas air susu. Keburukan dibalas kebaikan dan keluhuran.
2. Laku Hambeging Tirta
Maknanya seorang pemimpin harus adil seperti air yang selalu rata permukaannya. Keadilan yang ditegakkan bisa memberi kecerahan ibarat air yang membersihkan kotoran. Air tidak pernah emban oyot emban cindhe ‘pilih kasih’.
3. Laku Hambeging Dahana
Maknanya seorang pemimpin harus tegas seperti api yang sedang membakar. Namun pertimbangannya berdasarkan akal sehat yang bisa dipertanggung-jawabkan sehingga tidak membawa kerusakan di muka bumi.
4. Laku Hambeging Samirana
Maknanya seorang pemimpin harus berjiwa teliti di mana saja berada. Baik buruk rakyat harus diketahui oleh mata kepala sendiri, tanpa menggantungkan laporan dari bawahan saja. Bawahan cenderung selektif dalam memberi informasi untuk berusaha menyenangkan pimpinan.
5. Laku Hambeging Samodra
Maknanya seorang pemimpin harus mempunyai sifat pemaaf sebagaimana samudra raya yang siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Jiwa samudra mencerminkan pendukung pluralisme dalam hidup bermasyarakat yang berkharakter majemuk.
6. Laku Hambeging Surya
Maknanya seorang pemimpin harus memberi inspirasi pada bawahannya ibarat matahari yang selalu menyinari bumi dan memberi energi pada setiap makhluk.
7. Laku Hambeging Candra
Maknanya seorang pemimpin harus memberi penerangan yang menyejukkan seperti bulan bersinar terang benderang namun tidak panas. Bahkan terang bulan tampak indah sekali. Orang desa menyebutnya purnama sidi.
8. Laku Hambeging Kartika
Maknanya seorang pemimpin harus tetap percaya diri meskipun dalam dirinya ada kekurangan. Ibarat bintang-bintang di angkasa, walaupun ia sangat kecil tapi dengan optimis memancarkan cahayanya, sebagai sumbangan buat kehidupan.
Ajaran astabrata memberikan kesadaran kosmis bahwa dunia dengan segala isinya mengandung pelajaran bagi manusia yang mau merenung dan menelitinya. Norma kepemimpinan Jawa dikenal dengan ungkapan sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Maksudnya seorang pemimpin harus konsekuen untuk melaksanakan dan mewujudkan apa yang telah dikatakan. Masyarakat Jawa menyebutnya sebagai orang yang bersifat berbudi bawa laksana yaitu teguh berpegang pada janji.
SEJARAH KOTA JOGJAKARTA
SEJARAH KOTA JOGJAKARTA
PERMULAAN KATA.
KESULITAN-KESULITAN jang saja alami dalam mengerjakan „Sejarah Kota Jogjakarta", yang terutama terletak kepada bahan-bahan yang dapat memberikan kesempurnaan hingga tulisan ini bisa dipertanggung-jawabkan, untuk mengisi kekurangan-kekurangan sejarah dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya, penduduk Jogjakarta pada khususnya, karena bagaimana juga saya berusaha mencari kebutuhan-kebutuhan itu, dengan bantuan beberapa ahli sejarah, terutama dari fihak Radya Pustaka di Solo, Kawedanan Kapujanggan di Jogjakarta, jawatan Kebudayaan PP dan K. di Jogjakarta, masih juga tidak dapat bahan-bahan yang sempurna, karena dokumen-dokumen yang perlu untuk bahan¬-bahan sejarah kurang mencukupinya. Dari orang-orang tua yang saya pandang masih memperhatikan akan sejarah, saja dapati juga beberapa dongengan (legende) yang berhubungan dengan sejarah Jogjakarta dan Kotanya, tetapi sebagai kebiasaan dongengan-dongengan didalam masarakat kita yang berkenaan dengan sejarah atau tambo, pada umumnya tidak dapat diterima mentah-mentah saja, sebab umumnya mempunyai „inti sari" jang lebih mendalam, yang hanya bisa dimengerti oleh orang-¬orang yang tahu banyak tentang dasar kehidupan dan penghidupan suku Jawa saja. Dengan demikian sulitlah rasanya dijadikan bahan dalam membentuk sejarah dalam arti jang sebenarnya.
Disamping itu, saya dapati juga beberapa bahan dari buku-buku sejarah, tulisan ahli-ahli sejarah bangsa asing, diantaranya Prof. P.J.VETH, JACOB MOSSES, HARTINGs, W. H. VAN OSSENBERCs, Tijdschrift voor Nederlands Indie dan lain-lain, Tetapi tulisan-tulisan itu tidak akan bisa dipisahkan dari pada „pandangan" dan „alam /pikiran asing", dalam menghadapi suatu tanah yang sangat diinginkan supaya pengaruh politik dan kekuasaannya dapat mengusir rasa-rasa kebangsaan clan rasa menentang yang, masih ada didalam kehidupan kita. Dengan demikian bila diselami dalam-dalam, tulisan-tulisan itu inti sarinya tidak lebih dan tidak kurang hanya inti merupakan usaha atau tipu daya, supaya kedudukan mereka disini makin menjadi kuat.
Salah satu bahan yang umumnya dipandang bisa memberi pertolongan banyak, adalah Babad Gianti, sebab didalam kitab tambo ini, membuat segala gerak-gerik yang bertalian rapat dengan lahirnya Jogjakarta. Tetapi berpegang kuat-kuat pada kitab tambo inipun rasanja masih kurang tepat, karena sejarah lahirnja tambo ini sendiri juga sudah tidak murni, sebab pendapat dan pikiran serta apa jang di¬ketahui oleh marhum Kiai Josodipuro, Pujangga di Surakarta, dan beberapa orang lagi Pujangga di Jogjakarta yang sama membantu menulis Babad Gianti, tidak semuanya boleh diumumkannya, sebab lebih dahulu harus mendapat persetujuan dari pihak Vereenigde Oost Indisch Compagnie, pihak yang berkeinginan keras untuk menyembunyikan „noda-noda dan kejelekannja", sebaliknja berkeinginan keras supaya kedudukannya disini dipandang sebagai „panggilan suci, untuk mendidik dan menolong kesulitan-kesulitan Negara dan rakyat Mataram".
Kalau masih ada satu-satunya harapan saya dalam menghadapi kesulitan¬kesulitan itu, adalah meneliti sendiri tentang bekas-bekas atau tempat-tempat yang mempunyai sejarah dalam „sejarah lahirnya Jogjakarta". Tetapi penyelidikan penyelidikan saja kearah itu, juga tidak mendapatkan hasil sebagai yang saya harapkan semula, sebab hampir semua bekas-bekas atau tempat-tempat yang bersejarah dan atau mempunyai hubungan langsung dengan sejarah „lahirnya Jogjakarta" itu kini sama sekali tidak terpelihara, hampir semuanya sudah musnah, dan kalau masih nampak, hanya tinggal kumpulan puing yang sangat menyedihkan. Catatan-catatan yang berkenaan dengan bekas-bekas atau tempat-tempat itu, sama sekali tidak ada, kecuali ceritera-ceritera dari beberapa orang tua yang berumah tangga dikanan-kiri tempat-tempat itu, jang merupakan dongengan-dongengan beraneka-rupa, bahkan yang satu dengan yang lain bertentangan.
Kesulitan-kesulitan yang saya hadapi ini, saya rasa akan dihadapi juga oleh lain-lain orang yang ingin menulis soal-soal yang berhubungan dengan sejarah kita, meskipun tidak demikianlah keinginan saja. Hanya dengan pengalaman-pengalaman ini, bisa ditarik kesimpulan, bahwa didalam kehidupan kita dimasa yang lampau, sangat kurang memperhatikan, akan barang-barang yang merupakan dokumentasi, baik yang berupa tulisan-tulisan, baik yang berupa gambaran-gambaran, maupun yang merupakan monumen-monumen yang langsung mempunyai hubungan dengan sejarah hidupnya orang-orang yang penting dalam masyarakat kita. Tentu saja yang saya maksudkan, bukannya hanya yang mempunjai arti „baik" saja, tetapi meskipun yang „bagaimana juga jeleknya", benda-benda itu tetap berharga bagi sejarah, sebab sejarah tidak dapat ditipu atau disulap; sejarah memberi didikan kepada keturunan kita yang akan datang, untuk meneropong sebab-sebab dan akibatnya cara hidup leluhurnya yang telah lampau, guna menempuh penghidupan dan kehidupan yang akan datang, supaya lebih sempurna dari pada yang pernah dialami dimasa yang lampau.
Demikianlah kesulitan-kesulitan yang saya hadapi dalam mengerjakan beban yang diserahkan oleh Panitia Peringatan 200 tahun Kotapradja Jogjakarta bagian penerbitan. Dengan demikian, kecil sekali harapan saja akan bisa mengisi kekosongan kekosongan jang terdapat didalam sejarah Indonesia pada umumnya dan Jogjakarta pada khususnya. Wassalam, Penulis.
Sebagain bekas candrasengkala bekas masjid Kraton Ambarketawang
Tembok –tembok kamar bekas pertahanan Medjing telah rusak
Bekas salah satu jalan masuk tempat pertahanan keraton Ambarketawang
Gunung gamping yang dulunya juga menjadi tempat pertahanan Keraton Ambarketawang ,sekarang tingal sebagian saja dan sudah ditutup oleh pemerintah
APAKAH SEBABNYA B. P. H. MANGKUBUMI DIAM-DIAM MENINGGALKAN SURAKARTA.
POKOK tulisan ini adalah „sejarah tentang lahirnya Ibukota Jogjakarta", tetapi untuk mengupas sejarah itu, saja rasa lebih baik kita menengok kebela¬kang dahulu, untuk mengupas tentang sebab-sebabnya mengapa B. P. H. Mangkubumi, pendiri Jogjakarta dan Ibukotanya, dengan secara diam-diam meninggalkan Kota Surakarta, bersama-sama dengan para bangsawan dan pahlawan-pahlawan, yang sependapat dengan pendapat dan pendirian beliau, berkenaan dengan merajalelanya kekuasaan V.O.C. di Jawa pada umumnya dan Kerajaan Mataram pada khususnya. Diantara pengikut-pengikut beliau, terhitung juga Pangeran Hadiwidjojo, Pangeran Widjil II dan Pangeran Krapjak. Dengan memperhatikan soal-soal sekitar perlawanan itu tidak saja kita dapat mengetahui tentang beberapa soal yang sangat jarang sekali disebut-sebut didalam sejarah kita, tetapi juga dapat mengetahui tentang „keli jikan dan kelicinan"V.O.C. dalam memainkan tipu muslihat hingga mendapat hasil-hasil dan succes besar. Mengetahui juga , bahwa succes dan keme¬nangan besar yang diperoleh V. O. C., hingga dapat menguasai Indonesia pada umumnya dan Mataram pada khususnya, bukannya karena kekuatannya, tetapi yang terutama disebabkan kelemahan „kita", akibat „perpecahan" dari dalam, dan karenanya ia dapat meminjam „tenaga" dan „kekuatan" kita untuk menghancurkan „tenaga" dan „kekuatan" kita sendiri.
Sejak datangnya V.O.C. di Jawa sampai pada tahun 1705, ia telah membuat 111 kali Perjanjian dengan kerajaan Mataram. Perjanjian-Perjanjian itu merupakan „Perjanjian dagang" saja, soal-soal yang berkenaan dengan politik sama sekali tidak disinggung-singgung. Besar kemungkinannya karena pada waktu itu kedudukannya disini tidak lebih daripada „orang asing yang mendatang, untuk mencari keuntungan dengan jalan berniaga." Tetapi karena satu dan lain sebab, dan mengetahui juga tentang kelemahan-kelemahan Mataram setelah dikemudikan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono II, pula dengan bantuan orang-orang Mataram sendiri yang bekerja didalam Pemerintahan, diantaranya ada yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, yang „jiwanya" sudah dibelinya, maka dalam Perjanjian No. 112, mulailah mengindjak pada lapangan politik, meskipun tidak terlalu luas. Perjanjian itu antara lain disebut-sebut bahwa „sesuatu pelanggaran terhadap kepada VOC.,V.O.C. berhak untuk menuntut terdakwa-terdakwa itu dihadapan pengadilan-nya V.O.C. sendiri, yang telah didirikan di Semarang sejak tahun 1733".
Sementara itu; pada tahun 1742 karena „masakannya" V.O.C., di Jawa Tengah telah timbul pembrontakan yang terdiri dari orang-orang Tionghoa, berhasil mendapat „kemenangan" disepand yang pesisir Utara, mulai dari daerah Rembang, akhirnya menggempur Kartasura, Ibukota Mataram. Karena kelemahan-kelemahan-nya Kartasura yang disebabkan perlawanan R.M. Said c.s. putera Pangeran Mangkunegara yang diasingkan ke Ceylon karena desakan V.O.C., maka jatuh lah Kartasura. Sri Susuhunan Paku Buwono II dengan „penasehatnya", van Hohendorff, yaitu wakil Gubernur Jendral van Imhoff, yang ditempatkan di Semarang, dapat menyelamatkan diri ke Ponorogo. Dalam pada itu Sri Susuhunan Paku Buwono II telah meminta pertolongan V.O.C. untuk merebut kembali Ibukota Mataram. Ternyata „pertolongan" itu berhasil, tetapi direbutnya kembali Kartasura, pada hakekatnya tidak menambah keluhurannya Mataram, sebaliknya malahan seakan-akan defacto Mataram sudah ada ditangan V.O.C., sebab kemenangan tentara Mataram dengan „bantuannya" VOC. itu, menyebabkan lahirnya Perjanjian baru antara kerajaan Mataram dengan V.O.C., yang terkenal dengan „Perjanjian Ponorogo", dalam tahun Masehi 1743. Pada sesungguhnya Perjanjian itu lebih betul dikata „politik kontrak", sebab diantara lain, berisi juga :
1. Dalam pengangkatan Patih (Rijksbestuurder), calon-calon yang akan diang¬kat oleh Sri Susuhunan, haruslah lebih dahulu mendapat persetudjuan V. 0. C.
2. Demikian juga dengan halnya pengangkatan-pengangkatan Bupati-Bupati pasisiran.
3. Rakyat Mataram tidak diperbolehkan membuat perahu.
4. Pelajaran seluruh Indonesia menjadi monopoli V.O.C.
5. Perdagangan seluruh Indonesia dikuasai oleh V.O.C.
Rasa kegirangan Sri Susuhunan karena direbutnya kembali Kartasura dari tangan pembrontakan Pacina, demikian biasanya disebut orang, tidak terhingga, dan karena kegirangan itu, maka beliau tanpa minta pertimbangan para Najaka dan para Pahlawan-pahlawan Mataram, diantaranya termasuk juga Pangeran Mangkubumi, telah menerima baik „politik kontrak" yang disodorkan oleh van Hohendorff, sebagai H-akil van Imhoff. Dengan ditanda-tanganinya politik kontrak itu, timbullah kegoncangan didalam kalangan keluarga Keraton, terutama mereka yang didalam hati kecilnya sudah berisi benih-benih tidak per jaja dan ben ji kepada cara - caranya V, O. C. merebut ,.djantungnya" Mataram. Mereka dibawah pimpinannya Pangeran Harijo Mangkubumi, diantaranya termasuk para Pudjangga, yang dimasa itu mempunyai kedudukan juga sebagai Parampara (penasehat) politik Negara.
Oleh karena keadaan Ibukota Kartasura akibat pembrontakan Pecina itu mendapat kerusakan besar, dan Keraton sudah tidak lagi merupakan tempat suci karena telah diinjak-injak oleh pembrontak-pembrontak itu, maka Sri Susuhunan Paku Buwono II dengan persetudjuannya para Najaka berkenan memindahkan Ibukota Mataram dari Kartasura ke Surakarta. Pemindahan Ibukota itu diperingati dengan Candra sangkala „Nirsapta obahing rat" = 1670.
MELETUSNYA PEMBRONTAKAN.
SEMENTARA terdjadinya kerepotan-kerepotan dan kekeruhan politik itu, „perlawanan" Raden Mas Said, yang terkenal dengan gelaran (Pangeran Sambernyawa, disebabkan tidak rela melihat mendjalarnya kekuasaan V.O.C. didalam kerajaan Mataram. dengan dibantu oleh Pangeran Martapura, Bupati di Grobogan, makin meluas. Kejadian itu menyebabkan Sri Susuhunan Paku Buwono II merasa kawatir akan keselamatan Mataram. Justru karena ltu lalu disajembarakan, kepada barang siapa yang sanggup menindas „pembrontakan" Raden Mas Said cs. akan diberinya hadiah Tanah Sukawati.
Dengan cara yang berani, Pangeran Mangkubumi telah berangkat untuk menolong Mataram dari bahaja-bahaja yang bisa timbul karena „perlawanan" R. M. Said dan Martapura.Ternyata berhasil baik, kekuatan R.M.Said dan Martapura dapat di prasrahkan. tetapi kedua pemimpin „pembrontakan" itu dapat meloloskan diri.
Dengan melihat keberanian Pangeran Mangkubumi, dan mengetahui pula pengaruh Pangeran revolusionair itu kepada Sri Susuhunan Paku Buwono II, orang-orangya Hohendorff yang ada didalam kalangan Pemerintahan dan berdekatan Sri Susuhunan,sama berusaha supaya hadiah yang akan diberikan kepada Pangeran Mangkubumi dibatalkan, dengan alasan bahwa kedua orang pemimpin „pemberontak" itu tidak dapat dibunuh mati atau ditangkap. Tetapi pada hakekatnya, kalau pendapat-pendapat demikian itu diajukan, adalah karena mereka kawatir; bila tanah Sukawati jatuh pada tangan Pangeran Mangkubumi, tentulah pengaruh dan kekuasaan Pangeran ini akan lebih berbahaya bagi kedudukan V.O.C.
Demikianlah, Sri Susuhunan Paku Buwono II, yang sejak itu kesehatannya selalu terganggu, menerima juga usul untuk membatalkan hadiah yang sudah dijanjikan kepada Pangeran Mangkubumi. Pembatalan inilah yang menyebabkan patah hatinya Pangeran Mangkubumi, hingga bersama-sama dengan Pangeran Hadiwidjojo, Pangeran Widjil II, Pangeran Krapyak dan lain-lain Pahlawan lagi, yang merasa bahwa segala kekalutan Mataram „berasal dari usaha-usaha V.O.C,. dan orang-orangnya yang ditanam didalam Pemerintahan", pada tanggal 19 Mei 1746 dengan diam-diam meninggalkan Surakarta, untuk membuat perlawanan.
Lain dorongan lagi yang menyebabkan beliau bersama-sama dengan pengikut pengikutnya, merasa tidak tahan lagi melihat berkembang dan meluasnya kekuasaan V.O.C., adalah Perjanjian yang dibubuh tanda tangan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono II pada tanggal 18 Mei 1746. Dalam Perjanjian itu antara lain disebutkan bahwa: Pulau Madura seluruhnya, dan pasisir Utara, sejak itu menjadi milik V.O.C: yang absah. Atau dengan lain perkataan, tidak lagi menjadi daerah Mataram. Dan disamping itu, Sri Susuhunan bersedia akan memberikan bantuan sekuat tenaga, bila diminta oleh V.O.C.,untuk menindassegala anasir-anasir yang bisa merugikan V.O.C.
Dengan terlaksananya Perjanjian ini, maka Pangeran Mangkubumi dan kawan-kawannya sama merasa, bahwa kekuasaan dan pengaruh V.O.C. tidak akan hanya berhenti sampai disitu saja, bila tidak dilawan dengan kekuatan senjata, karenanya sehari setelah terdjadinya Perjanjian itu, beliau cs. meninggalkan Surakarta. Dalam buku-buku sedjarah, terutama yang ditulis oleh orang-orang asing, sama menuduh bahwa perlawanan Pangeran Mangkubumi itu, hanya disebabkan karena „patah hati" dan „akan membalas dendam dengan jalan merebut kekuasaan Mataram dari tangan Sri Susuhunan Paku Buwono II". Tetapi dalam sedjarah-sedjarah pagedongan, yaitu tambo yang memuat segala peristiwa dengan terus terang (1) yang bisa kita dapati didalam Keraton Surakarta, perlawanan Pangeran Mangkubumi itu sesungguhnya dengan persetudjuan Sri Susuhunan Paku Buzeono II, bahkan pada waktu beliau es. akan meninggalkan Surakarta, telah memerlukan bermohon diri, dan oleh Sri Susuhunan diberinya bekal uang beberapa ribu real. Karenanya, nama dan kehormatan Pangeran Mangkubumi didalam pandangan para bangsawan dan Pahlawan-Pahlawan Surakarta, tetap terpelihara, bahkan dipudji-pudji, sungguhpun pada lahirnya beliau cs. melawan Mataram.
Dengan meneropong dari sudut itu, bisa ditarik kesimpulan, bahwa persitiwa „pembrontakan yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi cs. itu pada hakekatnya bukannya memberontak terhadap Mataram, tetapi titik beratnya untuk menindas pengaruh dan kekuasaan V.O.C., atau sedikitnya untuk membatasinya, supaya tidak meluas.
Keadaan Mataram sejak membrontakrija Pangeran Mangkubumi makin menjadi sulit, terutama setelah Pangeran Mangkubumi dapat menggabungkan diri dengan barisan-barisan yang dipimpin oleh Raden Mas Said dan Pangeran Martapura. Dengan cepat sekali daerah-daerah pasisiran yang ada sekeliling Surakarta, dapat dikuasainya oleh „pembrontak". Perlawanan didaerah-daerah Sukawati (Sragen) keselatan, dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi sendiri, daerah Grobogan ke selatan sampai daerah Bojolali Utara, dipimpin oleh Raden Mas Said dan Pangeran Martapura, daerah Semarang-Selatan, Ambarawa, Salatiga-Selatan, dipimpin oleh Pangeran Widjil II dan Pangeran Krapyak, sedang didalam daerah Kedu Utara dan Selatan, pimpinannya ada ditangan Pangeran Hadiwidjojo. Dengan demikian Ibukota Mataram telah dikurung dari tiga penjuru, yang makin lama makin mendesak.
Kereta kencana dari keraton Jogjakarta
Sementara itu didalam Keraton Surakarta telah terjadi satu peristiwa, yang sangat menyedihkan, terutama bila dipandang dari sudut „kemerdekaan sesuatu bangsa", sebab dengan cara yang sangat mudah sekali van Hohendorff sebagai wakilnya Gubernur Jendral van Imhoff, telah berhasil merampas kekuasaan Mataram dari tangan bangsa Jawa, dan sejak itu pula tanah air kita jatuh ditangan dan kekuasaan asing (V.O.C.). Dalam keadaan sakit keras, dan dalam saat-saat mendekati mangkatnya, van Hohendorff telah berhasil memaksa kepada Sri Susuhunan Paku Buwono II untuk membubuh tanda tangan pada surat Perjanjian: „Penyerahan Negara Mataram seluruhnya kepada V.O.C., hanya dengan sarat keturunan Baginda yang memang berhak naik tahta kerajaan, turun menurun, akan dinobatkan menjadi Raja di Mataram oleh V.O.C.,kepadanya akan diberi pinjaman Negara Mataram .
Dengan terlaksananya Perjanjian tanggal 16 Desember 1749 tersebut diatas, tamatlah sejarah kerajaan Mataram, karena meskipun selanjutnya masih disebut-sebut didalam sedjarah, tetapi pada hakekatnya hanya „nama" saja, sebab baik de jury maupun de factonya, sejak terjadinya Perjanjian itu, sudah ada ditangan V.O.C. Demi berita penyerahan Negara Mataram kepada V.O.C. itu sampai telinga Pengeran Mangkubumi cs., makin menyalalah maksudnya untuk mengusir V.O.C. dari Jawa, karena hanya dengan jalan itu saja, Negara Mataram bisa ditolong, direbut kembali dari tangan orang asing yang mendatangnya disini semula hanya untuk berdagang, mencari keuntungan sendiri. Tetapi sebelum kehendak suci itu berhasil, terdengarlah kabar bahwa Sri Susuhunan Paku Buwono II berturun tahta, mbegawan, dengan gelar Kiai Ageng Mataram. Maksudnya yang terutama adalah untuk mempercepat dinobatkannya Putera Mahkotanya.
Dalam buku „Peringatan Keraton Surakarta, turunnya dari tahta Sri Susuhunan Paku Buwono II itu, diperingati dengan candra sangkala „Gatining sang sabda raszeadi" = 1675.
Dengan turun tahtanya Sri Susuhunan Paku Buwono II itu, berarti bahwa Mataram tiada ber-Raja, dan justru karena itu, maka dengan kehendak dan persetujuannya para pengikut Pangeran Mangkubumi yang mengkawatirkan kalau-kalau V.O.C. mengangkat seorang diantara orang-orangnya untuk menduduki tahta kerajaan Mataram, maka beliau oleh pengikut-pengikutnya dinobatkan menjadi Raja Mataram, dengan gelaran Susuhunan Paku Buwono. Penobatannya dilakukan pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1675 atau 11 Desember 1749, didesa Kebanaran dan justru karena itu, terkenal juga dengan gelar Susuhunan Kebanaran.
Sejak itu, Susuhunan Paku Buwono Senapati ing Alaga 'Abdulrachman Sjaji'din Panata Gama, demikianlah gelarannya lengkap, atau dengan singkatan Susuhunan Kebanaran, pengaruhnya makin besar, sendirinya kekuatan angkatannya makin demikian rupa, hingga jatuhnya Mataram (Bacalah: Surakarta) boleh dikata hanya tinggal menantikan saatnya saja, sebab baik angkatan Mataram, maupun angkatan Kompeni, boleh dikata sudah, hampir tidak berdaja. Tetapi rupanya kehendak sejarah sangat bertentangan dengan yang diharapkan.
Beberapa tombak keraton Jogjakarta
LAHIRNYA JOGJAKARTA.KELEMAHANNYA Surakarta (dengan bantuan V.O.C.) dalam menghadapi perlawanan Pangeran Mangkubumi cs. mulai dirasakan oleh V.O.C. la mengetahui pula bahwa dengan mempergunakan senjata, tidak akan membawa hasil untuk melemahkan kedudukan Susuhunan Kebanaran cs., sebab kenyataan makin lama makin mendapat kepercayaan dari rakyat. Karena inilah maka dari pihak V.O.C. memajukan usul kepada Sri Susuhunan Paku Buwono III, untuk menghentikan „peperangan saudara", dengan alasan bahwa peperangan yang telah terjadi mengakibatkan kerusakan dan penderitaan rakyat. Pikiran itu diterima baik, dan pada hari Kemis Kliwon tanggal 29 Rabiulakir 1680 atau 13 Pebruari 1755, Perjanjian penghentian peperangan ditandatangani. Perjanjian itu disebut „Perjanjian Gianti" atau „Palihan Nagari", karena pelaksanaannya ada didesa Gianti, salah satu desa kecil dalam daerah Salatiga, dan isi Perjanjian nya itu yang terutama „membelah dua Negara Mataram", separo tetap dikuasai oleh Sri Susuhunan Paku Buwono III, dengan Ibukota di Surakarta, dan yang lain dikuasai oleh Sri Susuhunan Kebanaran, yang sejak itu berganti gelar Sultan Hamengku Buwono I, Senopati ing Alaga, 'Abdu'rahman, Sajidin Panata Gama, Kalifa'tulah I .
Menilik gelagatnya, sesungguhnya dalam „Palihan Negari" ini Gubernur Hartingh yang merupakan jiwa Perjanjian itu, mempunyai rencana lebih mendalam, yang bisa. memberi jalan lebih lancar dalam usahanya memperkembang, meluaskan pengaruh dan kekuasaan V.O.C. dalam daerah Mataram. Hal ini bisa dimengerti, karena Hartingh adalah satu-satunya kepercayaan Gubernur Jendral Mossel. la mengenal betul akan adat-istiadat Jawa , bahkan sebelum ia menjadi Gubernur di Semarang, ia pernah tinggal di Surakarta, melulu untuk belajar bahasa Jawa. Cara bekerjanya Hartingh tidak sebagai rekan yang digantinya, van Hohendorff. Kalau rekan itu lebih menyukai kekerasan, adalah Hartingh lebih suka mengambil jalan sebagai „djuru selamat".
Teori Hartingh yang terkenal, „tiap-tiap kerusakan dan kekalutan Mataram, merupakan keuntungan bagi V.O.C.".
Dalam pembagian Negara itu, Sri Sultan Hamengku Buwono I mendapat bagian: separo dari Negara Agung, yaitu daerah-daerah sekeliling Negari (kedudukan Raja = Keraton), luasnya 53100 karja, separo dari daerah Manca Negara (daerah-daerah yang jauh dari Ibukota) 33950 karja, terdiri dari Madiun, Magetan, Caruban, separo Pacitan, Kertasana, Kalongbret, Ngrawa (sekarang: Tulungagung), Djapan (sekarang: Modjokerto, Djipang (sekarang: Bodjonegoro), Teras-karas (?), Selo, Warung dan Grobogan .
Kalau kita memperhatikan peta bumi Negara Mataram yang berserta dalam buku ini, yang melukiskan pembagian daerah itu, kita dapat mengetahuinya bahwa Hohendorff dan Hartingh adalah orang yang sangat pandai melepaskan umpan, tidak saja jangan sampai Sri Susuhunan Paku Buwono dan Sri Sultan Hamengku Buwono bisa mendapat kesempatan saling bergandengan tangan, tetapi bahkan dengan caranya membagi Negara itu, perpisahan, kalau belum boleh dikata permusuhan, antara kedua Raja itu tentu makin menjadi menghebat dan makin meruncing. Sebab daerah Ngajogjakarta-Adiningrat yang menyelip disana-sini didalam daerah Surakarta, demikian juga sebaliknya, tentulah akan terjadi pertengkaran-pertengkaran antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang timbul karena perbedaan cara pemerintahannya, cara hidupnya, dan caranya berpakaian .
Tidak jarang perselisihan itu memuncak demikian rupa, bahkan hingga menjadi perkara jiwa . Dan kalau sudah terjadi demikian, V.O.C. yang menempatkan diri sebagai „duta perdamaian", datang sama tengah, katanya, tetapi pada hakekatnya dia memainkan „pisaunya", demi kepentingan sendiri.
Demikianlah Kejadian-Kejadian permusuhan batin antara partai Paku Buwono III disatu pihak dan partai Hamengku Buwono I dilain pihak, terus-menerus terdjadi, kalau satu kerewelan bisa dipadamkan, timbul yang lain. Dan Kejadian-Kejadian demikian itulah yang merupakan kekuatan V.O.C. untuk mengangkat dirinya ketempat yang lebih atas
Sri Susuhunan Kebanaran, yang dengan „Perjanjian Gianti" bergelar Sultan Hamengku Buwono, Senopati ing Alaga, Abdulrahman Sajidin Panata Gama, Kalifatulah, yang pertama, setelah sebulan sejak Palihan Nagari, pada hari Kemis Pon, tanggal 29 Djumadilawal 1680 (13 Maret 1755) mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwa separo dari pada Negara Mataram yang dikuasainya itu, diberi nama Ngajogjakarta-Adiningrat, beribu kota di Ngajogjakarta.
Apakah sebabnya beliau memilih nama itu, sampai sekarang masih tinggal rahasia, tetapi sangat besar kemungkinannya berdasarkan dengan maksud „untuk menghormati tempat" yang bersedjarah, yaitu hutan Beringan, yang pada jaman marhum Sri Susuhunan Amangkurat Djawi menduduki tahta Mataram, telah merupakan kota kecil yang sangat indah dan ada Istana pesanggrahannya, yang dalam sejarah terkenal dengan nama Gardjitawati. Kemudian pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di Kartasura, sebagai Ibukota Mataram, nama pasanggrahan itu diganti Ngajogja, yang dimasa itu hanya dipergunakan tempat pemberhentian lajon-lajonnya (jenazah) para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri, hingga Pesanggrahan itu dipandangnya sebagai salah satu tempat suci, yang mendapat berkatnya para Luhur Mataram.
Tetapi mungkinkah hanya karena itu saja Sri Sultan telah memilih nama Negara dan tempat sebagai Ibukota? Pertanyaan ini juga masih merupakan persoalan, sebab pada umumnya, untuk menentukan tempat calon Ibukota dari sesuatu Negara, tentulah lebih dahulu diadakan penyelidikan oleh orang-orang yang mempunyai keahlian tentang: letaknya tempat, hawa udaranya, gemuk dan tidaknya tanah, airnya, hubungannya dengan tempat dikanan kirinya yang bisa memberi pengaruh, bahaja-bahaja yang dihadapinya, terutama dari bahaya alam dan lain-lainnya, dari sudut lahir dan sudut batin. Didalam sejarah sama sekali tidak disebut-sebut tentang adanya komisi penyelidikan itu, kecuali beberapa legende (dongengan) yang sangat susah dapat dipercaya oleh pikiran pikiran dan ilmu pengetahuan dijaman sekarang. Diantara legende-legende itu, bila disesuaikan dengan pribadinya Sri Sultan Hamengku Buwono I, dapat memberi petundjuk-petunjuk atau dugaan yang bisa didjadikan alasan tentang sebab-sebabnya hutan Beringan dipilih olehnya, sebagai calon Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat.
Pada suatu hari ada seorang hamba tukang sabit (pakarik) mencari rum~raR dihutan Beringan, demikianlah salah satu legende yang sangat populair. la sangat haus, mencari air tidak bisa dapat. Setelah ia mencari dibeberapa tempat tidak berhasil. tahulah ia beberapa ekor burung kuntul terbang menudju kesalah satu tempat didalam hutan itu. Dengan demikian mendugalah ia bahwa tempat yang ditudju oleh burung-¬burung itu, tentu kolam atau danau, atau paling sedikit mata-air. Karenanya dengan cepatnya juga ia menudju ketempat itu. Ternyata dugaannya tidak salah. Tempat burung-burung mencari makan itu, adalah sebuah kolam yang sangat jernih airnya. Tetapi pada waktu ia akan meminum, terkejutlah ia, karena sekonyong-konyong ia berhadapan dengan seekor Naga besar.
„Hai, djanganlah kau melarikan diri, tukang sabit", kata Naga itu ketika melihat orang itu akan melarikan diri, „saja adalah Kiai Djaga, yang mbaureksa (mendjaga keselamatan) hutan ini. Sampaikanlah kepada Rajamu, bila beliau mencari tempat untuk Ibukota, hutan Beringan inilah yang terbaik", demikian pesan Naga kepada hamba tukang sabit itu.
Dengan buru-buru hamba tukang sabit itu menghadap Sri Sultan, yang pada waktu itu masih ada di Pesanggrahan Pura-para, yang letaknya ada di sebelah Barat, hutan Beringan, untuk menyampaikan pesan Naga tersebut.
Inilah sebabnya maka Sri Sultan Hamengku Buwono I lalu menitahkan untuk membabad hutan Beringan, sebagai calon Ibukota negara Ngajogjakarta-Adiningrat. Konon didongengkan lebih jauh, bahwa setelah Ibukota berdiri, dan sebagai pusat pandangan Sri Sultan pada saat-saat duduk dimahligai (mijos sinewaka),dititahkan mendirikan sebuah Tugu disebelah Utara Keraton, Kiai Djaga bertempat pada Tugu tersebut.
Didalam legende ini menyelip dua nama yang meminta perhatian, Kiai Djaga dan Tugu. Perkataan djaga mempunyai arti defensi, persiapan untuk membela diri didalam segala kemungkinan: Lambang ini bila disesuaikan dengan pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono I, sangat tepat benar. Beliau adalah terkenal sebagai seorang Pahlawan Mataram yang sangat pandai membuat siasat perang. Dengan demikian, kalau beliau telah menunjuk hutan Beringan untuk calon Ibukota, tentulah telah dipelajari dalam-dalam, dan pusat perhatiannya ditudjukan kepada „pertahanan".
Kemudian Kiai Djaga beralih, menempati Tugu, yaitu pusat pandangan Baginda pada saat-saat mijos sinewaka, demikian disebut-sebut dalam legende itu. Untuk mengupas ini, hendaknya harus mengetahui dahulu, apakah sebenarnya yang biasa dilukiskan dengan bangunan „tugu". Tugu adalah pendjilmaan dari „Lingga". Dalam faham Jawa , adalah lambang pertemuannya (kesatuan) antara „Purusha" dan „Paerity" lambang „pokok kekuatan alam". Dalam Pemerintahan (politis), yang menjadi kekuatan Negara adalah kesatuan antara yang memerintah dan rakyat, yang pada umumnya dalam istilah Jawa disebut „manunggale kazuula lan Gusti".
Hal ini diketahui benar-benar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, karena penuhlah beliau mendapat pengalaman selama memimpin perlawanan-perlawanan, hanya kesatuan antara Pemimpin dan yang dipimpinlah yang menyebabkan beliau mendapat succes besar. Inilah sebabnya maka pada hakekatnya, benar juga Kiai Djaga bertempat di dalam Tugu, yang menjadi pusat pandangan Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam saat-saat Baginda duduk sinewaka. Karena dengan memandang Tugu, Baginda selalu ingat bahwa „hanya dengan persatuannya Pemimpin Negara dengan rakyat" saja yang dapat menjaga keselamatan Negara.
Dengan demikian, mustahil sekali bila pilihan letaknya Ibukota Ngajogjalarta-Adiningrat itu tidak diselidiki dari sudut lahir dan batin lebih dahulu, hanya siapakah Panitia yang diperintahkan untuk melakukan penyelidikan itu, tidak disebut-sebut didalam sedjarah, kecuali pribadi Sri Sultan sendiri, bahkan disebut-sebut beliau sendiri pulalah yang menentukan bentuk dan ukurannya . Demikian juga tentang pembangunannya, karena sejak muda, pada waktu masih ada di Kartasura, beliau memang terkenal sebagai ahli bangunan.
Hubungannya pembangunan Taman Sari demikian juga, Taman Sari adalah salah satu tempat istirahat, yang letaknya ada disamping Keraton sebelah Barat, yang oleh orang-orang Barat dikenal sebagai satu-satunya „waterkasteel" di Jawa .
Dalam sejarah-sejarah Jogjakarta banyak disebut, bahwa pembangunan Taman Sari itu dikerjakan oleh seorang Portugis, tetapi kalau benar demikian, tentulah bangunan Taman Sari itu paling sedikit berbau corak Portugis, sedang Prof. P.J.Veth dalam bukunya „Java" telah membantah pendapat-pendapat itu, sebab olehnya ditegaskan, bahwa Taman Sari itu, adalah bangunan corak Jawa asli . Dugaan bahwa pemilihan tempat untuk Ibukota lebih condong kepada „pertahanan", dapat diperkuat dengan berdirinya bangunan Taman Sari, yang boleh dikata sebagai sebagian daripada Keraton. Pada lahirnya Taman Sari adalah merupakan tempat beristirahat untuk mendapatkan sekedar hiburan. Tetapi siapa yang telah menyelidiki „Waterkasteel" ini dengan sesungguhnya, terutama pada bagian-bagian sebelah dalam, diantaranya terdapat juga jalan-jalan kecil didalam tanah yang menembus kebeberapa jurusan, berbeluk-beluk, diantaranya ada yang menembus sampai keluar kota, tentulah ia bisa menarik kesimpulan lain, lebih dari tempat istirahat biasa.
Bukan hanya tempat untuk beristirahat, sekedar untuk mendapatkan hiburan yang sewadjarnya, tetapi pada hakekatnya mempunyai arti lain, yang berdasarkan dengan pertahanan. Kalau Sri Sultan Hamengku Buwono memerlukan pertahanan dengan cara demikian, memang bisa dimengerti. Sebagai sudah dikatakan pada bagian atas, bahwa beliau adalah seorang Pahlawan besar, yang sejak masih ada di Kartasura sudah diakui, baik oleh rakyat Mataram sendiri, maupun oleh musuh-musuh Mataram. Kenyataan ini dapat dibuktikan pada perlawanan-perlawanan beliau cs. sejak beliau meninggalkan Surakarta. Dengan demikian, tentulah beliau tidak akan bisa melupakan tentang Kejadian-Kejadian yang menyebabkan Kartasura pernah jatuh ditangan musuh (Geger Pacina). Pada waktu itu, dengan serbuannya musuh yang kekuatannya tidak seberapa, hampir saja Sri Susuhunan Paku Buwono II tertangkap, pada waktu beliau dengan pengiringnya meloloskan diri dari dalam Keraton ke Ponorogo. Pengalaman yang sangat getir itu, disebabkan kekurangan-kekurangan dalam siasat militer, mungkin bentuk dan susunan Keraton Kartasura dimasa itu hanya dipandang dari sudut keindahan saja, kurang memperhatikan siasat pertahanan, hingga didalam menghadapi musuh,, jalan untuk rnengatur siasat, dan kalau perlu untuk mengosongkan Keraton, kurang mendapat perhatian.
Sebaliknya, pada waktu Keraton Nlodjopait diserbu oleh tentara Demak dari segala pendjuru, hingga boleh dikata dikurung rapat-rapat, dengan mendadak Keraton menjadi kosong, tentara Demak sama sekali tidak dapat mengetahui kemana Sang Brawidjaja telah meloloskan diri.
Besar kemungkinannya kedua Kejadian inilah yang mendorong Sri Sultan Hamengku Buwono I menitahkan untuk membuat Taman Sari, lengkap dengan sebuah tempat yang menondjol keatas, yang umumnya disebut Pulau Kenanga atau Cemeti, lengkap pula dengan jalan-jalan didalam tanah yang menembus keluar Kota, dan lengkap pula dengan pintu-pintu air, kalau ditutup bisa merubah keadaan Taman Sari menjadi serupa danau besar, hingga segala yang ada disekeliling Taman Sari menjadi musnah, tidak kelihatan sama sekali. Dalam keadaan demikian, kaiau perlu Keraton dapat dikosongkan dengan mengambil jalan didalam tanah. Lebih jauh untuk memperkuat, bahwa pemilihan calon Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat tidak dengan cara sembarangan, artinya tidak saja dipandang dari sudut pertahanan, tetapi juga dari sudut keadaan alam, bisa dibuktikan dengan adanya Kejadian-Kejadian yang akhir ini, berhubung dengan meletusnya gunung Merapi: Ahli-ahli gunung berapi mengatakan, bila lava-prop yang menutup mulut kawah Merapi jatuh kedalam, sangat dikawatirkan Merapi akan meletus dan lambungnya akan pecah belah. Kalau terjadi demikian, Kota Magelang, Bojolali, Salatiga akan terancam bahaya besar, tetapi orang-orang didalam kota Jogjakarta, boleh tidak usah ber kawatir, karena baik bandjir air atau ladu, maupun gloedwolk, tidak akan bisa menimpa Kota Jogjakarta, karena ia mempunyai perisai beberapa gunung kecil dan. beberapa djurang, yang sama melintang diantara Merapi dan Kota Jogjakarta.
Bagi mereka yang tidak atau kurang mengenal tentang sejarah lahirnya Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat, sama beranggapan bahwa kemujuran dalam peristiwa kemungkinan meletusnya Merapi itu, hanya karena kebetulan saja,, tetapi kalau kita mengikuti sejarah-sejarah perlawanan Sri Sultan Hamengku Buwono I, sepanjang itu beliau cs. naik turun pada puncak dan lereng-lereng gunung Sundoro (= Sindoro-Sundari), Sumbing dan Merapi, maka tidak bisa dibantah lagi bahwa beliau sangat mengenal akan alam sekeliling pegunungan-pegunungan tersebut diatas, dan besar kemungkinannya pengetahuan ini juga merupakan faktor penting dalam menentukan tempat yang akan didjadikan Ibukota.
IBU KOTA JOGJAKARTA.
PADA bagian atas telah disebut, bahwa „Perjanjian Gianti" telah terjadi pada tanggal 29 Rabiulakir 1680 atau 13 Pebruari 1755, dan menurut catatan „peringatan peringatan Keraton Surakarta", Palihan Nagari diperingati dengan candra sengkala „Tunggal pangesti rasaning djanmi" = 1681, yaitu pelaksanaannya membagi Negara Mataram menjadi dua., sebagian menjadi kekuasaan Sri Susuhunan Paku Buwono III dan sebagian menjadi kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono I. sejak itulah Sri Sultan Hamengku Buwono I menitahkan untuk mulai mengerjakan bangunan Ibukota, dimulai dari Keraton, sebagai pusat dan permulaan bangunannya, dibawah pimpinan beliau sendiri. Sementara itu, beliau bersama dengan pengikut-pengikutnya bertempat (masanggrahan) di Istana (pesanggrahan) Gamping, letaknya lk. 5 km. disebelah Barat Ibukota yang tengah dikerjakan orang.
Istana (pesanggrahan) itupun mempunyai sifat-sifat pertahanan, karena letaknya disamping (dekat) sebuah gunung gamping, yang memberi perlindungan kuat kepada penghuni Istana. Sangat sayang sekali bahwa gunung gamping yang bersejarah itu, sekarang sudah hampir habis sama sekali, karena dari sedikit telah digempur oleh rakyat, untuk bahan kapur, kini hanya tinggal sedikit saja yang masih bisa diselamatkan. Letaknya gunung gamping itu, ada disebelah Timur Laut Istana NgambarKetawang, demikian nama pesanggrahan itu. Menurut keterangan- keterangan dari beberapa orang itu yang bertempat tinggal dikanan kiri bekas Istana pesanggrahan itu, didalam gunung gamping yang membujur ke Timur itu, terdapat lubang semacam gua, membujur ke-Timur juga. Gua itu bukannya kodrat alam, tetapi dengani melihat bekas-bekas yang ada didalamnya, memang sengaya dibuatnya, sangat mirip dengan lubang perlindungan, dan sangat besar kemungkinannya dimasa itu dipergunakan sebagai benteng pertahanan, karena pintu gua itu yang sebelah Barat, mernpunyai hubungan langsung dengan Istana Ngambar Ketawang.
Bekas-bekas tembok Istana itu sekarang hanya merupakan kumpulan batu-batu merah yang berantakan, hanya sebagian kecil saja yang masih berdiri dan bisa dilihat. Sungguhpun demikian, masih juga kita dapat membajangkan tentang bangun dan bentuknya, luasnya lk. 80 x 150 meter, menghadap ke Timur. Pada batas pagar tembok sebelah selatan, masih nampak tegas sebuah gapura kecil, yang menghubungkan Istana dengan kandang (gedogan) kuda tunggang dan kuda tarik. Di sebelah Selatan sedikit dari bekas kandang-kandang kuda itu, berdiri sebuah gedung kecil, yang menurut penyelidikan, dahulu dipergunakan gedung kereta. Bekas gedung kereta itu sekarang ditempati oleh salah seorang penduduk, Mertowihardjo namanya. Menurut pengakuannya sendiri, ia mendapat waris rumah itu dari nenek mojangnya, yang berpesan dengan sungguh-sungguh, berpantang besar untuk merusak atau merubah bPntuk-bentuk dan tembok-temboknya yang asal.
Benar juga, tembok-tembok tua yang tebal, meskipun sudah ditambah kanan kirinya dengan tembok-tembok bangunan baru (tipis), masih kelihatan tegas, sebagai lingkaran segi empat sedikit memandjang, yang menggambarkan bekas gedung kereta.
Didalam lingkungan bekas tembok luar (ringmuur), lebih tegas: bekas-bekas gedung Pesanggrahan itu, kini sudah ditempati penduduk, meskipun pada umumnya mereka tidak merusak bekas-bekas yang masih nampak dikanan kiri rumahnya.
Kalau kita sudi memerlukan memeriksa bekas Pesanggrahan Ngambar Ketawang itu, tentulah timbul pertanyaan, adakah Pesanggrahan itu baru dibaragun setelah „Perjanjian Gianti", perlu untuk Istana sementara, selama keraton masih didalam taraf pembangunan?
Timbulnya pertanyaan demikian memang dapat dimengerti, sebab menilik bentuk-bentuk yang sampai sekarang masih kelihatan bekas-bekasnya, bangunan Pesanggrahan Ngambar Ketawang itu, kalau belum boleh dikata sebuah bangunan lux, sedikitnya harus diakui „bukan bangunan kecil-kecilan". Dengan demikian pembangunan Istana itu`, tentu tidak akan bisa diselesaikan didalam waktu yang singkat.
Karenanya kita bisa menarik kesimpulan, bahwa Pesanggrahan Ngambar Ketawang itu, sebelum „Perjanjian Gianti" mungkin sudah ada. Dugaan ini dikuatkan dengan kata-kata orang yang sudah lewat umur, bahwa Pesanggrahan itu sebelum bernama Ngambar Ketawang, dikenal orang dengan nama Purapara yang artinya adalah gedung untuk tempat pada waktu orang tengah didalam bepergian (papara): Bila keterangan itu kita hubungkan dengan sejarah hutan Beringan, yang berasal daripada kata-kata „pabrengan", yaitu tempat untuk memberi tanda-tanda pada waktu orang ramai-ramai berburu hewan dihutan (pada jaman Mataram), maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa besar kemungkinannya Pesanggrahan Ngambar Ketawang itu sejak jaman Mataram sudah ada, gunanya hanya untuk pesanggrahan pada waktu Baginda dengan pengiringnya sedang berburu (mbedag-pikat) hewan ada di hutan Beringan.
Dalam pembangunan Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat, bekas-bekas tempat perburuan hewan itu atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono I tidak dirusak semua, sebagian kecil masih berwudjud hutan, letaknya ada dibelakang Keraton, yang selanjutnya diberi nama Krapjak. Dalam hutan kecil itu masih hidup kidjang-kidjang, rusa-rusa dan lain-lain hewan hutan. Pada masa-masa yang ditentukan, Sri Sultan Hamengku Buwono-pun berkenan berburu juga disitu.
Berapa lamanya Sri Sultan Hamengku Buwono I beristana (masanggrahan) ada di Ngambar Ketawang sambil mengawasi pembangunan Keraton Jogjakarta, dapat dihitung menurut catatan-catatan yang terdapat pada Kepudjanggaan Keraton Ngajogjakarta :
Sebagai sudah dikatakan diatas „Perjanjian Gianti" terjadi pada tanggal 29 Rabiulakir 1680 atau 13 Pebruari 1755, mulai pada hari Kemis-pon tanggal 3 Sura Wawu 1681, atau 9 Oktober 1755, masanggrahan ada di Ngambar Ketawang , dan kira-kira setahun kemudian, setelah sebagian dari bangunan-bangunan didalam Keraton selesai, Sri Sultan berkenan memasuki Keraton pada hari Kemis-paing tanggal 13 Sura-Djimakir 1682 atau 7 Oktober 1756. Untuk sementara waktu, Baginda menempati Gedung Sedahan. Kepindahan Baginda itu, diperingati dengan lukisan dua ekor Naga yang ekornya saling melilit, ditempatkan diatas „Banon renteng-kelir" pada Gapura belakang. Lukisan itu biasa disebut dalam istilah Jawa „Candra sengkala memet", artinya: angka-angka dari tahun Jawa yang dilukiskan dengan kata- kata yang berwujud gambaran. Gambaran itu berbunyi „Dwi naga rasa tunggal=1682.
Pokok dari Keraton sendiri luasnya 4.000 m2, dikelilingnya dengan beberapa gedung, yang mempunyai nama berbeda-beda, menurut kepentingannya dimasa lampau. (Lihatlah peta Keraton pada muka). Tetapi atas kehendak Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sejak kemerdekaan dapat kita rebut kembali dari tangan orang asing, maka mulai dari Pagelaran sampai pada Bangsal Witana dan kanan kirinya,, dipergunakan untuk kepentingan Universitas Negeri Gadjah Mada, Perguruan tinggi kebangsaan yang pertama kali didirikan sejak lahirnya Republik, Indonesia. Keraton diapit oleh dua alun-alun, di sebelah utara dan di sebelah selatan. yang pertama biasa disebut ,,alun-alun-Lor", dan yang belakangan disebut „alun-alun Kidul" atau „alun-alun Pengkeran".
Di jaman yang lampau, kedua alun-alun itu mempunyai arti yang penting sekali bagi Negara, karena disitulah tempat yang akan menentukan kekuatan lahir batinnya alat kekuasaan Negara, sebab pada tempat itulah para Pradjurit dan para Prewira sama berlatih untuk mempergunakan senjata dalam pertempuran seorang melawan seorang, menyerbu barisan dengan berkuda, dan lain-lain cara lagi yang berkenaan dengan kepentingan peperangan dimasa itu.
Sekali setahun, dialun-alun diadakan keramaian „rampogan", yaitu „adjar kenal" dengan harimau buas, dengan mempergunakan senjata tajam atau tongkat. „Rampogan" merupakan keramaian umum, sebab dalam saat-saat ada ;,rampogan" penuhlah alun-alun dengan rakyat jelata, yang sama datang dari desa-desa yang jauh. Pada hakekatnya „rampogan" bukannya hanya berarti keramaian atau hiburan saja, tetapi untuk berlatih ketabahan, keberanian dan kecakapan melawan musuh dan membela diri. Dengan demikian „rampogan" merupakan kelandjutan dari kebiasaan „berburu" (mbedag-pikat) dihutan-hutan pada jaman itu.
Pada tengah-tengah alun-alun Utara, ada sepasang pohon beringin, masing¬masing berkurung. Inilah sebabnya biasa disebut orang „waringin kurung". yang sebatang bernama „Kiai Dewa-daru", dan jarig lain „Kiai Djaja-daru" atau „Djana-daru". Sebagai halnya filsafat "Tugu" dalam arti Negara, kedua batang pohon beringin inipun merupakan lambang pertemuan antara hidupnya Dewa dan Umat manusia (manunggale Kawula lan Gusti).
Kalau kita berdiri di Bangsal Witana (kini menjadi sebagian dari tempat kuliah Universitas Negeri Gadjah Mada), memandang 180 de Rajat ke Utara, sebagai caranya Sri Sultan Hamengku Buwono pada jaman yang lampau dalam saat-saat duduk sinewaka, mata kita akan bertemu dengan 3 titik, pertama sepasang beringin: Kiai Dewa-daru dan Kiai Djana-Daru, kemudian ditengah-tengahnya kedua (antara Desa dan manusia) titik itu, mata kita bertemu lagi dengan titik lain yang jauh letaknya, yaitu Tugu, lambang pertemuan antara „Purusha" dan jacrity" (positief dan negatief); pokok kekuatan alam. Dengan memusatkan pandangan dan tekad pada titik-titik yang tiga itu, dapatlah kita meraba tentang sebab-sebabnya mengapa Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan sengadja memerlukan menciptakan filsafat Tugu dan beringin kurung sepasang.
Lain dari pada itu, dijaman yang lampau, sepasang beringin kurung itu juga merupakan tempat rakyat yang ingin „hogerberoep" kepada Baginda dalam sesuatu hal yang dirasanya tidak adil, baik berkenaan dengan keputusan Pradata (Hakim), maupun berkenaan dengan perlakuan-perlakuan pihak atasan kepadanya.
Orang yang menuntut keadilan yang tertinggi (dari Baginda sendiri) itu, lebih dahulu berpakaian serba putih, berkudung putih pula, duduk diantara kedua batang beringin kurung itu, Sedemikian cepat diketahui oleh Baginda atau tokoh-tokoh Agung akan halnya orang yang pepe, demikian nama orang meminta keadilannya Baginda dengan mempergunakan cara itu, seketika itu juga didjemput dan terus dihadapkan kepada Baginda untuk mengadukan sendiri kekecewaan hatinya. Dalam waktu itu juga Dewan Pengadilan Agung, yang dihadiri oleh Baginda bersidang, untuk memberikan putusan. Bagaimana juga sifat keputusan itu, diterima juga dengan kepuasan had oleh orang yang bersangkutan itu.
Dengan berlakunya cara ber-“pepe" ini, dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa apa yang dikatakan „Hak azazi" dari tiap-tiap manusia, tidak peduli ia dari lapisan apa juga, pada jaman yang lampau telah diakui juga, hingga bukan merupakan bararg kelahiran baru, bukan pula barang import.
Disebelah Barat dari Alun-alun Utara, berdirilah sebuah Masjid Besar, yang didirikan atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono, bersamaan dengan bangunan Ibu kota Ngajogjakarta-Adiningrat. Masjid ini bersusun tiga menurut stijl Masjid Demak, Masjid yang pertama kali didirikan di Indonesia, setelah jatuhnya Madjapait. Bukan hanya bentuknya rumah saja, tetapi pclatarannyapun mengikuti Demak, diantaranya termasuk tentang adanya blumbang (kubangan) yang selalu penuh dengan air-hidup (air yang mengalir) sebagai lambang kesucian.
Selain itu berbeda dengan Masjid-masjid di seluruh Indonesia, kecuali Masjid Surakarta, pada kanan kiri pelataran sebelah muka, ada sepasang bangsal kecil, yang melulu disediakan untuk tempat gamelan „Kyai-Sekati" dan „Nyai-Sekati", pada waktu merajakan hari raja Grebeg Mulud, Sawal dan Besar. Pada saat-saat demikian sepasang gamelan pusaka dari jaman Demak itu ditabuhnya ganti-berganti. .
Dalam peringatan yang kita dapati dari pihak Kepudjanggan, Pengulu pertama yang disera,hi mengurus Masjid itu, adalah Kiai Pengulu Sech Abodin.
Sampai sekarang kita masih bisa melihat beberapa bangsal kecil-kecil dengan bentuk „joglo" di sekeliling tepi alun-alun, yang sekarang dipergunakan untuk berbagai kepentingan Negara. Dijaman yang lampau, gedung kecil-kecil itu disebut „Pakapalan", gunanya untuk tempat menghadapnya para hamba-hamba Kasultanan, mulai dari Pepatih-Dalem (Rijksbestuurder) dan para Bupati yang telah diper-kenankan memakai upacara: rontek, daludag, umbul-umbul dan songsong agung (semuanya upacara kebesaran) sampai kepada Panewu Mantri.
Kalau bangsal-bangsal itu disebut „pakapalan", adalah karena pada tempat-tempat itu dipergunakan untuk mempersiapkan kuda-kuda tunggang dari Pepatih-Dalem, para Bupati dan para Panewu Mantri, bila ada upacara kebesaran, atau dalam saat-saat mereka akan berangkat menghadapi musuh .
Kalau alun-alun Utara letaknya ada di sebelah luar Baluwarti (ringmuur) Keraton, adalah alun-alun Selatan, yang merupakan imbangan alun-alun Utara, ada didalam Baluwarti Keraton. Pada alun-alun ini kita melihat juga sepasang „Waringin kurung". Keadaan sekelilingnya jauh berbeda daripada alun-alun Utara, bahkan keadaan sehari-harinyapun sunyi saja. Ini bisa dimengerti, sebab ditempat itu hampir tidak ada hal-hal yang menarik hati. Dan kalau ada kunjungan-kunjungan dari sana-sini, melulu hanya akan melihat gayah, yang dahulu kandangnya ada di tepi alun-alun itu, sebelah Barat Daja.
Sebagai imbangan Bangsal Sitinggil yang ada dibagian muka dari Keraton, disebelah utara alun-alun Pengkeran inipun nampak bangunan Bangsal Sitinggil. Kalau Bangsal Sitinggil muka (Utara) untuk kepentingan Sinewaka, adalah Sitinggil Selatan hanya untuk keperluan Sri Sultan dalam saat-saat memeriksa latihan-latihannya para Perwira dan atau anak buahnya, karena alun-alun Selatan itu yang terutama melulu untuk keperluan demikian. Dalam saat-saat demikian, tempo-tempo Sri Sultan berkenan juga memeriksanya dengan berkuda.
Pada waktu yang akhir-akhir ini, sebagai salah satu', usaha supaya masyarakat tidak hanya bergolong-golongan ada dibagian utara saja, Kotapraja Jogjakarta telah menyingsingkan lengan badjunya, untuk mengisi kekosongan dan kesepian alun-alun Selatan dengan bcrbagai macam pertundjukan yang menarik, meskipun tidak setiap hari. Dalam usaha kearah itu, bekas kandang gadjah telah dibangun kembali, didjadikan bangsal pertundjukan, sedang Bangsal Sitinggil diperluas dan dirubah demikian rupa, untuk balai pertemuan atau balai pertundjukan.
Sebagai diatas sudah dikatakan, bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah seorang bangsawan agung yang dalam dadanya menyala-nyala semangat „Prezeira" (militairisme), karenanya dalam segala kepentingan hidupnya, selalu dititik-beratkan kepada persiapan-persiapan untuk menghadapi segala kemungkinan, demikian juga dengan halnya Keraton Ngajogjakarta-Adiningrat. Tembok yang mengelilingi Keraton (ringmuur) harus diakui bukannya pagar tembok yang sewadjarnya, karena meskipun tingginya hanya 3,5 meter, tetapi tebalnya 5 meter. Tidak hanya demikian saja, ujungnya berbentuk koepel penjagaan, hingga tidak salah lagi bahwa sebetulnya letaknya Keraton ada didalam benteng, dan justru demikianlah orang mengatakannya.
Belum cukup demikian saja, tetapi disamping pagar tembok yang sangat „seram" itu, masih pula dilengkapi dengan jagang (anak sungai) yang dalam juga, hingga sendirinya mejakinkan kita, bahwa bul:an keindahan yang menjadi pusat keinginan Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam pembangunan Keraton itu, tetapi pokoknya berpusat kepada bangunan-bangunan pertahanan.
Benteng Keraton itu mempunyai Gapura 5. Baik bentuknya maupun rudji-rudji besi (dimasa yang lampau) yang merupakan daun pintunya, bukan main kokohnya. Pada jaman-jaman yang lampau, gapura-gapura itu pada siang dan malam hari didjaga dengan tertib sekali, hingga seekor tikuspun tidak akan bisa melalui gapura itu dengan tidak diketahuinya.
Plengkung, demikian orang menamakan gapura-gapura itu, mungkin karena bentuknya pada bagian atas hampir separo bulat (mlengkung), dua menghadap ke utara, yang sebelah barat didalam Kampung Ngasem, terkenal dengan nama Djagasura, yang sebelah timur, didalam Kampung Judonegaran, disebut orang Tarunasura. yang menghadap ke barat, didalam Kampung Tamansari, bernama Djagabaja, jang Di sebelah timur, dalam Kampung Surjomataraman, disebut Madyasura dan yang disebelah selatan, bernama Nirbaja.
PERKEMBANGAN KOTA.
BERSAMA-SAMA dengan perkembangan pembangunan Keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono I menitahkan juga untuk membangun kampung-kampung di sekeliling Baluwarti Keraton, dimulaikan dari kampung-kampung untuk perumahan atau asrama-asramanya para anak-buah angkatan perang dan para Prewira-Prewiranya, sungguhpun pada hakekatnya, dengan mengingati sifat pribadinya Sri Sultan Hamengku Buwono I, dan mengingati pula suasana dimasa itu, barangkali beliau lebih menginginkan mereka itu semua bertempat tinggal didalam Baluwarti Keraton. Tetapi bagaimana juga luasnya Benteng Keraton itu, tidak juga dapat mencukupinya. Inilah sebabnya hanya mereka yang terpilih sangat penting sekali saja, jang, bertempat tinggal didalam Benteng Keraton.
Dengan demikian, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa kampung-kampung didalam Kota Jogjakarta yang tertua, adalah kampung-kampung yang namanya mem¬punyai hubungan langsung dengan Resimen-Resimen atau bagian-bagiannya, atau kampung-kampung yang namanya merupakan tempati dari ahli-ahli tehnik, karena cara memberikan nama pada kampung-kampung itu, menurut nama-namanya pembesar atau golongan anak buah angkatan perang, atau golongan-golongan ahli tehnik yang menernpatinya semula. Lebih tegas umpamanya: kampung Bintaran; karena yang semula menempatinya adalah Pangeran Bintara, kampung Surakarsan, karena semula menjadi tempat Pradjurit Surakarsa, kampung Notop Rajan, karena semula ditempati Pangeran Notoprodjo, karnpung Dagen, karena semula ditempati oleh golongan Undagi (Tukang-tukang kayu) Kampung Kumendaman, karena ditempati oleh Kornandan angkatan perang, kampung Wirogunan, karena semula ditempati oleh Bupati Wiroguno, kampung Wirobrajan, karena semula ditempati oleh golongan Pradjurit Wirobrodjo, dan lain-lainnya.
Salah satu hal yang tidak bisa dilupakan, bahwa dengan memperhatikan akan sikap dan sifat-sifat kepribadian Sri Sultan Hamengku Buwono I, terutama dalam pembangunan-pembangunan Ibu-kota Ngajogjakarta-Adiningrat, yang semuanya berdasarkan dengan kepentingan pertahanan itu, pihak V.O.C. pun tidak tinggal memeluk tangan.
Dengan caranya yang sangat licin, berdasarkan „kesediaannya untuk memberikan bantuan didalam segala kemungkinan". demikian mengakunya, „yang bisa mengganggu dan merugikan. Ngajojakarta-Adiningrat", maka ia bisa mendapat perkenan untuk mendirikan benteng, sebagai tempat soldadu dan pertahanannya.
Demikianlah benteng Vredesburgh berdiri, yang pada hakekatnya untuk persiapan-persiapan, bila Sri Sultan Hamengku Buwono memalingkan muka. Bukan hanya didalam Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat saja olehnya didirikan benteng pertahanan V.O.C., tetapi juga hampir bersamaan dengan itu, didalam Kota Surakartapun didirikan juga sebuah benteng, juga untuk memberikan bantuan, bila Sri Susuhunan Paku Buwono III mendapat kesulitan, demikian alasannya.
Belum cukup demikian saja, tetapi karena V.O.C. sangat kawatir akan terdjadinya persatuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Sri Susuhunan Paku Buwono III, yang tentu akan membawa akibat membahajakan kedudukan V.O.C., atau setidak-tidaknya tentu akan menyulitkan langkah-langkahnya memperluas pengaruh dan ke¬kuasaannya, maka V.O.C.pun lalu mendirikan juga benteng-benteng di Purworedjo, Magelang, Ambarawa, Ungaran dan Ngawi. Dengan demikian, tidak saja Surakarta dan Ngajogjakarta telah didjaga dari dalam, tetapi juga telah dikepung dengan benteng-benteng yang kuat.
Menurut dokumen-dokumen yang terdapat didalam,Kapudjanggan Keraton Ngajogjakarta, batas-batas Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat yang semula:
a. yang sebelah Utara: kampung Djetis sampai kampung Sagan dan Samirana.
b. yang sebelah Timur: dari kampung Samirana ke kampung Lowano.
c. yang sebelah Selatan: mulai dari kampung Lowano sampai kekampung Bugisan, dan
d. yang sebelah Barat: Dari kampung Bugisan sampai kekampung Tegalredjo.
Dengan demikian, Ibukota Ngajogjakarta itu memanjang ke-Utara, sungai Winanga dan Code yang mengapit Keraton, kedua-duanya menembus Ibukota dari jurusan Utara ke Selatan. Dan justru karena inilah, maka bagaimana juga hudjan lebat turun didalam Kota Jogjakarta, dalam beberapa saat saja musnahlah airnya karena kedua sungai itu, mempunyai tenaga yang cukup kuat untuk pembuangan air dari seluruh kota.
Dibawah pimpinan orang kuat lahir batinnya, sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I, bangunan-bangunan baik didalam Keraton sendiri, maupun didalam Ibukota Ngajogjakarta berjalan sangat lancar sekali. Dalam waktu yang tidak lama, Ibukota Ngajogjakarta telah menjadi Ibukota yang hidup dalam arti yang sangat luas. Setapak demi setapak melangkah kearah kemajuan. Orang dari sana-sini datang bergiliran dengan membawa bermacam-macam barang-barang dagangan keperluan hidup sehari-hari. Diantara pedagang-pedagang itu, banyak pula yang terus bertempat tinggal di Ibukota yang baru lahir itu, diantaranya termasuk orang-orang Tionghoa. Menurut dokumen-dokumen yang bisa diketemukan, kampung-kampung yang diperkenankan untuk tempat tinggal orang-orang kulit putih, mula-mula Lodji kecil, kemudian meluas ke jalan Secodiningratan (dahulu:Kampemenstraat), kemudian meluas lagi ke kampung Bintaran dan Djetis, akhirnya ke Kotabaru. Sedang bagi orang-orang Arab adalah kampung Sajidan, dan bagi orang Tionghoa mula-mula di kampung Kranggan, kemudian lambat-laun meluas kesana-sini, terutama ketempat-tempat yang mempunyai harapan baik dalam perdagangan.
Dengan dibukanya Kereta-Api N.LS. Mij. S/V, antara Semarang Jogjakarta dengan stasiunnya di Lempuyangan, mulai 2 Maret 1872, dan Spoor S.S. dengan stasiunnya di jalan Tugu-Kidul, mulai 12 Mei 1887, maka berarti hubungan Kota Jogjakarta dengan lain-lain tempat makin tambah meluas, sendirinya karena ini, maka kemajuan hota ini makin meningkat dengan cepatnya. Tetapi dengan terus-terang bisa diakui, bahwa apa yang dikata „Kemajuan" itu, baik dalam lapangan perdagangan, baik didalam lapangan perumahan dan banyaknya penduduk, maupun didalam lapangan perguruan, pada hakekatnya bukan berarti sifat-sifat yang membawa keluhurannya Ngajogjakarta-Adiningrat, karena setelah mangkatnya Sri Sultan Hamengku Buwono I, pada tangga1 24 Maret 1792 (dimakamkan di Imogiri) keadaan Negeri perlahan-lahan mengalami kemunduran, terutama didalam lapangan politik. Kejadian dan peristiwa-peristiwayang menyedihkan itu sebenarnya „dimainkan" oleh V.O.C.
Tentang Kejadian-Kejadian demikian ini sesungguhnya bukannya hal yang luar biasa, karena setelah „kemudi" Ngajogjakarta-Adiningrat terlepas dari tangan „Orang-kuat" kita, baik lahir, maupun batinnya, sebagai Pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang dalam saat mangkatnya belum ada seorangpun diantara pahlawan-pahlawan seluruh Ngajogjakarta-Adiningrat yang bisa menggantikannya, bukan hal yang mengherankan bila keadaan mendadak menjadi uling, hingga „kapal" Ngajogjakarta-Adiningrat seakan-akan kehilangan arahnya.
Keadaan demikian ini diketahui oleh pihak V.O.C., hingga dengan sangat mudah ia mempergunakan kesempatan-kesempatan ini untuk mencari jalan guna meluaskan pengaruh dan kekuasaannya. Perselisihan faham didalam kalangan para Bangsawan Keraton, yang seharusnya dimasa itu menjadi „jiwa" Negara, diketahuinya. Justru Kejadian-Kejadian sedemikian itulah yang sejak lama sangat „dinanti-nantikan" karena disitulah letaknya „kelemahan" Negara, yang akan bisa membawa keuntungan baginya untuk menerkam kekuasaan Negara.
Diantara Kejadian-Kejadian penting didalam taraf itu, yang langsung mengenai Ngajogjakarta-Adiningrat, adalah peralihan kekuasaan V.O.C. berhubung dengan pergolakan politik di Europa. Tetapi sebagai juga halnya si „serigala" dan si „andjing hutan" pergantian kekuasaan dan pengemudi V.O.C. itu tidak membawa manfaat bagi Ngajogjakarta-Adiningrat, bahkan ia melandjutkan langkah-langkah para pengemudi V.O.C. yang telah lewat, dengan pedoman „dokumen-dokumen" yang ditinggalkan, berikut pesan-pesan dan kesan-kesan dari W.H. van Ossenberch, Gubernur di Jawa pasisir Utara sebelah Timur, J. Vos, J.R. van der Burgh dan lain-lain, setiap kali mereka meninggalkan djabatannya, untuk digantikan dengan lain orang, terutama sembojan Hartingh, sebagai yang sudah disebut dibagian atas.
Dalam suasana keruh itu, lahirlah Pemerintahan Kadipaten Pakualaman, pada tanggal 13 Maret 1813 diperintahkan oleh B.P.Notokusumo, putera Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono III diangkat menjadi Pangeran Merdeka , dengan gelar Kg. Gusti Pangeran Adipati Pakualam I .
Dengan lahirnya Pemerintahan Kadipaten Pakualaman ini, maka Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat menjadi berubah sedikit, karena meskipun daerah Kadipaten Pakualaman ada di Adikarta, yang terkenal juga dengan nama Karang kemuning, tetapi Ibukota Pakualaman ada didalam Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat, menempati sebagian kecil bilangan sebelah timur sungai Code, terdiri dari kampung Notokusuman, yaitu kampung kediaman Sri Pakualam I selagi masih menjadi Pangeran Midji. kampung itu kemudian diberi berpagar keliling (ringmuur), hingga merupakan henteng juga . .
Sebagai juga gapura-gapura yang masuk kedalam Benteng Keraton, pada jaman jaug lampau, batas yang masuk ke Pura Pakualaman, demikian nama Istananya, juga dilengkapi dengan gapura besar bertempat didekat gedung bioscope „Luxor" (sekarang). Belakangan karena dipandang tidak membawa manfaat, malahan sebaliknya, dapat menimbulkan perpisahan, maka gapura itu dihilangkan. Tidak itu saja, tetapi lambat laun beberapa Jawa tan antara Pemerintahan Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, digabungkan djadi satu.
Dan, untuk menghapuskan segala bekas-bekas dan benih-benih yang dahulu disebar oleh V.O.C. terutama dijamannya Raffles, maka dengan keichlasannya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, segala yang bersifat pemisahan itu dihapuskan sama sekali. Lebih tegas, kedua Pemerintahan itu kini menjadi satu lagi, demikian juga dengan pemisahan daerah dan Ibukotanya.
Kalau kita memperhatikan kemajuan-kemajuan Ibukota ini dari babak lahirnya sampai batas angkat kakinya kekuasaan asing dari sini, dengan tidak usah mengingati akan perkembangan-perkembangan kolonialc: politiek yang sedikit demi sedikit mengrikit kekuatan kaki Negara Ngajogjakarta-Adiningrat untuk berdiri sendiri, memang kita dapat merasa megah juga. Sebab, meskipun Ibukota ini letaknya tidak berbandar, tetapi dengan cepat sekali mengedjar lain-lain kawannya yang bukan saja lebih tua umurnya, tetapi juga letaknya ada ditepi laut dan berbandar.
Kemajuan sesuatu tempat merupakan mata rantai, yang satu mempunyai hubungan dengan yang lain, tetapi pada pokoknya adalah tergantung kepada jumlah penduduk yang mempunyai mata pencaharian cukup, hingga mempunyai kekuatan membajar.
Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat bukan saja hawa-udaranya cukupan, tanahnya baik, tetapi dengan secara kebetulan, letaknya ada disatu tempat yang merupakan pintu dari 3 jurusan yang menghubungkan kota-kota bandar besar di Jawa , Semarang, Surabaja dan Jakarta . Selain itu, juga merupakan jembatan yang menghubungkan antara Jawa Timur dan Jawa Barat, karena dimasa itu hubungan itu harus ditempuh dalam waktu 2 hari, Ibukota kita ini adalah satu-satunya tempat yang menjadi penghubungnya. justru karena itu, maka kongsi kereta api, termasuk juga milik Gubermen Belanda (S.S.), terpaksa membuka kantor-kantornya dan menempatkan orang-orangnya disini. Karena Ibukota kita ini menjadi tempat penghubung, sendirinya mendorong orang-orang untuk mendirikan hotel-hotel. Bukan hotel-hotel kelas satu saja, tetapi juga hotel-hotel kecil banyak didirikan orang.
Jumlah penduduk dari kalangan kelas-berada ini, memperpengaruhi besar kedalam segala lapangan, karena mereka sebagai penghuni tetap atau tidak, sama membutuhkan segala macam kebutuhan hidupnya “jermintaan" ini menarik juga kemajuannya lapangan perdagangan, hingga tidak saja meramaikan pasar, tetapi juga sebagai anjuran lahirnya toko-toko disepand yang jalan yang ramai. Demikian juga dengan halnya bangunan rumah-rumah, untuk mengisi kekosongan kampung-kampung yang masih longgar, dan lahirnya sekolahan-sekolahan mulai dari sekolah rendah sampai menengah. Karena jumlah sekolahan-sekolahan lebih banyak daripada lain-lain kota yang ada dikanan kirinya, maka mereka yang membutuh-kannya sama mengirimkan anak-anaknya ke Ibukota kita. Ini berarti menambah pula jumlah penduduk yang menjadi penghuni tetap.
Dan, demikianlah sebabnya maka sejak dahulu kala, Ibukota kita telah terkenal menjadi „Kota perguruan". Sekali lagi saja ulangi, bahwa banyaknya penduduk yang mempunyai tenaga membayar; baik sebagai penghuni tetap atau tidak, dalam lapangan perdagangan mempunyai arti tambahnya „permintaan", sebaliknya karena ramainya perdagangan, merupakan undangan bagi pembeli-pembeli dari lain tempat, untuk sekali-sekali memerlukan berkundjung ke-Kota kita. Karena inilah maka dengan pesat sekali Ibukota kita mendapat kemajuan lebih dari yang semula diharapkan, bahkan setelah menginjak tahun 1890, mulailah melangkahkan kaki kepada lapangan modern, karena sejak itu sebuah Kongsi Gas, telah membuka perusahaannya disini, berpusat ada dikampung Patuk. Mulai itulah Ibukota kita memancarkan penerangan gas. Sungguhpun penduduk kelas-rendah rumah-rumahnya masih tetap mempergunakan penerangan biasa, tetapi mereka bisa turut juga merasakan manfaatnya, karena seluruh tepi jalan-jalan raja didalam Ibukota kita ini, berdirilah tiang-tiang besi, yang pada udjungnya tiap-tiap hari mulai jam 18 sampai pagi hari jam 6, sama memancarkan sinar-sinar yang bersih, yang memberikan pertolongan besar bagi lalu-lintas.
Perkenan Pemerintah Kasultanan atas meluasnya penduduk Tioirghoa dari kampungnya yang semula (Kranggan), ke sebelah selatan, mula-mula hanya terbatas ada disebelah utara rail kereta api,tetapi kemudian diperkenankan juga meluas kesebelahselatan rail kereta api, menambah juga ramainya jalan raja antara Tugu sampai batas pasar, yang sekarang terkenal dengan nama jalan Malioboro , karena sebagai kebiasaan orang-orang yang hidupnya melulu berdagang, maka mereka sama berumah tangga ditepi jalan, dengan toko-tokonya yang berisi bermacam-macam keperluan rumah tangga. Inipun merupakan salah satu faktor yang banyak membantu meramaikan Malioboro, sebab pada malam hari dari toko-toko itu memancarkan penerangan-penerangan, yang tidak saja menambah keindahan pemandangan, tetapi juga memanggil pembeli dari segala pendjuru.
Pergantian penerangan gas menjadi listrik yang dimulaikan sejak tahun 1917, merata sejak 1921, menambah gilang-gemilangnya Ibukota kita, sebab sejak itu penduduk kampung dapat turut juga memetik manfaatnya.
Meskipun perigi-perigi didalam kota kita ini dapat memberikan air yang cukup jernih dan bersih, tetapi sejak lama sumur-sumur itu pada umumnya hanya untuk keperluan cuci-mencuci saja, bahkan tidak sedikit rumah-rumah tangga yang meninggalkan air sumur sama sekali, karena dengan waterleiding tidak saja memudah kan keperluan rumah tangga kita, tetapi juga terjamin kebersihannya. sejak kapankah kota kita ini mengenal waterleiding?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, sebab sesungguhnya umur waterleiding itu sudah tua sekali. Sejak lahirnya benteng Vredesburgh, penghuni benteng itu telah memakai waterleiding; pusat mata-airnya ada didesa Karanggayam. Achirnya air itu, dialirkan kedalam Keraton. Kalau ada salah satu sebab yang mendorong perluasannya waterleiding keseluruh kota, sebab itu sebagian besar adalah perluasan pembangunan gedung-gedung di Kotabaru, yang dimulaikan setelah akhir perang dunia pertama. Kompleks itu merupakan kampung orang-orang kulit putih, yang dimasa itu dalam segala keperluan hidupnya mendapat prioritet terdahulu, diantaranya termasuk kebutuhan air didalam rumah tangganya. Faktor itulah yang mendorong perluasan waterleiding. Kekurangannya air dari Karanggayam, ditambah dari Kalikuning, Kaliurang.
Hampir bersama-sama dengan itu, dinas Pekerdjaan umum, yang dimasa itu lebih terkenal dengan Z.W., mulailah pekerdjaan pembangunan-pembuangan air dan kotoran dengan melalui selokan-selokan didalam tanah (riool). Dengan selesainya pe¬kerdjaan ini, Ibukota kita tercatat sebagai Ibukota ketiga diseluruh Indonesia, yang mempunyai anak-anak sungai didalam tanah, untuk pembuangan air dan kotoran dari kampung-kampung keluar kota, hingga dalam rumah tangga, pekarangan, jalan-jalan, terutama yang ada didalam kompleks kampung-kampung Belanda, sama sekali tidak pernah terlihat percomberan, atau air tertahan, yang menimbulkan bau-bauan busuk dan sarang nyamuk.
Usaha untuk menyehatkan Ibukota itu belakangan diketahui menimbulkan kerugian bagi daerah-daerah luar kota, sebab air dan kotoran-kotoran dari Ibukota itu kerap kali mengandung benih-benih penyakit yang bisa merugikan kesehatan penduduk desa, yang umumnya sama memakai air sungai, yang tercampur dengan air pembuangan dari Ibukota. Justru karena ini, maka dinas kesehatan bersama-sama dengan Z.W. telah mendirikan pesawat pembersihan air dan kotoran dari semua pembuangan, sebelum masuk ke sungai-sungai yang mengalir kedesa-desa. Waterverzuivering, demikianlah nama pesawat pembersihan itu, didirikan di kampung Ngasem, terletak disebelah Barat pasar . (1)
Air kotor sesudahnya masuk kedalam pesawat itu, menjadi bersih kembali, sedang kotoran-kotorannya mendjilma menjadi gemuk tanaman.
Letaknya Ibukota kita yang merupakan djembatan yang menghubungkan Jawa „Timur dan Jawa -Barat, hawa udaranya yang sehat, kebersihannya yang bisa dibanggakan, yang sangat kaja dengan pemandangan alam yang indah-indah, dekat dan mudahnya hubungan dengan Barabudur, Mendut, Kalasan, Prambanan dan Candi-Sewu, yaitu peninggalan2 dijaman Jawa -Hindu yang sangat termashur, ditambah pula dengan hasil-hasil keradjinan tangan dari tanduk, penyu, tulang, perak, perak-bakar dan lain-lain, juga dengan terkenalnya kesenian-kesenian kerawitan, seni suara dan seni tari, Wayang orang Keraton, terutama pada jaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, merupakan faktor-faktor penting yang menarik hatinya kaum touristen luar Negeri, untuk menjadi tamu-tamu Ibukota kita, terutama setelah diorganiseer oleh Touristen bureau „Djocja Vooruit".
Menurut perhitungan jiwa , pada tahun 1937; berdasarkan perumahan, penerangan, waterleiding dan alat-alat kebersihan kota yang bisa dipertanggung Jawa bkan, hanya untuk mencukupi kebutuhan 47.000 keluarga, atau kira-kira 235.000 orang. Dengan menilik jumlah penduduk kota yang tambah menambahnya tidak bisa dibatasi, pernah timbul usaha-usaha ke arah pembangunan kota (Stadsvorming). Dalam rencana itu, Ibukota Jogjakarta akan diperluas keempat penjuru, masing-masing dengan ukuran 15 km, dari tengah-tengahnya Ibukota.
Usaha kearah pembangunan itu sudah berjalan sampai kepatla babak persiapan tehnik, tetapi kesemuanya telah digagalkan karena pecahnya perang dunia yang kedua. Demikianlah bila kita pandang dari sudut lahir, sejak perletakan batu pertama sampai pada permulaan pc:rang dunia kedua, Ibukota Jogjakarta setindak demi setindak melangkahkan kakinya kearah kemajuan yang sangat memuaskan, lebih daripada kawannya yang umurnya lebih tua.
Tetapi bila kita memandang kepadanya dari sudut politis, kita akan mendapatkan gambaran-gambaran lain, yang sangat bertentangan daripada yang kita lihat dengan mata kepala kita.
Sebagai sudah dinyatakan pada bagian atas, setelah mangkatnya Sri Sultan Ha¬mengku Buwono I, kedudukan Ngajogjakarta-Adiningrat hampir serupa halnya dengan perahu kapal kehilangan Mualimnya yang sangat cakap, karena mereka yang ditinggal¬kan tiada seorangpun yang dapat menggantikan beliau, untuk meneruskan memimpin dan mengemudikan Ngajogjakarta-Adiningrat kearah „bahagia raja", sebagai cita¬citanya yang semula. Tetapi sebaliknya, telah terjadi perpecahan, disebabkan perbedaan faham dalam „lapangan politik" dan „kepentingan". Dalam pada itu,. V.O.C. yang selalu menyediakan „balran-bahan bakar" setiap kali terjadi „peletikan api" didalam kom¬pleks pimpinan Negara, tidak melepaskan kesempatan-kesempatan yang sangat penting baginya itu. Makin hebat pertengkaran yang terjadi pada pimpinan Negara, makin kuatlah kedudukannya, dan makin cepat juga tercapainya merampas pengaruh dlan kekuasa¬an Ngajogjakarta-Adiningrat.
Sebagai gambaran-gambaran yang pernah kita saksikan pada jaman revolusi yang baru lalu ini, tidak sedikit adanya orang-orang yang „berpengaruh" didalam lapangan Pemerintahan, yang jiwanya Jim dibeli", secara langsung atau tidak langsung.
Sedikit demi sedikit, kekuasaan Ngajogjakarta-Adiningrat terlepas dari genggaman kerajaan, ada yang disebabkan sebagai akibat peristiwa-peristiwa politik, tetapi ada juga yang disebabkan karena digogos dengan cara „sistimatis" setiap kali terjadi pergantian yang menduduki Singgasana.
Peristiwa yang tidak bisa dilupakan dan sangat melukai hati karena merupakan perkosaan, telah dialami oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II setelah beliau duduk di tahta kerajaan kira-kira setengah tahun lamanya.
Pada masa itu yang menjadi Gupernur Jendral adalah H.W. Daendels. Rupanya Daendels mengetahui akan kelemahan-kelemahannya Ngajogjakarta-Adiningrat, hingga olehnya dipandang sudah sampai waktunya untuk mengangkat kedudukan dan ke¬kuasaannya beserta alat-alat kekuasaannya, terutama yang terdiri dari orang-orang kulit putih, dengan jalan menarik kebawah keluhurannya Sri Sultan Hamengku Buwono II, hingga karenanya pada waktu pasowanan, kedudukan para Minister (Residen) hampir berimbangan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Tentang itu, ditentukan didalam „Peraturan upa jara resmi" tertanggal 28 Djuli 1808. Sungguhpun „peraturan upacara resmi" yang baru itu menimbulkan reaksi yang sangat panas, dan ditambah pula atas sikapnya HW. Daendels yang kurang sopan pada waktu ia menerima kunjungan Sri Sultan Hamengku Buwono II digedung Karesidenan, tetapi lama-kelamaan upacara baru itu berwudjud juga .
Demikianlah setiap kali pergantian Gubernur Jendral, dan atau pergantian residen/minister, kekuasaan dan keluhuran kerajaan Ngajogjakarta-Adiningrat menjadi susut, demikian pula luas daerahnya.
Datangnya Raffles, dan kegagalan dari perlawanan yang dipimpin oleh B.A.P. Diponegoro (terjadi pada 1825-1831) telah mempercepat proses hapusnya kekuasaan dan luasnya kerajaan Ngajogjakarta-Adiningrat, hingga akhirnya hanya tinggal seluas yang kita ketahui sekarang.
Pengalaman-pengalaman yang sangat getir, dan sangat menyedihkan, yang sebenarnya segala kesedihan itu bisa tidak usah terdjadi, bila „kasudjanan dan kawaspadan" tidak ditinggalkan dan dilupakan. Tetapi disamping pengalaman-pengalaman yang pahit itu, karena berkah Sang Naga Kyai Djaga, kitapun menjumpai juga beberapa Kejadian yang merupakan hiburan, karena kejadian-kejadian itu berupa benih-benih perlawanan kepada kolonialisme, yang lahir dan atau dilahirkan di Ibukota kita, dan diperkembangkan dari atau mulai dari Ibukota kita ini juga .
Sementara hidup didalam tindasan politik penjayahan yang ganas dan kejam itu, lahirlah disini Budi Utomo, Muhammadiyah, P.G.H.B. (kemudian berganti P.G. dan sekarang dirubah menjadi PGRI), Badan Kongres Wanita Indonesia, P4A , Pembela Buruh Perempuan, Perguruan Adhi Dharma, Taman Siswa dan lain-lain organisasi Nasional,yang pada hakekatnya merupakan tuntutan jiwa merdeka untuk menentang kolonial stelsel.
Terjadi pada kota-kota besar yang lain, yang pada jaman pendudukan Jepang nama-nama jalan, nama kantor-kantor atau jawatan, nama-nama jembatan dan lain-lain, yang pada jaman Hindia Belanda sama mempergunakan nama-nama asing, oleh Pemerintah Balatentara Jepang digantikan dengan nama-nama yang memakai istilah Jepang, adalah didalam Ibukota kita cara-cara demikian tidak berjalan Adapun sebab-sebabnya, sebelum Jepang bisa berbuat apa-apa, lebih dahulu nama-nama itu atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, telah digantikan lebih dahulu dengan mempergunakan nama-nama Jawa asli, hingga Pemerintah Balatentara tidak mempunyai alasan lagi untuk menggantikan dengan nama-nama Jepang sebagai yang terjadi dilain-lain kota besar di seluruh Indonesia, terutama Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaja.
Juga dalam saat Presiden Sukarno dan Wk. Presiden Hatta memproklamirkan kemerdekaan kita, pada hari 17 Agustus 1945, Ibukota kita adalah Daerah yang mengetahui peristiwa penting itu yang terdahulu, sesudah Jakarta, karena kalau di Ibukota-Ibukota yang lain, oleh Gunsaikanbu bisa dicegah disiarkannya berita penting itu, di Ibukota kita larangan itu baru diterima oleh Sendenbu setelah Proklamasi itu disiarkan dengan perantaraan tilpon ke Kabupaten-kabupaten Masjid Besar dan Masjid Pakualaman oleh wartawan-wartawan. Sebab pada hari itu hari Jum'at, maka dengan cepat sekali berita yang sangat penting itu tersiar di seluruh kampung dan desa-desa, Merampas senjata-senjata dari tangan Tentara Jepang yang paling kecil korbannya, juga yang terjadi di Ibukota kita, karena dengan kebijaksanaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX Butaicho Pingit dan Kotabaru, telah datang sendiri menyerahkan semua senjata yang ada dibawah kekuasaannya, kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Kalau dalam saat mengurung Butai Kotabaru pada malam sebelum menyerah, telah mengambil korban jiwa 19 orang pemuda, kejadian yang menyedihkan itulah karena perbuatan pengacau, yang sengaya datang dari lain tempat, tetapi beberapa diantaranya, pada keesokan harinya bisa ditangkap juga oleh pemuda-pemuda kita. Komite Nasional Indonesia (KNI) yang terdahulu lahir, setelah Jakarta, juga di Ibukota kita, berkantor di Gedung Agung, bersama-sama dengan lain-lain badan perjuangan.
Salah satu peristiwa penting dalam sejarah perkembangan politik yang mempunyai sangkut-paut dengan sejarah Ibukota kita, dalam saat-saat permulaan revplusi kita itu,adalah sambutan Kepala Daerah Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman, dalam menghadapi dan menyambut Proklamasi kemerdekaan Indonesia
Sembilan belas hari kemudian dari pada 17 Agustus 1945, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengumumkan amanatnya dicorong Radio Jogjakarta, yang disambut dengan penuh semangat dan kegembiraan oleh seluruh penduduk Jogjakarta pada umumnya, penduduk Ibukota kita pada khususnya, Amanat itu isinya:
1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta-Adiningrat yang bersifat kerajaan , adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia.
2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta-Adiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan Pemerintah dalam Negeri Ngajogja¬karta-Adiningrat mulai saat ini berada ditangan kami, dan kekuasaan¬kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya.
3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta-Adiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersipat langsung dan kami bertanggung Jawab atas Negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Pada saat yang hampir bersamaan, Sri Pakualam VIII juga mengumumkan amanatnya yang isi dan jiwa nya bersamaan.
Dengan mempergunakan kaca-mata sekarang, sikap kedua Kepala Daerah itu tidak mempunyi sifat yang besar artinya, tetapi kalau kita kembali menengok pada saat¬-saat diumumkannya Amanat-amanat itu, kita akan berpikiran lain, sebab pada waktu itu kita masih ada dimulut senjata musuh yang ganas dan kejam. Dalam sejarah revolusi, ketegasan sikap kedua orang Kepala Daerah itu, tidak bisa dilewatkan demikian saja. Jogjakarta dan Pakualaman adalah 2 Zelfbestuur (Swap Raja) pertama yang menyatakan dengan tegas, berdiri dibelakang Proklamasi Presiden Sukarno -dan Wk. Presiden Moh. Hatta.
Tiada seorangpun yang berani meramalkan, bahwa legende,„Naga, 'Kiai Djaga" yang mewudjudkan seakan-akan petunjuk Illahi kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam saat memilih calon Ibukota, akan benar-benar terbukti setelah Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat berumur hampir 190 tahun lamanya.
Juga sama sekali tidak pernah orang menyangka bahwa di Ibukota kita ini, kekuasaan Belanda seluruhnya mendapat perlawanan yang paling berat, dengan berkesudahan „tamatnya" sejarah pendjadjahannya. Dan sama sekali tidak ada yang menyangkakan, bahwa peresmian dari keangkatan Presiden Republik Indonesia Serikat yang pertama, dilakukan di Ibukota kita ini, dan upacaranya dilaksanakan di Bangsal Witana, yang pada lk. 190 tahun sebelumnya, menjadi tempat Sri Sultan Hamengku Buana I duduk disinggasana yang. pertama, untuk meresmikan lahirnya Negara dan Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat. Semuanya benar-benar telah terdjadi!
Beberapa Minggu setelah lahirnya Republik Indonesia maka datanglah Tentara Sekutu yang dipimpin oleh Angkatan perang Inggris, memasuki Jakarta . Dalam rombongan itu, turut membonceng juga Tentara kerajaan Belanda, yang rupanya mempunyai harapan besar, akan „disambut" oleh rakyat Indonesia dengan girang hati. Tetapi dugaannya ternyata salah sekali, mereka disambut dengan pedang terhunus.
JADI IBUKOTA REPUBLIK INDONESIA.
SEMENTARA Rakyat Indonesia seluruhnya merasakan kegirangan karena terlepas dari kuku penjayahan asing itu, dengan cara mendadak kita yang ada di Ibukota Jogjakarta dikejutkan oleh satu kejadian yang sama sekali tidak disangka-sangka.
Meskipun Jendral Ghristison, pemimpin pendaratan tentara Sekutu di Tandjung ¬Priuk pada tanggal 29 September 1945, sehari sesudahnya tiba di Jakarta, mengakui akan lahirnya Negara baru, Republik Indonesia, dan menyatakan juga bahwa ke¬datangannya di Indonesia „melulu hanya akan melucuti tentara Jepang ", tetapi pada tanggal 25 Nopember 1945 pagi hari penduduk di Ibukota kita telah dikejutkan dengan terdjadinya serangan kapal udara RAF. meskipun sasarannya hanya ditujukan kepada Studio Radio Jogjakarta saja. Maksudnya yang terutama, supaya Jogjakarta tidak banyak bicara.
Tetapi kenyataan bahwa maksudnya tidak tercapai, karena pada petang harinya Radio Jogjakarta masih melayang diudara, bahkan makin hebat dari jang, sudah-sudah, diantaranya mengumumkan tentang serangan R.A.F. yang dirasakan sebagai perbuatan sewenang-wenang itu. Justru karena itulah maka pada tanggal 27 Nopember 1945, jadi dua hari kemudian, ia datang lagi untuk mengulangi „keberaniannya". Akibatnya mengambil kurban Gedung Siaran Radio, Balai Mataram dan Gedung Sana-Budaja.
Kejadian-Kejadian itu merupakan minyak yang menyiram api perjuangan kita, dan seakan-akan peringatan dari „Kiai Djaga", untuk selanjutnya supaya penduduk Ibukota kita harus „lebih berhati-hati dan waspada".
Lahirnya tahun 1946 telah membawa perubahan yang sangat besar sekali bagi Ibukota kita. Kalau pada 190 tahun yang lalu, Ibukota ini mempunyai kedudukan sebagai Ibukota Negara Ngajogjakarta-Adiningrat, dan pada akhir perlawanan B.P.A. Dipo¬negoro telah merosot tinggal menjadi Ibukota Kasultanan dan Karesidenan Jogjakarta, sejak 5 September 1945 menjadi Ibukota Daerah Istimewa Jogjakarta, adalah sejak tanggal 4 Januari 1946, berhubung dengan kepindahan P.J.M. Presiden Sukarno dan P.J.M. Wakil Presiden Moh. Hatta dari Jakarta kesini, bersama-sama dengan para Pemimpin Negara yang lain, maka Ibukota Jogjakarta mendadak telah meloncat menjadi Ibukota sementara dari Republik Indonesia.
Perubahan ini sangat besar sekali pengaruhnya,karena dengan cara mendadak juga, Ibukota ini telah dibandjiri penduduk yang tidak saja dari Jakarta yang terdiri dari para Pemimpin dan alat kekuasaan Negara, tetapi juga penduduk preman yang merasa kurang aman di daerah-daerah yang sudah dimasuki tentara Serekat, dan rombongan tentara kerajaan Belanda, sama turut juga mengungsi ke Ibukota kita. Karenanya Ibukota kita mengalami bermacam-macam kesulitan, terutama dalam soal perumahan, baik untuk keperluan kantor-kantor Kementerian-Kementerian atau Jawatan-Jawatan, baik untuk tempat tinggal. Sukurlah semua itu diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk Ibukota kita, hingga bagaimana juga semuanya bisa dicukupinya dengan tidak banyak bicara. Hampir semua Kepala rumah tangga, dengan senang hati menerima kedatangan mereka, meskipun rumahnya menjadi penuh sesak karenanya.
Salah satu hal yang agak gandjil kedengarannya, dimasa itu tiap-tiap rumah penghuninya terdiri dari beberapa keluarga, bahkan sebuah rumah dikampung Bedji, penghuninya 10 keluarga.
Tidak bisa dilupakan juga, bahwa Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta telah menyerahkan semua gedung,-gedungnya untuk keperluan para Pemimpin Negara atau untuk keperluan kantor-kantor Kementerian dan Jawatan-Jawatan.
Pendek kata, bagaimana juga, Ibukota kita bisa menerima kewajiban yang sangat berat itu sampai batas kekuatannya yang terakhir. Dan, kita sebagai „Tuan rumah", harus merasa bersukur kepada Illahi, bahwa kita dianugerahiNya kekuatan untuk memikul kewajiban suci itu.Sejak itu pula, nama Ibukota kita, Jogjakarta, berkumandang ke seluruh dunia, hingga tidak ada surat-surat kabar Internasional yang keluar dengan tiada menyebut nama „Jogjakarta", karena sejak itu tidak saja Kemudi Negara dan pimpinan perdjuangan Republik Indonesia berpusat dan „dimasak" disini, tetapi disini pula tempat perkembangan kekuasaan dan pengaruh Republik Indonesia, baik kedalam, maupun keluar Negeri.
Dalam sejarah uang Republik Indonesia-pun dilahirkan dan mulai beredar dari Ibukota Jogjakarta, yaitu sejak tanggal 26 Oktober 1946, dengan ketentuan perbandingan nilai dengan uang Jepang 1:50 untuk didaerah Jawa , dan untuk Daerah Sumatra 1: 100.
Berdasarkan dengan beberapa faktor itu, psychologis berpengaruh juga pada jiwa orang-orang di luar Jogjakarta, untuk ingin melihat dan mengetahui Ibukota ini, malahan juga tidak sedikit yang sama ingin menjadi penghuni tetap dalam Ibukota kita ini. Sendirinya banyaknya penduduk, baik yang sudah menjadi penduduk tetap, maupun yang hanya datang sebagai tetamu saja, merupakan daya penarik bagi hatinya pedagang-pedagang untuk memasuki Jogjakarta.
Karena ramainya pasar, hingga keperluan hidup yang dimasa itu memang susah didapatkan dilain tempat, mudah bisa didapatkan di Ibukota kita ini, merupakan kekuatan gaib juga untuk memanggil orang-orang untuk sekali-sekali berkundjung ke Ibukota Jogjakarta. Ibukota kita dimasa itu tidak saja menjadi pusat perhatian seluruh Indonesia, tetapi juga dari dunia Internasional.
Bukan rahasia lagi, bahwa bagi penduduk diluar Jawa, dalam kalangan perdjuangan, Jogjakarta dipandang sebagai „Mekahnya", hingga mereka yang berjuang, belum merasa puas hatinya bila belum pernah berkunjung ke Ibukota Jogjakarta.
Demikianlah, mulai Ibukota Jogjakarta „dinobatkan" menjadi Ibukota Republik Indonesia, terus-menerus telah dibandjiri penduduk dari segala pendjuru, terutama setelah Belanda diam-diam menjalan kan aksi Militer dikanan-kiri Daerah,-daerah yang diduduki tentara Serekat, penduduk-penduduk yang daerahnya dikacau oleh aksi¬Militer itu, sama datang menyelamatkan dirinya bersama-sama dengan keluarganya ke Ibukota kita ini.
Dalam pada itu, dapatlah kita mengerti betapa kesulitan-kesulitan yang kita alami dimasa itu, terutama didalam soal perumahan, karena tidak saja penduduk kota menjadi berlipat ganda, tetapi juga Pemerintah Pusat, sangat membutuhkan gedung-gedung besar yang bisa mencukupi untuk keperluan pekerdjaan-pekerdjaan resmi. Disamping itu, tidak bisa dilupakan, bahwa penduduk lapisan bawahpun merasa¬kan pukulan yang tidak ringan, karena dengan tambah-menambahnya penduduk Ibukota kita ini, biaja keperluan hidup sehari-haripun menjadi meningkat.
Kota Jogjakarta, yang sebelum perang dunia kedua akan diperluas, karena kota yang sempit ini dimasa itu sudah dirasakan „Penuh sesak", sejak menjadi Ibukota Republik Indonesia bukan hanya „penuh sesak" saja, bahkan seakan-akan susah untuk bernapas.Tetapi bagaimana juga ,tiada seorangpun yang mengeluh, beban berat dan pengurbanan itu dipikulnya dengan keichlasan hati, bahkan sama berbesar hati, karena mereka tahu dan jakin, bahwa semuanya itu adalah „panggilan suci" untuk kepentingan Nusa dan Bangsa.
Keadaan demikian itu makin memuncak, setelah terdjadinya clash pertama dan politik blokade Belanda.
Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa segala perkembangan politik Negara kita, langsung dirasakan oleh penduduk Ibukota Jogjakarta, baik yang mengerti dan aktif mengambil bagian dalam lapangan politik, maupun yang tidak.
Salah satu Kejadian penting yang langsung merigenai Ibukota Jogjakarta seridiri, adalah perubahan statusnya. Kalau semula Ibukota Jogjakarta termasuk didalam lingkungan Kabupaten Kota, dan dengan dihapusnya Kabupaten Kota, Ibukota Jogja¬karta mendapat kedudukan sebagai Daerah otonum dengan nama Haminte Jogjakarta, kemudian sejak 1947 dirubah menjadi Kotapraja Jogjakarta.
Meskipun demikian, semasa Kotapraja kita ini masih mempunyai kedudukan sebagai Ibukota sementara dari Republik Indonesia, belumlah Kotapraja mendapat kesempatan untuk memikirkan kewadjiban-kewadjibannya yang khusus, sebab pada masa itu, semua tenaga dan pikiran, dipusatkan untuk kepentingan Pemerintah Pusat, karenanya pait getirnya Pemerintah Pusat, Kotapraja Jogjakarta turut juga merasa¬kannya."
Satu diantara 4 sudut benteng melingkungi Keraton Jogjakarta
Gedung kuning yang terletak di dalam keraton Jogjakarta
Pangeran Diponegoro seorang bangsawan Jogjakarta pahlawan Indonesia
CLASH KEDUA.
DEMIKIAN juga dengan terjadinya clash kedua, yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1948. Disamping kurban-kurban yang terdiri dari alat kekuasaan Negara; penduduk preman tidak sedikit yang mengurbankan jiwa-raganya. Kampung-kampung banyak yang hancur luluh, kekayaan rakyat yang musnah tidak terbilang, dan kurban jiwa rakyat, baik laki-laki, baik perempuan, baik tua maupun muda, bahkan anak-anak, ribuan orang banyaknya.
Sekali lagi saya ulangi, bahwa apa yang diceriterakan orang tentang legende „Naga, Kyai Djaga", pada peristiwa clash kedua itu, telah terbukti kebenarannya. Setelah pada tanggal 27 Desember 1948 P.J.M. Presiden Sukarno, St.Sjahrir, marhum Hadji Agus Salim, oleh tentara kerajaan Belanda diasingkan ke Brastagi, PJM. Wk. Presiden Moh. Hatta, Mr. Moh Rum, Mr. Ali Sastroamidjojo dan Mr. Assaat, diasingkan ke Bangka, maka Kotapraja Jogjakarta boleh dikata mengalami kekosongan, karena para Pemimpin Negara yang lain, yang tidak dapat tertangkap, sama meloloskan diri keluar kota, dan kalau ada yang masih didalam kota, mereka dengan cara hati-hati menjadi „orang Siluman". Jendral Besar Sudirman, sesudahnya meninggalkan gedungnya di Bintaran, lalu beristirahat di Gedung Mangkubumen, menantikan saat yang baik untuk meneruskan keluar Kota, memimpin perlawanan.
Nampak sekali bahwa dengan diasingkannya Kepala Negara dan beberapa tokoh penting yang dipandang menjadi„Kepala-kepala-Pembrontak" itu, fihak Belanda menyangka kekuatan RI sudah patah, RI sudah tammat. Dengan segala kemegahan ia menduduki Kotapraja kita. Tetapi belum genap satu Minggu, ia sudah mulai merasa bahwa dugaannya meleset, sebab sejak itu ia tidak berhadapan lagi dengan alat kekuasaan Negara, tetapi ia telah berhadapan dengan bermacam-macam „hantu", yang pada siang hari mereka tidak kelihatan, menyembunyikan diri di tempat-tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka, diantaranya didalam kompleks Keraton, Pura Pakualaman, kompleks Taman Siswa dan gedung-gedungnya para Pangeran, tetapi setelah matahari terbenam mulailah mereka menyerbu tempat-tempat penjagaan tentara kerajaan Belanda, menyergap patroli-patroli yang tengah berkeliling. Dalam sejarah pendudukan di Ibukota kita, serangan Gerilya pada tentara kerajaan Belanda yang paling-hebat, terjadi pada tanggal 20 Januari 1949. Dalam serangan itu seluruh Ibukota kita bisa direbut kembali, tetapi oleh sebab yang dimaksudkan hanya akan „berdemonstrasi" bahwa Gerilya kita mempunyai kekuatan dan keberanian serta siasat-siasat peperangan yang sempurna, maka pada waktu mendekati Subuh sebagai juga keganjilan pada waktu datangnya, dengan sekaligus mereka menghilang kembali dengan mendadak.
Tidak aneh bahwa pada pagi harinya pos-pos penjagaan tentara kerajaan Belanda sudah berisi lagi, tetapi sejak itu tidak seorangpun diantara Opsir-opsir Belanda yang berani bermalam di Ibukota kita, mereka sama bermalam di lapangan terbang Meguwo, hanya para Soldadu-soldadu biasa, terutama yang bukan Belanda totok yang diwajibkan menjalankan tugas, berdiam di-Ibukota.
Bukan hanya pada malam hari saja Gerilya-gerilya kita mengganggu jiwa-jiwa musuh, pada siang haripun tidak jarang mereka menyerang patroli-patroli musuh dengan caranya yang sangat menekad, tempo-tempo berhasil bagus sekali, tetapi sebaliknya tidak sedikit yang menjadi kurban peluru musuh.
Tentara kerajaan Belanda tiap-tiap hari melakukan pembersihan dan penggledahan di kampung-kampung, tiap-tiap bertemu dengan pemuda, tidak peduli bersenjata atau tidak, mereka ditangkap dan digiring ke rumah penjara Wirogunan atau kekantor LVG. , yang sebetulnya sudah penuh dengan tangkapan-tangkapan yang terdahulu, sebagian besar terdiri dari para Pemimpin, Polisi-polisi dan orang-orang yang dipandang berbahaja bagi pihaknya.
Pengadilan Militer Belanda di-jalan Secodiningratan , tiap-tiap hari bersidang, dan tentulah ribuan orang pemuda yang menjadi kurbannya, bila tidak ada usahanya Mr. R.H. Soejoedi dan Mr. Koo Siok Hie, yang selalu menjadi pembela mereka dengan cuma-cuma.
Kalau para pemuda dari segala golongan, baik yang berigama Islam, baik Katolik, baik Protestan, baik Mahasiswa, baik murid sekolah lanjutan, maupun pemuda kampung, bulat bersatu menentang kekuasaan Belanda dengan cara bergerilya, para pemudi-pemudinya mengambil bagian sebagai penghubung antara satu dengan lain pasukan Gerilya, atau antara Ibukota dengan dacrah-daerah pedalaman. Tidak sedikit diantara mereka yang ditangkapnya dan dimasukkan penjara Wirogunan.
Perkembangan-perkembangan politik dimasa itu tidak banyak diketahui oleh penduduk Ibukota, karena listrik tidak ada, hingga dengan sendirinya radio menjadi mati. Kalau dimasa itu kita bisa mendapat sedikit-berita tentang Kejadian-Kejadian di PBB, adalah karena pertolongan surat-surat kabar yang terbit di Jakarta, yang diselundupkan kesini, diantannya yang terbanyak harian Merdeka. Bagaimana penghidupan rakyat didalam Ibukota kita dimasa itu, dapat dibayangkan dengan harga-harga bahan makanan. Karena beras dari desa dilarang diperdagangkan kedalam Kota, maka dipasar Beringhardjo beras pecah kulit sekilo berharga diantara 400 sampai 600 rupiah URI. sedang perbandingan nilai uang URI dengan uang cring, demikian umumnya uang Belanda dikatakan orang, 375:1. Dimasa itu yang berdagang dipasar bukan lagi orang-orang dari desa sebagai biasanya, tetapi para Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang terhormat, para pcmuda dan para Mahasiswa, yang disamping mencari penghidupan, juga sambil „memasang" telinga dan mata pada segala gerak-gerik tentara musuh.
Keganasan tentara Kerajaan Belanda mulai kurang sedikit, ketika perkembangan politik Internasional ada tanda-tandanya condong ke arah R.I, terutama sesudah mulai ada rencana bakal dilangsungkannya Konperensi Meja Bundar.
Setelah suasana mulai tenang, mendadak dibikin keruh lagi oleh tentara pendudukan, yaitu terjadinya penggrebegan yang dilakukan olehnya pada gedung Kepatihan pada tanggal 28 Mei 1949. Pada waktu itu tengah dilakukan perisapan-persiapan untuk pemulihan Pemerintah Pusat. Beberapa Pegawai R.I. telah ditangkapinya. Peristiwa ini menyebabkan Menteri Negara merangkap Koordinator Keamanan Dalam Negeri, Sri Sultan Hamengku Buwono IX membuat protes keras.
Tanggal 29 Juni 1949, adalah hari yang tidak akan bisa dilupakan, karena pada hari itu adalah hari penarikan mundur tentara kerajaan Belanda dari Ibukota kita dan masuknya Angkatan Perang R.I. dari daerah pedalaman kedalam Ibukota kita, dibawah pengawasan Kolonel van Langzn dari fihak Belanda, dan Menteri Negara Merangkap Koordinator Keamanan Dalam Ncgcri Sri Sultan Hamengku Buwono IX dari pihak kita. Sedjak itu Ibukota kita pada lahiruja sudah terhindar dari musuh, yang telah mencoba kesekian kalinya untuk mematahkan kekuatan Negara kita.
Suasana makin tambah jernih, setelah Kepala dan wakil Kepala Negara kita, Bung Karno dan Bung Hatta pulang kembali ke Ibukota kita dari pengasingan, bersama-sama para Pembesar-pembesar kita, pada tanggal 6 Djuli 1949. Tidak lama dari itu, disusul pula datangnya para pemimpin-pctnimpin kita yang mcngambil bagian dalam lapangan Gerilja, diantaranya termasuk Mr. Susanto Tirtoprodjo, Dr. Sukiman, marhum Jendral Besar Sudirman, L,J. Kasimo dan lain-lain tokoh-tokoh besar.
Setelah itu, peranan-peranan penting, didalam perkembangan politik kembali berpusat di Ibukota kita, diantaranya yang sangat penting adalah terdjadinya Konperensi Antar Indonesia, yang antara lain memutuskan „benluk.Negara kita" dirubah dari „ke¬satuan" meadjadi „Negara Sarekat", dan dalam Konperensinya wakil-wakil dari Negara bagian, dcngan suara bulat, mcmilih Bung Karno sebagai Prcsidcn RIS.,yang sebagai pada bagian atas telah dikatakan bahwa peresmiannya pengangkatan itu telah dilakukan pada tanggal 17 Nopember 1949 di Bangsal Witana, Sitinggil, yang dahulu dibangun atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono I, dan di Bangsal itu pula dahulu beliau duduk yang pertama, scbagai Raja Ngajogjakarta-Adiningrat.
Rupanya dharma Ibukota kita belum cukup sampai dibatas itu saja, sebab meskipun sejak tanggal 28 Desember 1949, PJM. Presiden Soekarno, P.J.M. Wakil Presiden Moh. Hatta dan lain-lain Pembesar RIS. sama meninggalkan Ibukota kita, tetapi Ibukota kita masih tetap menjadi Ibukota Negara bagian. Mr.Assaat yang di pilih sebagai acting Kepala Negara R.I. masih tetap tinggal di Ibukota kita. Dan barulah status Jogjakarta kembali mcnjadi Kotapraja lagi, setelah sidang D.P.R.S. mengambil putusan, mengembalikan bentuk Negara kita, tidak lagi menjadi „Negara Sarikat", tetapi „Negara kesatuan".
KOTA PERGURUAN.
DENGAN kepindahannya Pemerintah Pusat dari Jogjakarta ke Jakarta, semula orang menduga bahwa penuh sesaknya Kotapraja ini akan berubah menjadi longgar, sebab menurut perhitungan, berhubung dengan pemindahan Pemerintah Pusat itu, Ik. 3000 keluarga para Pegawai Negeri turut berpindah juga, tetapi ternyata dugaan itu tidak benar, sebab setelah Kotapraja kita tidak lagi menjadi arena politik, kedudukannya telah berubah menjadi „Kota perguruan", karenanya dengan sendirinya merupakan penampungan Siswa-siswa dari segala pendjuru, baik dari dalam, maupun dari luar Jawa, yang sama meneruskan pelajarannya ke sekolah lanjutan sampai ke Universitas Negeri Gadjah Mada. Jumlah mereka semua tidak kurang dari 80.000 orang.
Inilah sebabnya segala kesulitan yang dirasakan semasa Jogjakarta masih mcndjadi Ibukota R.I, tinggal tetap kita rasakan juga, kekurangan perumahan, kekurangan penerangan, kekurangan air, kekurangan asrar.ia pelajar, dan masih banyak lagi macamnya kekurangan, sampai hari, jam dan saat ini masih belum berubah.
Dan semuanya, ini, tanggung Jawabnya ada pada pundak Kotapraja Jogjakarta. Satu tanggung Jawab yang sangat berat! Sampai sekarang usaha-usaha untuk memaju kan lapangan-lapangan perekonomian didalam Kotapraja Jogjakarta masih belum mendapatkan hasil sebagai yang diharapkan. Akibat pendudukan Jepang dan blokade Belanda sejak clash pertama dan kedua, sampai sekarang masih dirasakan. Ini memang mudah dimengerti, karena dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, harus diakui bahwa Daerah Istimewa Jogjakarta pada umumnya dan Kotapraja Jogjakarta pada khususnya, memikul penderitaan yang lebih berat dan lebih lama dari pada Kota-kota yang lain, karena didaerah-daerah yang lain rakyatnya sudah mendapat kesempatan untuk memperbaiki penghidupannya, disini rakyat masih didalam taraf menghadapi musuh yang ganas dan kejam. Dengan demikian dalam pembangunan perekonomian, rakyat disini ketinggalan jauh dari pada kota besar lain.
Meskipun demikian, kita boleh merasa bangga atas kepasatian kemajuannya perusahaan batik dan barang-barang dari perak, karena. bila dibandingkan dengan jaman sebelum perang dunia kedua, dua macam mata pencaharian rakyat itu sudah lebih maju, sungguhpun pasarnya masih belum kembali.
Perubahan yang nampak sangat kontras sekali daripada jaman sebelum perang, adalah soal-soal yang berkenaan dengan lalu-lintas. jalan Malioboro yang dahulu termashur sebagai jalan satu-satunya di seluruh Jawa Tengah yang paling teratur, trottoirnya dikanan kiri yang bagus, ditambah dengan peneranganya yang lurus, luasnyapun cukup longgar, sekarang dirasakan sebagai jalan yang sangat sempit, hingga Polisi Lalu-lintas terlaksana mengambil beberapa macam peraturan yang dimasa yang lainya tidak pernah dibayangkan orang. Perubahan ini disebabkan jumlahnya kendaraan-kendaraan bermotor yang berlipat ganda. Demikian juga dengan lahirnya kendaraan macam baru, becak, yang jumlahnya hampir tidak terbilang, sungguhpun andong pelahan-lahan mulai tidak terlihat.
Disamping itu, dalam kedudukannya sebagai Kota perguruan, yang siswanya puluhan ribu orang banyaknya, sendirinya menyebabkan jumtahnya kendaraan sepeda tidak terbilang juga, karena mengingat murah serta praktisnya sepeda dalam arti perhubungan, maka umumnya tiap-tiap siswa bersepeda. Demikian juga dengan halnya kemaduan wanita-wanita desa, yang dahulu datangnya kepasar-pasar kota untuk berdagang kecil-kccilan sama mempergunakan andong, atau lain-lain kendaraan, kini sama bersepeda juga. Bukan hanya untuk dirinya saja, tetapi juga untuk alat pengangkutannya.
Pada tahun 1953 jumlah scpeda didalam Kotapraja kita ini lk. 35.000, sedang jumlah sepeda yang mengambil bagian didalam lapangan lalu-lintas didalam Kotapraja (jumlah tersebut diatas ditambah dari luar kota) tiap-tiap hari tidak kurang dari 60.000. Jumlah itu sekarang mungkin sudah lipat dua kalinya.
Berhubung dengan itu, selain terkenal sebagai Kota pcrguruan, Kotapraja kita juga terkenal sebagai „Kota-Sepeda".
Meskipun sipat-sipat kekeluargaan, dasar dari hidup dan kchidupan kita yang asli, sampai sekarang masih belum hilang sama sekali, tetapi pada hakckatnya didalam masyarakat Kotapraja kita dasar itu tidak lagi sebagai masarakat daerah pedalaman. Hal itu disebabkan karena pengaruh-pcngaruh dari luar dan perubahan penghidupan orang, hingga tidak memungkinkan untuk mengorbankan harta benda dan waktunya guna menolong tetangga kanan kirinya, sebagai cara-cara dalam kehidupan mereka dijaman yang lampau. Gotong-rojong, mulai hilang, tidak lagi menjadi tradisi. Tetapi didalam beberapa keperluan sangat dirasakan tentang manfaatnya gotong rojong. Inilah yang menyebabkan timbulnya organisasi-organisasi rukun kampiung yang pada hakekatnya adalah gotong rojong juga dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dengan bakas-batas yang tertentu. Ternyata lahirnya organisasi rukurs kampung itu memberikan pertolongan besar tekali, tidak saja untuk memelihara „hidup bersama" didalam masarakat, baik antara sesama keluarga, maupun dalam hal-hal yang berkenaan dengan tata tertip kampung, tetapi juga merupakan jembatan yang menghubungkan antara Pamongpraja dan Instansi-instansi yang bersangkutan dengan masyarakat kampung.
Menurut perhitungan yang terakhir, jumlah rukun-rukun kampung seluruh Kotapraja (14 Kemantan) ada 160, sedang tiap-tiap rukun kampung dipecah-pecah lagi menjadi beberapa rukun tetangga, menurut luasnya dacrah dan jiwa nya.
Dalam sejarah rukun kampung beserta rukun tetangga, tidak bisa dilupakan atas jasa-jasanya pada waktu menghadapi dan terlaksananya pemilihan umum yang baru lalu. Tanpa bantuan merdeka kita tcntu akan mengalami kesulitan-kesulitan yang tidak kita inginkan.
Sungguhpun demikian, penyempurnaan nukun kampung beserta rukun tetangganya, masih harus meminta perhatian. Dcmikian juga didalam lapangan-lapangan lain. diantaranya termasuk lapangan sosial.
Dua ratus tahun yang lalu Sri Sultan Hamcngku Buwono I mulai mele¬takkan batu pertama dalam pembangunan Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat. Beliau mangkat sebelum usahanya selesai. Kewajiban meneruskan jejak itu, kini menjadi tanggung Jawab para pengemudi Kotapraja Jogjakarta, bersama-sama dengan rakyatnya.
Mudah-mudahan dharma yang sangat berat itu bisa terlaksana dalam waktu singkat. Amin!
SEJARAH PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN KOTAPRAJA JOGJAKARTA.
(oleh : K. R. T. Dipodiningrat).
SUSUNAN PEMERINTAHAN KASULTANAN DAN PAKUALAMAN SEJAK TAHUN 1755.
a. Susunan pemerintahan mulai berdirinya Ngajogjakarta Hadiningrat pada tahun 1755 (Perdamaian Gianti) dan dipimpin olch S.P. Sultan Hamengku Buwono ke I adalah seperti bcrikut:
I. Najoko urusan dalam:
1.Kanajakan Keparak Kiwo dan
2. Kanajakan Keparak Tengen, mengurus soal-soal. yayasan dan pekerdjaan umum.
3. Kanajakan Gcdong Kiwa dan
4. Kanajakan Gedong Tengen, mengurus soal-soal hasil dan keuangan.
II. Najoko urusan Guar:
1. Kanajakan Siti sewu, mcngurus soal-soal tanah dan praja. .
2. Kanajakan Panumping dan
3. Kanajakan Numbakanyar, mengurus soal-soal pcrtahanan.
4. Kanajakan Bumijo, mengurus soal-soal seperti Siti Sewu.
Kedclapan Najoko ini mewujudkan Dewan Menteri, diketuai olch Pepatih Dalem, yang memegang pucuk pimpinan didalam Negeri. Susunan seperti diatas diadakan sejak tahun 1755, ketika kerajaan Mataram dibagi 2 menurut Perjanjian Gianti. Pada waktu itu segala sesuatunya juga dibagi 2 seperti keadaannya daerah; pegawai, pusaka Keraton dsb.
Kanajakan pada waktu itu juga dibagi 2, Solo mendapat 4 Najoko dan Jogja juga 4 Najoko. Kemudian jumlah Najoko dan pegawai lain-lainnya ditambah scndiri oleh Kerajaan masing-masing hingga lengkap.
Sifat pemerintahan adalah pemerintahan Militer. Masing-masing Najoko men¬jadi panglima, mempunyai tentara sendiri, dan apabila perlu masing-masing Najoko pergi ke medan pertempuran.
Pegawai Keraton yang sekarang masih sowan caos (bermalam di Keraton) dahulu dimaksud menjaga keamanan negeri.
Lama-lama menurut perkembangan zaman, maka para Najoko lalu hanya memegang pemerintahan sipil, dan selanjutnya staf Kanajakan diperkecil hingga tinggal 40 orang pegawai terdiri dari Bupati Kliwon, Panewu Sepuh perintah, Panewu, Panewu Gebajan, Mantri, Carik, Gebajan dsb.
Najoko urusan dalam mempunyai daerah Kota Jogjakarta dan Keraton, sedang Najoko urusan luar menjalankan pemerintahan diluar kota dan mereka.dibantu oleh Bupati Tamping .
Pada zaman S.P. Sultan Hamengku Buwono ke VI diadakan pemerintahan Praja. Pembagian daerah diatur sedemikian rupa, sehingga seorang Bupati membawah¬kan satu Distrik dan wakilnya Bupati diberi nama Pantwu.
Untuk Kota lalu diadakan Bupati Polisi (antara 1908), scbagai Bupati Kota pertama diangkat R.T.Sosronegoro. Waktu itu daerah Kota mcliputi kampung Wiro¬brajan, Dongkelan, Krapjak, Bugisan, Tungkak, Nyutran, Klitrcn, Gondokusuman, dan Blunyah.
Pemerintahan didalam kampung dijalan kan olclt Carik Kampung atau Panekar. Buat 4 Kanajakan urusan dalam diadakan 4 Panekar. Pada zaman S.P. Sultan Hamengku Buwono ke VII diadakan reorganisasi didalam pemerintahan dengan diadakannya jabatan Bupati Pamong Praja, sedang jabatan Pandji diganti Wedono.
b. Berjalannya Pemerintahan:
Semua surat dari kanajakan harus melalui kanajakan Keparak Kiwo, karena Najoko Keparak Kiwo mcnjadi kepala dari semua Najoko.
Untuk membantu pekcrjaan Pepatih Dalem, maka tiap Najoko urusan luar mengirimkan bantuan tenaga 10 orang, Kantornya Pepatih Dalem bertempat di Danu¬redjan, sedang kantornya Najoko bertempat di masing-masing Kanajakan. Jika para Najoko sedang berapat di Bale Mangu, maka pekerjaan masing-masing dijalankan oleh Bupati Kliwon.
Para Bupati P.P. hubungannya langsung dcngan Pepatih Dalem. Pada waktu itu semua peraturan baharu dapat berlaku, setelah diputuskan dalam rapat Najoko.
e. Gaji Pegawai:
Para Pegawai diberi gaji berupa tanah sawah dan uang tetempuh, yang besarnya menurut tingkatannya jabatan. Sebagai misal Patih mcndapat gaji berupa Sawah 120 djung = 500 karie, dengan ditambah uang tetempuh 180 rupiah. Adapun uang tetempuh untuk gaji pegawai didapat dari Pemerintah Belanda, Ialah sebagai gantinya hasil Daerah Mataram yang berada di luar Jogjakarta. Tanah sawah yang di¬sediakan untuk Pepatih Dalem dan para Pegawai terletak didaerah Mentawisan (antara kali Progo dan Opak), sedang sawah yang terletak didaerah Kabupaten Kulonprogo disediakan untuk S.P. Sultan (maesan Dalem), yang ada di Daerah Gunungkidul di¬sediakan untuk Pengeran Adipati Anom (Kroonprins). Peraturan gaji seperti diatas berlaku sampai antara 1914, pada waktu mana panage stelsel dihapuskan dan di¬bentuk Kelurahan-kelurahan sebagai badan hukum.
Pintu Gerbang yang terletak di Taman Sari di Jogjakarta
Sebuah pemandangan di salah satu tempat do Taman sari di Jogjakarta
Sebuah jalan dibawah tanah di Taman sari Jogjakarta
Tugu Jogjakarta
HUBUNGAN DENGAN GUBERMEN HINDIA BELANDA.
Kekuasaan yang diberikan kepada Gubernur Jendral menurut pasal 34 ajat (1) LS. (Indiscl*' Staatsregeling) yaitu kekuasaan uatuk mengadakan Perjanjian dengan Raja- Raja, menelorkan politik-contract yang terakhir dengan Kasultanan tertanggal 18 Maret 1940 (overeenkotnst tusschen het Gouvernement van Nederlandsch-Indid en het Sultanaat Jogjakarta van 18 Maart 1940) dan diundangkan dalam Staatsblad 1941 No: 47; sedang dengaa Pakualaman disebut „Zelfsbestuurregelen Pakualaman" dan diundangkan dalam Staatsblad 1941 No. 577. Sekalipun nama dari Perjanjian tersebut di atas berlainan, tetapi jiwa dan isinya pada hakekatnya adalah sama.
Dalam hubungan ini perlu disebut pasal 21 ajat (2) LS. yang dapat dikatakan dalam garis besar mengatur hubungan politik (politicke vcehouding) diantara Daerah Swapraja dan Gubermen Hindia Belanda. Pasal 21 ajat (2) LS. terscbut menentukan bahwa per¬undang-undangan Pemcrintah Hindia Belanda hanya bcrlaku terhadap Dacrah-daerah Swapraja sepanjang sesuai dcngan hak Swapraja itu (Dc algcnwnc vcrordcningcn zijn op die gcdccltcn .an Ncdcrlandsch Indic, alwaar hct rccht van zclfbcatuur aan dc Indische vorstcn en volkcn is gclatcn, slcchts in zoovcrrc tocpassclijk, als mct dat rccht bcstaanbaar is). Selannjutnya hubungan politik itu lebih jauh diatur dalam Politick¬contract; 7.clbcstuurrcgclrn. Bukti tepatnya disini untuk menguraikan isi dari Politick¬contract /"Lelfbcstuurrcgelen tersebut seluruhnya, beberapa pokok pikiran yang ter¬kandung didalamnya dan kami anggap penting perlu dikemukakan disini, yaitu :
le. Penegasan tentang kedudukan hukum (rechtsletsitic) Daerah Swapraja.
2e. Penegasan tentang pembatasan kekususan pemerintah Hindia Belanda dengan alat-alat kekuasaannya (organen) dan kekuasaan Kepala daerah Swapraja.
3e. Tambahan kekuasaan kepada Kepala Daerah Swapraja dalam lapangan. Perundang-undangan (wetgevende), sehingga lambat laun tidak akan ada dualisme (Hal-hal yang dulu diatur dalam reglenienten dan keuren vut politic oleh Residen/Gubernur lambat laun akan hilang, karena Kepala Daerah Swapraja diberi kekuasaan untuk membuat peraturan yang berlaku terhadap golongan „Gouverments Onderhoorigen", sepanjang hal-hal yang diatur didalamnya sama dengan urusan-urusan yang sudah diserahkan kepada Daerah-daerah otonoom di daerah Gubernur (Provinci, Kabupaten, Staadsgementen).
Dalam politik /contract /Zclfbcstuurregelen tidak discbutkan satu per satu (nominatif) tentang urusan-urusan yang dapat diatur oleh Kepala Daerah Swapraja, melainkan disitu difomulir urusan-urusan pasaja yang tetap akan diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda sendiri. (Pasal 21 ajat (1) menyebutkan Hct rccht van zclfbcstuur strckt zich nict uit tot dc ondcrwcrpcn, wclkc tot dusver krachtens ovcreenkonst, gewoontc of opperheerschappij van landswege worden geregold tenzij uit dezc ovcreenkomst het tegendecl blijkt - noch tot die, genoemd in de als bijlage aan dezc ovcreenkomst gehechte opgavc).
Dalam lampiran yang dimaksud ditentukan 22 jenis urusan yang kompetensinya untuk mengatur tetap berada pada Pemerintah Hindia Belanda, diantara mana urusan pertahanan, urusan scndjata api dan bahan pcledak, urusan kewarganegaraan Belanda, dll. Disamping itu masih ada bcberapa pasal yang mcnentukan kekuasaan pemerintah Hindia Bclanda yaitu pasal 27 tcntang hak memberi gratic, amncstic dan abolitic, pasal 33 ajat (1) tcntang accijnzen, pasal 37 ajat (2) tentang pcngajaran, pasal 38 ajat (2) tentang pcnycegahan atau pcmberantasan penyakit menular, pasal 39 ajat (1) tentang hak tanah kepada bangsa asing, pasal 42 ajat (1) tentang perusahaan pertanian besar (grootlandbouwnijvcrhcid). pasal 43 ajat (1) tentang pertambangan, pasal 44 tentang kehutanan.
KABUPATEN KOTA JOGJAKARTA.
Kabupaten Kota Jogjakarta dibcntuk dalam Tahun 1945 dan daerahnya meliputi bekas Kawedanan Kota Jogjakarta. Sebelum itu Kabupatcn Jogjakarta terdiri dari Kavredanan Sleman, Kota dan Kalasan. Pada reorganisasi dalam tahun tersebut diatas daerah administratic Kawedanan di seluruh daerah dihapuskan dan daerah asistenan
Dalam Kota juga dihapuskan. Kawedanan Kata menjadi Kabupaten Kota Jogjakarta, sedang Kawedanan Sleman, Kalasan ditambah dengan Kawedanan Godean (dari Kabupaten Bantul) digabungkan menjadi Kabupaten Sleman. Sungguhpun pemerintah Jepang memberi nama Jogjakarta Si dan sebutan Kentyoo diganti dengan Sityoo,namun pada hakekatnya daerah itu adalah daerah administratie belaka dan sejak zaman Belanda disini memang belum ada daerah otonoom (Staatsgemeente dan Kabupaten).
Sejalan dengan proses demokratiescering yang dilaksanakan di seluruh daerah, maka dalam tahun 1946 dibentuk Dewan Kota (Lihat Maklumat tahun 1946 No. 18) tcrdiri dari 30 orang anggauta. Dewan terscbut bersama-sama dengan Bupati Kota Kasultanan (KRT Hardjodiningrat) dan Bupati Kota Pakualaman (KRMT. Surjaningrat) mewudjudkan badan legislatief Oleh dan diantara anggauta Dewan Kota dipilih 5 orang anggauta, mereka bersama-sama dengan kedua Kepala Daerah tersebut diatas menjalankan pemerintahan sehari-hari (Dewan Pemerintah). Pembagian pekerjaan disesuaikan dengan pembagian yang dijalankan pada tingkat daerah Isti¬mewa, yaitu bagian Praja, Kemakmuran Sosial, umum dan Keamanan. Cara pembagian kursi dijalankan menurut sistim yang berlaku pada DPR. tingkat Daerah (Daerah Istimewa Jogjakarta) yaitu sistim parten stelsel dengan badan koreksi).
Tindakan seperti diuraikan diatas belum mewudjukan pembentukan daerah otonoom yang sebenarnya, melainkan sekedar memberi kesempatan kepada wakil-wakil Rakyat turut mcngemudikan berjalannya roda pemerintahan dan buat daerah Jogja¬karta tindakan itu memang sudah merupakan kemajuan.
HAMINTE KOTA JOGYAKARTA.
Terdorong olch bermacam-macam faktor diantara mana tuntutan dari Dewan Kota Jogjakarta scndiri, maka dengan tergesa-gesa Pemerintah Republik Indonesia (Jogjakarta) menciptakan sebuah Undang-undang (Undang-undang tahun 1947 No. 17) yang menyatakan pembentukan Haminte Kota Jogjakarta dan Daerahnya meliputi Kabupaten Kota Jogjakarta (Kasultanan dan Pakualaman) ditambah sebagian kecil dari Kabupaten Bantul. Dalam pertimbangan (considerans) dinyatakan bahwa tindakan yang diambil itu adalah tindakan darurat, karena undang-undang nasional yang akan mengatur azas-azas otonomi dan desentralisasi belum ada. Urusan-urusan yang diserah¬kan terdiri dari 22 macam (lihat teks undang-undang) tambahan penyerahan urusan cukup dijalankan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri. (menurut undang-¬undang tahun 1948 No. 22 dengan Undang-undang). Wali Kota menjadi Ketua DPR. (sama dengan sistim Pemerintah Hiitdia Belanda) dan Ketua DPD. Oleh dan dari Anggauta dipilih scorang Wakil Ketua yang merangkap menjadi Wakil Wali Kota, jadi menurut peraturan tersebut diadakan penjabat Wakil Wali Kota yang tetap. Bi¬langan anggauta ditambah menjadi 50 orang.
Seperti dikemukakan disini bahwa dalam Undang-undang Pembentukan tersebut diatas tidak terdapat suatu pasal yang memberikan ketentuan-ketentuan tentang pim¬pinan dan pengawasan. Dalam praktik pimpinan dan pcngawasan, dijalankan langsung oleh Kementerian Dalam Negeri sehingga Haminte Kota Jogjakarta terlepas dari hubungannya dengan Daerah Istimewa Jogjakarta; apakah yang menjadi alasan¬-alasannya tidak dapat diketahui dengan pasti. Ada dua kemungkinan yang mendorong Pomerintah pusat untuk menentukan pendirian itu:
Pertama, karena status Daerah Istimewa Jogjakarta belum terang (Undang¬undang tahun 1948 No. 22 belum ada). kedua, disesuaikan dengan status Haminte Kota Surakarta (alasan untuk me¬nempatkan Haminte Kota Surakarta langsung dibawah pimpinan dan pengawasan Kementerian Dalam Negeri mungkin karena pada waktu itu di Surakarta sedang ada pergolakan mengenai kedudukan Daerah swapraja).
Jika pasal II Undang-undang tahun 1947 No. 17 (mcnyebutkan bahwa peratu¬ran-peraturan yang berlaku terhadap staatsgemecnte juga berlaku terhadap Haminte Kota Jogjakarta) yang dijadikan dasar hukum, maka interpretatic itupun tidak se¬luruhnya benar karena menurut Staatsgemcente-ordonnantie Gubernur Djendral pada umumnya menjalankan pengawasan repressif dan prewentief, dan preventief hanya untuk urusan-urusan tertentu misalnya tentang pcmungutan pajak, sedang pengawasan preventief lain-lainnya dijalankan oleh College can gedrputeerden (sama dengan DPD. Propinsi).
Kenyataan dalam praktik menunjukkan bahwa pelaksanaan penyerahan segala ¬urusan (pengisian otonomi) tidak dapat berjalan, entah karena faktor-faktor yang diuraikan diatas, entah karena belum adanya peraturan Pelaksanaan yang mengatur procedure penyerahan lebih lanjut. Baik dari fihak masyarakat, misalnya dari Gabungan Rukun Kampung, maupun dari fihak DPR. Haminte Kota Jogjakarta sendiri di¬sampaikan mosi dan resolusi (September 1947 dan Maret 1948) kepada Pemerintah Republik Indonesia yang bermaksud mengajukan tuntutan supaya Haminte Kota Jogjakarta ditempatkan dibawah hierarchie Daerah Istimewa Jogjakarta (kembali menjadi Hamintc dari Daerah Istirnewa Jogjakarta. Akhirnya dalam bagian ini perlu disebutkan bahwa berhubung dengan timbulnya „Peristiwa Madiun", keanggautaan Dewan Kotapun mengalami perubahan, artinya pembagian kursi diantara party-party/Organisasi-organisasi diperbaharui dengan keputusan Dewan itu (Satu sama lain mengingat instruksi dari Kementrian Dalam Negeri).
Sebagai Wali Kota pertama dalam Bulan Juni 1947 diangkat R. Moch Enoch. Oleh karena beliau diangkat menjadi Mentcri Pekerjaan Umum dalam Kabinet Amir Sjarifudin,maka scbagai gantinya diangkat Mr. KRT. Soedarisman Cokrwokoesoemo (22 Djuli 1947) yang pada waktu itu menjabat Sekretaris Dewan Pertahanan Daerah merangkap Kepala Jawatan Penerangan Dacrah Jogjakarta. Surat pengang¬katan dikeluarkan oleh Presiden, Menteri Dalam Negeri dan Seri Sultan sendiri.
KOTAPRAJA JOGJAKARTA
Dengan terbentuknya Undang-undang Tahun 1998 No. 22, terkenal dengan sebutan Undang-undang pokok tentang Pemcrintahan Daerah, rnaka berhasilah Pemerintah republik Indonesia meletakkan dasar-dasar yang pokok untuk mcnyelenggarakan sistim pemerintahan berdasarkan otonomi dan decentralisasi. Disamping beberapa kekecewaan yang bersifat technis dan mungkin juga politis, maka undang-undang tersebut cukup memberi pegangan untuk melaksanakan sistim pemerintahan seperti yang dikehendaki oleh Undang-undang Dasar.
Undang-undang tahun 1947 yang ternyata dalam praktik tidak dapat berjalan diganti dengan undang-undang tahun 1950 No. 16 undang-undang ini dengan cara integral membentuk daerah-daerah otonoom, Kota Besar Surabaja, Malang, Madiun, Kediri, Semarang, Pekalongan, Bandung, Bogor, Cirebon, Jogjakarta dan Surakarta dengan mencabut Undang-undang Pembentukan (Instcllingsordonnantie) pada waktu zaman Belanda dan undang-undang tahun 1947 No. 16 dan 17. Tentang urusan-urusan/kewajiban-kewajiban yang diserahkan baik sebagai urusan rumah tangga (otonomi) maupun sebagai urusan ini medebewind, untuk jelasnya dipersilahkan mengikuti naskah undang-undang beserta lampirannya.
Sungguhpun dapat dikatakan sudah beberapa langkah maju, namun daerah-daerah otonoom yang bersangkutan merasa tidak puas, karena undang-undang pembentukan yang dapat dinantikan sudah memberi tempatnya (wadah) tidak segera disusul dengan Peraturan Pemerintah yang menentukan pelaksanaan penyerahan (memberi isinya). Buat Kota-kota Besar bekas Staatsgemeenten, maka kelambatan pelaksanaan penyerahan itu tidak begitu terasa, karena pasal 4 ayat (4) memberi jaminan, bahwa urusan-urusan; kcwajiban-kewajiban yang sudah dikerjakan scbelum dibentuk me¬nurut undang-undang ini, dilanjutkan sehingga ada pcncabutan dcngan undang-undang, dengan perkataan lain urusan-urusan kewajiban-kcwajiban yang sudah diselenggarakan berdasarkan Instellings-ordonnanties, dapat terus dikerjakan.
Bagaimanakah halnya dengan Kotapraja Jogjakarta? Juridis memang dapat melanjutkan urusan-urusan yang sudah diserahkan menurut undang-undang tahun 1947 No. 17. Tetapi seperti sudah diuraikan pada bagian muka, Undang-undang itu tidak dapat berjalan, jadi untuk Kotapraja Jogjakarta kelambatan penyerahan (feitelijke atau rieele overdracht) itu terasa benar-benar. Dengan cara bagaimanakah Pemerintah Dacrah Istimcwa Jogjakarta dapat memberi kcpuasan kepada Kotapraja Jogjakarta? Juridis formeel penyerahan dengan nyata harus dilaksanakan kepada Daerah Istimewa Jogjakarta dulu dengan Peraturan Pemerintah (althans menurut praktik). Syarat formil yang kedua ialah: penyerahan dari Daerah Istimewa Jogjakarta kcpada Kotapraja Jogjakarta harus dilaksanakan dengan Peraturan Daerah (Peraturan DPR. Daerah Istimcwa), pada hal waktu itu kedudukan DPR. Daerah Istimcwa Jogjakarta menjadi terkatung-katung berhubung dengan terjadinya „peristiwa Madiun". Sungguh pada waktu itu Pemerintah Daerah Istimewa ditempatkan dalam kedudukan yang sulit (dwangpositie), karena dari fihak Kotapraja Jogjakarta terus diajukan tuntutan untuk segera melaksanakan penyerahan.
Dengan kcputusan DPD. (Dewan Pemerintah Daerah) Istimewa Jogjakarta, maka berangsur-angsur diserahkan urusan-urusan kewajiban-kewajiban kepada Kotapraja Jogjakarta mcnurut lampiran Undang-undang Pembentukan. Jika diteliti dengan seksama maka bilangan urusan-urusan/kcwajiban-kewajiban yang telah di¬serahkan adalah melebihi jumah jenis urusan yang sudah discrahkan kepada Kota Besar lain-lainnya.
Sckarang timbul pertanyaan: apakah procedure penyerahan itu absah? Dari hemat kami strikt juridisch tidak, karena pasal 24 ajat (2) Undang-undang tahun 1948 No. 22 dengan nyata (uitdrukkelijk) mcngharuskan untuk pelaksanaan penyerahan „dengan peraturan daerah" (dus peraturan DPR.). Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ajat (2) tersebut harus dibaca dalam hubungannya dcngan pasal 24 ajat (1), dus hanya untuk pcnyerahan in medebewind. Memang jika diberikan tafsiran menurut „Letternya" Undang-undang, maka ayat (2) hanya bcrlaku terhadap ajat (1), tetapi jikalau diberikan tafsiran menurut semangatnya (geestnya), maka ayat (2) pasal 24 juga berlaku tcrhadap pcnycrahan dari urusan-urusan tersebut pasal 23 (urusan otonomi), karena agak tidak logis jika untuk penyerahan ini medebewind (tidak penye¬rahan penuh) diperlukan peraturan daerah, sedang untuk penyerahan ini otonomi (penyerahan penuh) yang merupakan pengurangan (uitholling) kekuasaan yang lebih besar, tidak dipcrlukan pcraturan dac:rah. Ticmang harus diakui, bahwa pcnempatan pasal 2 ajat (2) kurang pada tcmpatnya, schingga dapat menimbulkan bcrnutcam¬macam intcrprctatie. Dalam Peraturan-peraturan (Pemerintah yang mengatur pclak¬sanaan penyerahan kepada Daerah Istimewa Jogjakarta scbenarnya sudah diadakan korcksi, dimana dinyatakan bahwa sjant formil „dcngan peraturan Daerah" juga Ucrlaku tcrhadap penyerahan in otonomi.
Bagaimanakah procedure pcnyerahan tersebut dapat diabsjahkan (gelcgaliscerd)? Dari hcmat kami dapat ditempuh dua jalan yaitu :
pertama: penyerahan tcrsebut diulangi lagi dcngan pcratunn Daerah (dioper olch D.P.R.) dcngan ketentuan= berlaku surut (tcrugwcrkcndc kracht);
kedua : dibatalkan oleh Presiden, dan kemudian diserahkan langsung oleh Peme¬rintah Pusat dengan peraturan pemerintah.
Jalan pcrtama mcngandung risiko, karena DPR. tcrdiri dari 40 orang anggauta yang tidak dapat ditekan untuk menyetujui rcncana pcraturan yang diajukan olch DPD sjukur kalau kepincangan tcrsebut diinsjafi dan dengan ichlas DPR. mcmbuat peraturan dacrah yang dimaksud. -
Jika jalan pcrtama tidak berhasil terpaksa ditempuh jalan kedua, karcna menurut pasal 42 Undang-undang tahun 1948 No.22 Prcsidcn berhak untuk membatalkan keputusan DPD. tingkat Propinsi jika bertentangan dcngan Undang-undang atau kepentingan umum. Tetapi keputusan pembatalan itu harus bersama-sama disertai Pcraturan Pcmerintah yang mcngatur pelaksanaan penyerahan langsung; kcpada Kotapraja Jogjakarta (mcngulangi pcnycrahan yang sudah dilaksanakan oleh DPD. dan Peraturan Pemerintah itu berlaku surut). Dengun procedure yang kami sarankan diatas akan terbuka „way-out" dari kepincangan (impasse) yang dialami sekarang ini.(Tentang penyerahan langsung kepada KotaBesar/Kecil atau Kabupaten Pemerintah Pusat sudah pernah menjalankan yaitu mcngcnai pcnyerahan urusan kesehatan).
Dipandang dari sudut praktis, maka problem yang saya kemukakan diatas tidak perlu dipersoalkan, karena sudah menjadi kenyataan dan tidak ada reaksi dari masyarakat. Tetapi dipandang dari sudut tata-tertib hukum, maka hal itu pantas mendapat perhatian dari instansi yang bersangkutan.
Akhirnya perlu diadakan penjelasan tentang nama yang dipakai ialah Kotapraja Jogjakarta, bukan Kota Besar Jogjakarta.
Untuk mudahnya disini saja kutip pernyataan Wali Kota Jogjakarta (Mr. K.R.T. Soedarisman Prawirokoesoemo) dalam buku „Sedjarah Pemerintahan Kota Jogjakarta" disusun oleh Sudomo Bandjaransari, dimana dalam kata pengantar antara lain dinyata¬kan scbagai bcrikut:
„Ada barangkali yang mcnanyakan, apa sebabnya Kota Jogjakarta menamakan diri bukan Kota Besar, melainkan Kotapraja. Sebabnya tidak lain, oleh karena DPR. Haminte Kota Jogjakarta dalam sidangnyapada bulan-bulan Nopcmber dan December 1950 bingung mencari perkataan yang dapat dipakai sebagai penggantinya nama Haminte Kota yang pada waktu itu secara resmi dan dalam percakapan sehari-hari telah dipakai oleh umum DPR Haminte Kota Jogjakarta dalam sidangnya itu memutuskan, bahwa sebelum ada perkataan yang tepat yang, dapat dipakai untuk mengganti perkataan Haminte Kota, maka selanjutnya yang dipakai adalah perkataan KOTAPRAJA. Berhubung dengan itu maka hingga sampai sekarang, Kota Jogjakarta menamakan diri dan disebut Kotapraja Jogjakarta, istilah mana memang tidak terlarang oleh Undang¬undang pokok No. 22-1948 atau Undang-undang lain. Kalau pada waktu Badan Pekerdja K.N.LP. membicarakan Undang-undang No. 17-1947 dan Undang-undang pokok No. 22-1948 itu para anggauta-anggautanya telah dapat menemukan perkataan Kotapraja, niscaya perkataan Haminte-Kota tidak akan dipakai dalam Undang¬undang No. 17 - 1947 itu, dan istilah-istilah yang akan dipakainya adalah Kotapraja Besar dan Kotapraja Kecil.
KEMANTREN PAMONG PRAJA
Sebelum tahun 1932 daerah administrasi Kawedanan Kota Jogjakarta meliputi daerah Asistenan Tugu (sebelah Utara) dan Asistenan Kraton (sebelah Selatan). Asistenan terbagi atas beberapa Kampung-kampung dan masing-masing dikepalai oleh seorang Kepala Kampung.
Dalam tahun 1932 diadakan reorganisasi, beberapa kampung digabungkan menjadi satu dan daerah baru itu disebut Kemantren Kampung dan kepala daerahnya disebut Mantri Kepala Kampung. Kemudian nama Mantri Kepala Kampung diganti Mantri Pangreh Praja dan akhirnya sejak proklamasi kemerdekaan diganti Mantri Pamong Praja.
Sebelum reorganisasi tahun 1945, daerah Kawedanan Kota Jogjakarta kecuali meliputi beberapa Kemantren PP. juga mempunyai daerah Kalurahan Karangwaru, Tegalredjo dan Kuncen yang kemudian menjadi Kemantren Tegalredjo dan Wirobrajan.
Pada waktu dibentuk menjadi Haminte Kota Jogjakarta (th.1947), Daerah Kota Jogjakarta mendapat tambahan daerah Kemantren Kotagede dan Kemantren Umbulhardjo (dulu Kelurahan-kelurahan termasuk wilayah Kabupaten Bantul).
Menurut keadaan sekarang Kota Besar Jogjakarta, Kotapraja Jogjakarta terdiri atas 14 Kemantren P.P. ialah: 1. Gondomanan, 2. Ngampilan, 3. Kraton, 4 Mergang¬san, 5.Mantridjeron, 6.Wirob Rajan, 7.Umbulhardjo, 8.Kotagede, 9. Gondokusuman, 10. Danuredjan, 11. Gedongtengcn, 12. Djetis, 13. Tegalredjo dan 14. Pakualaman. Sebelum perang dunia kedua, maka pekerdjaan Mantri Pamong P Raja sebagian besar metiputi pekerdjaan administrasi mitsalnya urusan macam-macam pajak extract - vonnis, tanah dll. Hubungan langsung kepada penduduk dijalankan oleh gebajan Kemantren P.P.
Sejak zaman Jepang pekerjaan Mantri Pamong Praja menjadi makin berat. Disamping urusan administrasi terutama Mantri P.P. berkewajiban menggerakkan rakyat dalam berbagai bagai-lapangan untuk kepentingan peperangan.
Rukun Tetangga (Tonari Gumi) dan Rukum Kampung (Aza) dibentuk dan badan-badan kemasyarakatan ini dinyatakan sebagai badan pemerintah yang terbawah serta berkewajiban turut actief dalam lapangan pemerintahan. Sejak waktu itu maka bagi Mantri P.P. tidak mungkin lagi mengadakan hu¬bungan langsung dengan penduduk, melainkan mau tidak mau harus melalui Azatyo dan Tonari Gumityo.
RUKUN -KAMPUNG.
Bagaimanakah kedudukan Rukun Kampung (Rukun Tetangga) Dalam perkembangannya sepanjang yang sejarah maka Rukun Kampung mula-mula (zaman Belanda) adalah organisasi masyarakat yang bekerja dalam lapangan Sosial (gotong rojong dalam hal kematian, perkawinan, dll.) Kemudian pada zaman Djepan kedudukan Rukun Kampung diperkuat, karena pcmerintah pendudukan Djepan mengerti benar bahwa dalam susunan Rukun Kampung terdapat unsur-unsur yang dapat menjadi kekuatan (potentie; untuk membantu usaha-usaha pcperangan. Nama Rukun Kampung diganti Aza, Ketuanya disebut Azatyoo, sedang Rukun Tetangga (Tonari Gumi) yang semula sebenarnya belum ada dibentuk. Dalam peraturan yang menentukan kedudukan Rukun Kampung dan berlaku di Jogjakarta disebut dengan tegas bahwa Rukun Kampung adalah badan pemerintahan yang paling bawah. Setelah diaktiveer dengan hebatnya maka dalam praktijk Rukun Kampung menjadi „verlengstuk" dari Kemantren P.P., tetapi Pengurus Rukun Kampung adalah tenaga yang dipilih oleh rakyat dan tidak, mcnerima penghargaan materieel dari Pemerintah, dus tcnaga perdjuangan.
Setelah proklamasi tahun 1945 kedudukan Rukun Kampung menjadi probleem; ada pro dan contranya. Ada golongan yang mcnghendaki berlangsungnya status pada zaman Djcpan, golongan lain lebih menyukai kembalinya status pada waktu scbelum perang. Dalam pada itu Rukun Kampung bekerja terus demi kepentingan nasional. Scbagai penghargaan Dcwan Kota mcnyediakan dua kursi untuk wakil dari Rukun Kampung2 (Gabung R.K.).
Karena bentukan Rukun Kampung sclama pendudukan Djepan tcrdjadi di¬seluruh Jawa dan Madura, maka Pemerintah Pusat yang pada waktu itu ada di Jogja¬karta tidak tinggal diam dan mengcluarkan instruksi yang menegaskan kedudukan Rukun Kampung. (Instraksi bcrsama dari Kcmcnterian Dalam Ncgcri, Sosial dan Penerangan tanggal 25 Juni 1947). Dalam pedoman Umum Rukun Tctangga dan Rukun Kampung dengan tegas dinyatakan bahwa status Rukun Kampung adalah organisasi masyarakat (Pasal 3 berbunyi Rukun Tetangga dan Rukun Kampung (G.R.T.) adalah organisasi masyarakat, yang diakui dibantu dan dilindungi oleh Pemerintah, - bukan tinggkatan atau alat pcmcrintahan").
Adapun problem Rukun Kampung di Kota Jogjakarta tetap sulit; dari pihak Pengurus Rukun Kampung scndiri ada yang mcnghendaki membantu Kemantren P.P. sampai urusan administrasi misalnya tentang urusan poswissel, surat keterangan tunjangan keluarga, macam-macam statistik, dsb., golongan lain berpendapat bukan mestinya campur tangan sampai/sebegitu jauhnya.
Jika komentar mcngenai Rukun Kampung tsb. kami hubungkan dengan Kemantren P.P., kami hanya bermaksud akan mcnunjukkan bahwa dalam praktik Kemantren P.P. tidak dapat menjalankan kewajibannya atau paling sedikit sukar sekali untuk dapat menjalankan kewajibannya zondcr bantuan Rukun Kampung, karena pada hakekatnya Rukun Kampunglah yang menjadi penghubung (Schakel) diantara Kemantren P.P.dcngan penduduk. Pemecahan atas persoalan tersebut hendaknya di¬tujukan kepada dua jurusan, yaitu :
perlama, mcnindjau organisasi Kemantren P.P. scbagai aparatur pcmerintah, dengan mcmpertimbangkan mcmperluas organisasinya sampai di Rukun Kampung agar supaya dapat mcngoper pckerdjaan-pckerdjaan yang sekarang dijalan kan oleh Rukun Kampung2;
kedua, mencari batas-batas yang lajak (redelijk), sampai dimana potensi Rukun Kampung dapat dipergunakan untuk pembangunan negara.
Sekarang timbul pertanyaan„urusan Rukun Kampung apakah termasuk urusan pusat, ataukah urusan Propinsi/Kota Besar?"
Dalam Undang-undang Pembentukan tahun 1947 No. 17 (Haminte Kota Jogjakarta) disebutkan dengan tegas bahwa urusan Rukun Kampung / Rukun Tetangga diserahkan kepada Haminte Kota Jogjakarta (pasal 7 sub 5). Tetapi dalam lampiran daftar yang mendjelaskan djenisnya urusan yang diserahkan kepada Kota Besar Jogjakarta (Undang-undang tahun 1950 No.16), maupun kepada Daerah Istimewa Jogjakarta (Undang-undang tahun 1950 No.3 jo.19) Urusan Rukun Kampung tidak tersinggung sama sekali. Jawaban dari pertanyaan tersebut harus dicari dalam pasal 4 ajat (4) Undang-undang Pembentukan Kota Besar Jogjakarta (kewajiban-kewadjiban yang sudah dikerdjakan sebelum dibentuk menurut Undang-undang ini, dilanjutkan sampai ada pencabutan dengan Undang-undang).
Gunungan Laki-laki
SEKEDAR GAMBARAN MENGENAI PENGADILAN DI JOGJAKARTA.
(oleh: K. R. T. Notojoedo).
ADA waktu berdirinya Kasultanan Jogjakarta dalam tahun Masehi 1755 pengadilan yang berlaku di Jogjakarta ialah:
1. Pengadilan Pradata.
2. Pengadilan Surambi, dan
3. Pengadilan Bale-Mangu.
Pengadilan Pradata mengadili perkara-perkara pidana dan perkara-perkara perdata. Pengadilan Surambi untuk perkara-perkara pidana dan hukum perkawinan dan perceraian serta perkara-perkara warisan, sedang Bale-Mangu adalah pengadilan untuk perkara-perkara pidana dan „administratief" dan kemudian juga pengadilan agraria untuk perkara-perkara antara „patuh" dan para bekelnya serta antara prijaji tinggi dan prijaji rendah. Tempat sidang Pengadilan Pradata itu di „pekapalan" atau gedung paseban di alun-alun utara sebelah barat, pintu gerbang Masjid Besar; Pengadilan Surambi di Surambi Masjid tersebut, sedang Pengadilan Bale-Mangu di bangsal „Bale-Mangu" di Kepatihan.
Pada tahun 1818 terjadi perobahan mengenai kekuasaan mengadili pada ketiga pengadilan tersebut diatas, karena pada tahun 1818 di Jogjakarta diadakan pengadilan barn (President's Court) yakni pengadilan dalam tingkatan pertama („in eersten aanleg") untuk perkara pidana „campuran" „voor criminele gemengde zaken", yang terdakwanya terdiri atas kawula Gubermen; lagi pula sebagai pengadilan yang memeriksa dalam instansi kedua (peradilan bandingan) untuk segala perkara-perkara campuran lainnya.
Pengadilan tersebut tersusun atas: Residen sebagai Ketua, Pepatih-Dalem (Rijksbestuurder) dengan 4 Bupati Najaka sebagai anggauta, dan jurubahasa sebagai panitera (griffier), merangkap sebagai Penuntut Umum (Openbaar Ministerie).
Pengadilan Surambi tersebut diatas juga bernama Pengadilan Hukum, tersusun atas Pengulu sebagai Ketua dan 4 anggauta bernama „Patok Negara", sedang Pengulu dinamakan „Pengulu Hakim". Pada permulaan susunan pengadilan Surambi itu terdiri atas 5 orang, kemudian ditambah dengan Ketib-ketib sebagai pembantu (bijzitters) yang akhirnya menjadi anggauta pula, sehingga susunan itu terdiri atas 10 anggauta. Kitab-kitab yang dipakainya sebagai undang-undang ialah Kitab Moharrar, Kitab Mahalli, Kitab Tuphah, Patakulmungin, dan Patakulwahab.
Pengadilan Perdata, tersusun atas Djaksa sebagai -Ketua, dan sebagai Anggauta adalah Mantri-mantri Djaksa dari tiap-tiap „golongan" ja'ni: dari golongan Kepatihan, 1 dari golongan Kadipaten, 1 dari golongan Pangulon, 1 dari. golongan Pradjurit, dan 1 dari tiap-tiap golongan Kanajakan, jumlah semuanya ada 1+ 4 + 8 = 13 Anggauta. Kira-kira pada tahun 1831 diadakan golongan Djaksa, dikepalai oleh seorang ;Wedana Djaksa" yang diberi „gelar" atau „sesebutan" Kjahi Tumenggung, sedang sebelumnya hanya bergelar „Ngabehi". Kitab-kitab Undang-undang yang dipakainya ialah: 1 Nawala Pradata, 2.Angger Ageng, 3 .Angger -Arubiru dan 4 Angger Sepuluh. Pengadilan Bale-Mangu; tersusun atas Pepatih-dalem, Bupati Patih Kahadi¬paten (sebagai Wakil dari „Kroonprins"), dan para Bupati Najaka sendiri, sehingga Pengadilan Bale-Mangu terjadi atas sepuluh Pegawai Tinggi, yang masing-masing mempunyai seorang Mantri untuk memeriksa didesa-desa, 10 orang Mantri ini tidak hanya bertugas memberikan laporan, tetapi juga bertugas menerima perintah-perintah dan diharuskan pula menghadliri sidang-sidang Bale-Mangu, sekalipun tidak rrtempunyai hak suara.
Berhubung dengan lahirnya „Pranatan Patuh", (suatu peraturan dilapangan agraria sebagai akibat dari diundangkannya dalam staatsblad 1857 No. 116 sebuah „Landhuur-Reglement") maka Bale-Mangu itu mendapat kedudukan lebih penting, dan merupakan betul-betul suatu „Pengadilan Perkara-perkara desa-desa. „Landelijke Rechtsbank" dengan Kitabnya „Hukum Agraria Angger Sepuluh". Sri Sultan ke V yang masih muda, dengan Gubermen, maka dalam tahun 1831, sehabis Perang Dipo¬negoro diadakan perubahan besar mengenai kepolisian dan Pengadilan.
Dengan Resolusi tgl.11 Juni 1831 No.29 didirikan di Jogjakarta suatu Pengadilan untuk Perkara-perkara Pidana-pidana „Rechtsbank voor Criminele Zaken" yang diserahi pengadilan pidana, yang dulu menjadi tugas Surambi dan Pradata. Pengadilan untuk Perkara-perkara Pidana itu tersusun atas: Residen sebagai Ketua, Pepatih Dalem dan 1 a 2 orang Bupati Najaka sebagai anggauta, Sekretaris Karesidenan sebagai panitera (griffier) Wadana Djaksa sebagai Penuntut Umum, dan Kjahi Penghulu sebagai Adviseur dalam perkara-perkara yang terdakwanya dapat di jatuh i hukuman mati (hals-zaken). Mungkin juga pada pengadilan ini mengadili perkara-perkara pidana yang agak kecil dengan 1 a 2 orang anggauta pembantu dari 4 Patok Negara.
Dengan Resolusi tgl. 11 Juni 1831 No. 30, yang baru diundangkan dalam Stbl. 1876 No. 140, maka di Jogjakarta dan di Surakarta diadakan Raad Karesidenan („Residentie-raad"), tersusun atas Residen sebagai Ketua, 2 atau 3 orang Pegawai Gubermen sebagai anggauta, dan Sekretaris Karesidenan sebagai Panitera (griffier) merangkap Penuntut Umum (Openbaar Ministerie), „Residentieraad" ini wenang memutuskan semua perkara-perkara perdata dan pidana seperti Pengadilan-pengadilan Landraad di Tanah Jawa, dan juga bertindak sebagai Pengadilan Berkeliling (rechtsbank van ommegang" ) .
Dengan demikian maka sesudah tahun 1876 perkara-perkara perdata atau pidana campuran („civiele of criminele" gemengde „zaken"), yang orang tergugat atau orang terdakwanya kawula Gubermen, termasuk wewenang Residentieraad, tanpa turut sertanya fihak Kasultanan. Demikian pula kawula Kasultanan, djika menjadi „medeplichtigen" kawula Gubermen, mulai tahun itu dan seterusnya langsung mendapat peradilan dihadapan „Residentieraad".
Menurut pasal 3 dari Resolusi tgl. 11 Juni 1831 No. 29 para Pangeran dan orang-orang berpangkat tinggi, yang menurut peraturan atau adat-kebiasaan Jawa tidak diadili oleh suatu pengadilan tetapi oleh Seri Paduka Sultan (dikecualikan dari kekuasaan Pengadilan, “voor criminele zaken"). Berhubung dengan itu maka diadakan Pengadilan tersendiri yang disebut pengadilan Kadipaten (Kroonprinselijke Rechtsbank), yang mempunyai kekuasaan mengadili perkara, „Putera-Sentana Dalem", keluarga sedarah dan semenda dari Raja- Raja dan terhadap Pegawai-pegawai tertinggi dari Kasultanan. sejak 1893 terhadap Surakarta, Gubermen berhak mengatur bebas soal justisi dan polisi, sedang Seri Paduka Sultan Hamengku Buwono VII pada waktu penobatannya menyatakan kesediaannya akan tunduk pada peraturan-peraturan yang akan-dibuat oleh Gubermen didaerahnya mengenai perbaikan polisi, dan justisi serta pengadilan tentang perkara-perkara polisi atau perkara-perkara pidana, misalnya dengan menempatkan asisten-asisten residen ditanah pedalaman.Terhadap peradilan perdata („civiele rechtsbedeeling") Gubermen terikat oleh apa yang telah ditetapkannya sendiri pada th. 1831. Dengan Stbl. 1903 No. 134 maka ditempatkan asisten-residen, seorang untuk Kulonprogo dan seorang untuk Gunung-Kidul. Pengadilan untuk „criminele zaken" yang didirikan mulai 1831 dihapuskan: Sebagai gantinya maka sesuai dengan keadaan dikaresidenan-karesidenan di tanah Gubermenan diadakan:
a. suatu „residentie-gerecht",
b. pengadilan „Landraad" di kota Jogjakarta untuk seluruh karesidenan,
c. pengadilan kabupaten, „regentschaps-gerecht", yakni: 2 di kota (satu untuk daerah Kasultanan, satu untuk daerah Pakualaman), 3 di Mataram (Kabupaten -Kalasan, Bantul, Sleman),
4 di Kulon-Progo Kabupaten Nanggulan, Sentolo, Pengasih dan Adikarta), dan 1 di Gunung - Kidul. Djadi semua 10.
Kemudian karena penetapan berlakunya„Reglement-Rechterlijke Organisatie" untuk Surakarta dan Jogjakarta, maka diadakan „districts gerecht Kalibawang (Kulon-Progo), ditiap-tiap district di Gunung-Kidul, kecuali di Wonosari, dan ditiap-tiap daerah-daerah enclave Pasargede, Imogiri dan Ngawen.
Setelah diadakan „reorganisatie tahun 1903" maka keadaan Pengadilan di Jogjakarta s.b:b.
a. di- Ibukota Jogjakarta: Pengadilan Surambi, Pradata, dan Bale-Mangu. Ketiga-tiganya sejak 1831 hanya mengadili perkara perdata (civiel)., sedang Pengadilan Surambi mulai 1903 diubah hanya mengadili perkara perceraian menurut hukurri Islam atas permohonan cerai dari isteri yang bertentangan dengan kemauan suaminya (rapak).
b. Pengadilan terhadap Putera-putera dan Sentana Dalem, (keluarga sedarah dan semenda dari Raja-Raja) dan terhadap pegawai-pegawai tertinggi yang disebutkan dalam stbl. 1903 No. 8. Disitu ditegaskan: yang diadili oleh pengadilan tersebut jalah: „keluarga sedarah dan semenda dari Raja-Raja, baik yang masih bertahta maupun yang tidak lagi bertahta, sampai turunan keempat, (jadi sampai dengan „Canggah Dalem").
c. I. 2 Pengadilan didalam Kraton ialah Pengadilan Kori dan Pengadilan Kadipaten, yang keputusan-keputusannya dapat dimintakan bandingan („hooger beroep") kepada „Pradata" atau „Pradata Dalem".
II. Pradata-pradata Kabupaten, 4 di Ibukota dan 8 di Kabupaten-kabupaten luar kota.
III. Pradata-pradata Kadistrikan.
IV. Pengadilan Kadanuredjan yang disebut juga Pengadilan Gedong Regol.
V. Pengadilan yang dilakukan oleh para Wadono golongan atau para Bupati Najaka terhadap para pegawai dilingkungannya masing¬masing, yang keputusan-keputusannya dapat dimintakan bandingan („hooger beroep") pada Pradata Dalem.
Gambaran keadaan pengadilan di Jogjakarta mulai tahun Masehi 1755 -sampai tahun 1903 tersebut diatas kami ambil dari buku „Vorstenlanden" karangan G.P: Rouffner, overdruk uit Adatsrecht bundel XXXIV, Serie D. No. 81 (1931) (hala,man 103- 142).
Selanjutnya dalam Stbl. 1917 No. 127 fatsal 1 ajat 1 ditentukan bahwa, dengan persetudjuan S.P. Sunan dan S.P. Sultan, semua peraturan mengenai urusan pengadilan di Karesidenan Surakarta dan Jogjakarta dicabut dan pengadilan-pengadilan aseli („inheemsch") yang ada di Karesidenan-karesidenan itu ditiadakan, melainkan, bahwa untuk kawula S.P. Sultan Jogjakarta masih dilangsungkan: Pengadilan Bale-Mangu untuk mengadili perkara-perkara tanah yang bukan perkara perdata; dan Pengadilan Surambi, untuk mengadili perceraian atas permohonan isteri yang bertentangan dengan kemauan suaminya (rapak), sedang terhadap keputusan pengadilan ini dapat dimintakan bandingan pada Pepatih Dalem, dan terhadap keputusan ini dapat dimohotikan ban¬dingan pada S:P. Sultan. Pengadilan Bale-Mangu itu nyatanya merupakan pengadilan administratief mengenai perkara tanah antara Patih dan para Bekel dan kulinya.
Untuk pelaksanaan fatsal ini maka kawula S.P. Sultan, yang menjadi pegawai Gubermen Hindia-Belanda, dianggap sebagai kawula Gubermen. Dalam fatsal 2 dari Stbl. tersebut diatas ditentukan demikian: Kecuali perkara-perkara Pcngadilan Surambi, yang belum ada putusannya „aanhangig"), maka sengketa-sengketa perdata („burgerlijke rechtsgedingen") terhadap kawula S.P. Sultan Jogjakarta, yang pada waktu mulai berlakunya ardonnantie ini, belum ada putusannya (aanhangig) pada pengadilan untuk perkara-perdata (Pengadilan Pradata, Pengadilan Bale-Mangu dan Pengadilan Wadono=wadono Golongan) berpindah menurut hukum („van rechtswege") kepada pengadilan-pengadilan, yang wenang memutuskannya.
Djadi mulai berlakunya ordonnantie dalam Stbl. 1917 No. 127 pada 1 Juni 1917 boleh dikatakan habis semua pengadilan aseli di Surakarta dan Jogjakarta, dengan perkecualian tersebut diatas. sejak 1917 keadaan pengadilan-pengadilan di Jogjakarta seperti di Karesidenan lain-lainnya di Jawa dan Madura. Dengan lain perkataan: para kawula S.P. Sultan termasuk jurisdiksi Gubermen. Hanya saja S.P. Sultan masih mempunyai kekuasaan mengadili perkara keluarga sedarah dan semenda seperti telah disebutkan diatas.
Berhubung.dengan itu maka oleh S.P. Sultan diadakan dua pengadilan ialah:
1. Pengadilan Kraton Darah Dalem, yang mengadili perkara-perkara pidana dan perdata terhadap keluarga sedarah dan sementara turunan pertama dan kedua;
2. Pengadilan Kepatihan Darah Dalem, yang mengadili perkara-perkara yang sama terhadap keluarga sedarah dan semenda turunan ketiga, dan keempat. Dengan pranatan dalam Rijksblad 1927 No. 35 maka Kedua Pengadilan tadi didjadikan satu dengan diberi nama Pengadilan Kraton Darah Dalem yang tempat bersidangnya di tentukan dibagian Kraton, yang disebut Sri Manganti. Untuk dapat mengetahui lebih landjut tentang susunan dan segala-sesuatu mengenai Pengadilan, lihatlah Rijksblad Kasultanan th. 1927 No. 35 tersebut diatas.
Pada jaman Kemerdekaan, dalam tahun 1947 ketika Mr. Susanto Tirtoprodjo mendjabat Menteri Kehakiman, maka Pengadilan Kraton Darah Dalem tersebut, dengan pernyataan tiada berkeberatan dari S.P. Sultan Hamengku Buana IX dihapuskan, bersama-sama dengan „Pradata Gede" dari; Kasunanan dan „Pradata" dari Mangkunegaran. Penghapusan ini dilakukan dengan Undang-undang No. 23 tahun 1947 yang berlaku mulai pada tanggal diumumkannya, ialah pada tanggal 29 Agustus 1947. Di¬daerah Pakualaman sudah dihapuskan dalarn 1908 atas permintaan dari pihak Paku¬alaman sendiri.
Dalam pendjelasan Undang-undang tsb. a.l. diterangkan, bahwa dalam Negara kita Republik Indonesia perpisahan antara beberapa lingkungan peradilan „sfeer van de gouvernements-rechtspraak" yang mengadili ,in naam des Konings" dan ,sfeer van de Zelfsbestuursrechtspraak" sudah tidak pada tempatnya lagi.
Peradilan yang dilakukan dalam seluruh Negara kita atas sekalian. para warga negara (termasuk juga yang berdiam didalam daerah-daerah Istimewa), adalah „per¬adilan atas nama Negara Republik Indonesia". Peradilan itu tidak terbatas oleh adanya macam-macam daerah, pun tidak pada tempatnya dipisah-pisah menjadi „sferen van rechtspraak". Sedari awal mulanya wadjib dilakukan serta diurus oleh Pemerintah Negara Pusat sepenuhnya, sebagaimana dimaksudkan dalam iJndang-undang Dasar Sementara pasal 24, karena Pemerintah Negara Republik Indonesia sekali-kali bukan waris belaka yang mengganti „Nederlandsch-Indische Regering" sebagai Pemerintah asing. Negara Republik Indonesia adalah Negara yang kita, seluruh bangsa Indonesia, dirikan bersama- sama, sebagai Negara kesatuan yang berdaulat. Pemerintahnyapun terdiri dari kita sendiri.
Bagi para peminat yang ingin mengetahui lebih landjut teritang 'pengadilan¬pengadilan dan hukum adat di Jogjakarta, dipersilahkan membaca buku ;,Vorsten¬landen" tersebut diatas serta gubahan-gubahan Prof. Dr. Mr. Supomo seperti dibawah ini:
1. De Kratonrechtspraak in Jogjakarta (Indisch Tijdschrift van het Recht, deel 129).
2. Het grondenrecht ter hoofdplaats Jogjakarta na de reorganisatie (Indisch Tijdschrift van het Recht deel 128, 3 afl).
3: Verslag omtrent het onderzoek naar het adat grondenrecht in het gewest Jogjakarta buiten de hoofdplaats. (Indisch Tijdschrift van het Recht, deel 135).
4. Sistim Hukum di Indonesia (Sebc.•lum perang dunia II.) halaman 66 s.d. 73.
Kereta kerajaan Keraton Jogjakarta
Pintu gerbang Pura paku-Alaman
Gedung Agung yang sekarang dijadikan gedung Negara
SEJARAH PENDIDIKAN DI JOGJAKARTA:
(oleh: Cokrosiswojo).
PERMULAAN KATA.
Masalah Sejarah Pendidikan dan Pengadjaran adalah merupakan suatu alat untuk dapat mengerti seberapa jauh dan dalamnya, baik tentang kedjasmanian maupun kerochanian, dan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki oleh bangsa itu. Oleh karena itu, orang berpendapat, bahwa sejarah pendidikan dan pengadjaran itu, bukanlah suatu masalah yang kecil, dan bukanlah suatu hal yang berharga.
Sedjarah itu dapat kami pelajari dengan mengumpulkan peringatan-peringatan, catatan-catatan yang konkrit dan abstrak; dan dikuatkan juga dengan peninggaian¬peninggalan yang mengandung segala pengalaman-pengalaman yang sungguh-sungguh
terdjadi dalam perjalan an hidup bagi suatu bangsa pada zaman yang telah lampau. Pengalaman-pengalaman itu dalam kesimpulannya, memberi pengertian dan meridjadi suatu petundjuk: tentang kesukaran,penderitaan, perobahan, pertumbuhan, perdjuangan yang dialami oleh bangsa itu.
Dalam tiap-tiap pengalaman itu, terseliplah soal pendidikan dan pengadjaran yang telah meliputi dan meresap dalam darah daging, sehingga mewudjudkan adat dan kebiasaan pada suatu bangsa pada masa yang lalu. Perlu diingat dan diketahui
dari masa ke masa, sifat dan udjud pendidikan dan pengadjaran itu, mengalami juga perobahan-perobahan yang berakibat kemajuan dan kemunduran.
Adapun yang menyebabkan kemajuan dan kemunduran itu ialah buah per¬djuangan yang diusahakan oleh seluruh lapisan rakyat dan pemerintahannya. Djadi apabila bangsa yang bersifat statis dan kasip, niscayalah soal pendidikan dan peng¬adjaran mengalami kemunduran, dan sebaliknya bangsa yang bersemangat hidup dina¬inis, maka dapatlah dipastikan bahwa bangsa itu menggalang pendidikan dan pengadjaran yang ada didalam alam kemajuan ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Sebagaimana pembaca telah maklum, tentang uraian singkat yang dituturkan diatas, yaitu hal-ihwal timbul dan tenggelamnya pendidikan dan pengadjaran itu, ter¬gantung atas pergerakan sesuatu bangsa, dan sangat berhubungan rapat dengan peme¬rintahan negaranya.
Sekarang dimulai pemandangan pertama yang ehusus untuk menerangkan barang sedikit tentang sifat pendidikan dan pengadjaran yang ada didalam Daerah Jogjakarta. Terlebih dahulu dipaparkan disini nasib pemerintahan Keraton Jogjakarta sejak :
1. Tahun 1755 - 1800 menjadi jayahan V.O.C.
2. Tahun 1800-1811 mendjadi jayahan Bataafsche dan Republik kerajaan Belanda yang dibawah pengaruh Perancis.
3. Tahun 1811- 1816 mendjadi kerajaan jayahan Inggris.
4. Tahun 1816-1942 mendjadi jayahan kerajaan Belanda.
5. Tahun 1942-1945 mendjadi jayahan Jepang .
Tahun 1945 jaman merdeka, dan Jogjakarta berstatus Daerah „Istimewa".
Maka teranglah sudah bahwa Jogjakarta sejak berdiri pada tahun Masehi 1755, telah mengadakan Perjanjian dengan V.O.C. di Gianti, dan karenanya disebut ,.Perjanjian Gianti". Selanjutnya Keraton Jogjakarta terus-menerus menjadi negara jayahan. Dalam penjayahan sedemikian rupa tidak ada kemungkinan, orang dapat meninjau tentang tinggi dan rendahnya pendidikan dan pengayaran yang ada dalam jiwa masyarakat didaerah Jogjakarta.
Disebabkan dari anasir-anasir yang tersebut diatas, maka sejarah pendidikan dan pengayaran di Kota Jogjakarta baru dapat dimulai sejak tahun 1900. Sejarah yang berdasarkan kenyataan itulah sejarah yang dapat agaknya dipertanggungjawabkan.
Dengan secara terus-terang saja merasa sangat kecewa bahwa saja kekurangan dokumentasi. Syukurlah dengan perantaraan Pusat Panitya sendiri usaha untuk mencari dokumentasi yang mengandung isi pendidikan dan pengadjaran di Kota Jogjakarta, berhatsil meskipun hanya berupa pengalaman-pengalaman dari para yang berusia lanjut (poro sepuh) dan dongengan-dongengan dari para leluhur dimana yang telah lalu. Dengan mengingat keterangan tersebut diatas cara menulis sejarah pendidikan dan pengadjaran di Kota Jogjakarta ini akan saja bagi menjadi beberapa bab: pembagian ini berdasarkan atas jiwa masyarakat dari sebelum dan sesudah tahun 1900 hingga pada masa yang kita alami sekarang ini.
TUJUAN PENDIDIKAN UMUM.
Yang dimaksud dengan pendidikan itu ialah memimpin dan membiasakan anak-anak menuju kearah kesehatan badan dan kesehatan rokhani bangsanya. Sudah barang tentu masing-masing bangsa telah mempunyai konsepsi tentang batas-batas dan kelanjutan pendidikan yang dianggapnya baik dan berfaedah bagi si anak pada hidupnya dimasa depan.
Indonesia yang dirupakan rentetan kepulauan-kepulauan dari Barat sampai ke Timur, mengenai soal pendidikan, biarpun sedikit ada perbedaannya. Perbedaan itu disebabkan atas iklim, kebudayaan dan agama yang berkembang pada tiap-tiap Daerah yang bersangkutan.
Rumah tangga sebagai pusat dan sjarat.
Masalah Pendidikan di Jogjakarta pada masa yang lampau pada umumnya belum memerlukan pendidikan dalam arti biasa, tetapi yang menjadi pusat dan sjarat pendidikan ialah berupa kesedjahteraan rumah tangga, atau dengan kata lain, pendidikan berpusat pada kesejahteraan dan keutuhan hidup bersama antara ibu dan bapak, karena telah menjadi adat kebiasaan yang turun-temurun bahwa ibu dan bapaklah yang bertanggung Jawab atas segala hal-ichwal kehidupan anak-anaknya. Dengan adanya kebiasaan itu para ibu dan bapak merasa harus bertindak sebagai contoh (kaca-benggala Dj.) untuk anak cucu dan keturunan mereka selanjutnya.
Apabila terjadi perselisihan antara ibu dengan bapak, bagaimana juga „udara panas" itu tetap merupakan rahasia besar bagi anak-anaknya, hingga dimata anak-anaknya tidak nampak tanda-tanda bahwa ibu atau bapanya sedang dalam keadaan berselisih. Sehari-hari anak-anaknya melihat keadaan dalam suasana damai dan tenang. Cahaja muka sang Ibu senantiasa memperlihatkan setia dan hormat kepada sang suami.
Sebaliknya sang bapa tidak terlihat ada terselip tingkah laku yang garang, dan tidak terdengar sepatah katapun bahasa yang melanggar kesopanan terhadap sang ibu: Sudah menjadi kebiasaan dalam tiap-tiap rumah tangga bahwa kaum ibu itu merasa wajib melajani segala kemauan/keperluan sang suami, lagi pula berhati-hati menjaga kehormatan rumah-tangga yang menjadi tanggung Jawa bnya.
Suasana rumah-tangga yang dilukiskan diatas itu, menjadi kebiasaan pada tiap-tiap rumah tangga yang tertib dan memperhatikan kepentingan pendidikan keluarganya, karena sungguhpun dimasa itu kita masih belum mengindjak dunia modern; tetapi pengertian bahwa hidupnya merupakan contoh dan guru lahir dan batin kepada anak-anaknya sudah mendalam.
Unsur-unsur atau dasar pendidikan kearah perdamaian.
Unsur-unsur perdamaian rumah-tangga dimasa yang lampau yang perlu diutarakan disini, adalah caranya membentuk jiwa calon-calon ibu dan calon-calon bapak..Bagi jalon-calon Ibu (gadis-gadis).
sejak remadja para gadis di Kota Jogjakarta dari segala lapisan masyarakat, selalu mendapat nasehat dan petuah-petuah tentang kewadjiban para kaum ibu harus bakti-laki (berbakti kepada suaminya) karena hanya dengan jalan itu saja mereka bisa mendapatkan kebahagiaan hidup.
Guru laki, berarti sang suami dimisalkan sebagai gurunya, yang wadjib diturut segala kata dan petundjuknya. Sehari-hari sang istri melajani keper!nan suami. Pada umumnya sang Ibu mempunyai sumber penghidupan sendiri, yaitu bakul berdjual beli dipasar, membuka warung bahan makanan, membatik dan lain-lain. Sebab kesibukan kerdja, maka dengan secara tidak terasa, sang Ibu tiada kesempatan untuk menghiraukan soal-soal yang lain-lain, sungguhpun demikian mereka tidak pula melupakan mendidik anak-anaknya, terutama dalam hal-hal yang bersangkutan dengan pencahariannya masing-masing.
Bagi calon- jalon Bapak.
Mata pencaharian orang-orang laki-laki pada umumnya menjadi hamba Keraton, Paku-Alaman atau kepada para Pangeran. Inilah sebabnya titik berat pen¬didikan dirumah-tangga kepada anak-anak laki-laki dipusatkan kepada „Tata-krama" (kesopanan) Jawa. Lain dari pada itu pemuda-pemuda dipimpin kearah pekerdjaan lain yang kelak akan menjadi pokok penghidupannya, ialah menjadi tukang batu, tukang kaju, tukang blik, pandai emas, pandai besi, tukang cat, tukang kulit, tukang jam, tukang pajung, gemblak (mengerjakan kuningan lo yang perunggu) sayang (mengerjakan tembaga) nijogo dan lain sebagainya.
Disamping itu umumnya pemuda-pemuda di,biasakan menguasai hawa nafsunya dengan jalan mengurangi makan dan tidur (cegah dahar Ian guling. Dalam sesuatu langkah dibiasakan selalu dipikirkan anak-anak lebih dahulu.
Pendidikan kerja berjalan terus:
Bagi anak-anak perempuan (gadis-gadis) nasehat-nasehat Ibu-bapak kepada anaknya yang merupakan pendidikan, berjalan setiap hari. Semuanya dijalan kan dengan tertib, tetapi keras. Anak-anak perempuan diharuskan selalu membantu pekerdjaan Ibunya, tentang urusan rumah-tangga, membantu pula tentang urusan yang berkenaan dengan mata-pencaharian- ibunya. Pada masa itu belum banyak anak perempuan yang pergi kesekolah, Baik anak perempuan maupun anak laki-laki yang besar, diberi kewadjiban mengasuh adik-adiknya pada tiap-tiap hari.
Bagi anak laki-laki:
Pendidikan kepada anak laki-laki tidak 'jauh bedanya dengan sifat pendidikan yang diberikan kepada anak perempuan. Kepada anak laki-laki diberi kewadjiban juga tentang kebersihan rumah-tangga: misalnya menyapu lantai (djogan Dj.), mengatur dan membersihkan perkakas rumah, menyapu halaman pada waktu pagi dan sore, mengambil air (ngangsu Jw:) memelihara karang kitri (pohon-pohonan yang berbuah) Kecuali itu masih ada lagi yang harus dan pasti dijalan kan setiap hari, ialah membuat air. teh,untukbapaknya,-atau sewaktu-waktu ada tamu. Setelah-kewadjiban,diwa.ktu pagi itu selamat, anak laki-laki pergi kesekolah, untuk menuntut ilmu pengetahuan umum. Pulang dari sekolah dirumah telah ada persediaan makan sekedarnya berupa sego jangan (nasi dan sajur). Selanjutnya membantu pekerdjaan ayahnya dan momong (mengasuh) adik-adiknya.
PENDIDIKAN AGAMA.
Mutihan dan Abangan.
Sebelum tahun 1900 masyarakat di Kota Jogjakarta seluruhnya merupakan masyarakat Islam, meskipun masyarakat itu terpisah menjadi dua golongan yaitu santri mutihan dan santri abangan tetapi mereka bersatu juga apabila ada kepentingan peralatan Agama: yang disebut santri mutihan (disingkat santri) umumnya ialah yang menjalan i lima waktu. yang tidak demikian disebut santri abangan (disingkat abangan). Oleh karena memeluk agama Islam; tidak mengherankan hampir diseluru'h kampung terdiri beberapa buah langgar yang dipergunakan untuk:
1. Menunaikan bersembahjang.
2. Tempat pengadjian yang pertama ialah mulai huruf hidjaijah (alfabet) hingga membaca Al - Quran.
3. Amat makruf nahi mungkar.
4. Hukum batal, charam, nadjis, makruh.
Pada umumnya anak-anak baik laki-laki maupun perempuan diwaktu habis Magrib, mereka itu pergi ke langgar untuk menuntut pelajaran yang berhubungan dengan Agama, sampai waktu sembah yang Isja.
Guru-guru Agama.
Dalam sepekan pengadjian ditutup sekali, pada Hari malam Djum'at. yang memberi pelajaran umumnya seorang Lebai (Kaum) dikampurig itu. Mereka yang belajar di langgar, diwajibkan menyokong paling sedikit satu sen tiap-tiap sepekan.
Uang itu diberi nama dengan istilah: Urunan tukon lengo, karena uang sokongan itu untuk membeli minyak tanah, untuk pelita, penerangan pada waktu memberikan pelajaran malam hari, sedangkan Lebai atau Kaum yang menjadi Guru pengadjian, tidak memungut uang sepeserpun juga. Pekerdjaan itu dipandang sebagai kewadjiban suci.
PENDIDIKAN RASA CINTA DAN KASIH SAJANG.
Dongeng sebagai alat pendidikan.
Pada saat hampir bersembah yang Isja pengadjian ditutup, anak-anak pulang dengan gembira, ditengah jalan sambil fnenghafalkan nazam (lagu-lagu) dalam baha,sa Arab atau bahasa Jawa . Isi lagu itu mengandung petuah dan petitih bagi para putra dan putri, untuk kehalusan budi pekerti berdasarkan sari-sari Agama Islam. Setengahnya ada pula yang bernyanyi lagu mocopat (tembang).
Pada waktu akan tidur, anak-anak berkumpul diatas balai-balai pandjang, tempat tidur mereka bersama. Sebelum tidur sering kali IbuJBapaknya menceriterakan dongeng-dongeng yang berisi didikan budi-pekerti. Dongeng itu bersifat ceritera pendek, mengambil dari dongeng hewan, yang sangat terkenal ialah kancil, sebagai alat pen¬didikan perkembangan akal. Dongeng roman yang terkenal dongeng Raden Putro, sebagai alat pendidikan budi-pekerti:
Dongeng-dongeng sedjarah: Kjai Ageng Selo, Kjai Ageng Pengging, Djaka Tingkir, untuk memperdalam adat-istiadat sopan santun dan bahasa.
PENDIDIKAN BERLAGU.
Tembang Mocopat sebagai alat pendidikan.
Budi-pekerti darr pengetahuan kanak-kanak terkadang terdapat rangkaian kata¬kata yang dilagukan, belum memerlukan isi, hanya tidak terdapat maksud yang meng¬gambarkan asmara, dan tidak terselip pula kata-kata yang tidak sehat. Dalam ikatan itu terdjalin pilihan kata-kata yang sudah dimengerti oleh alam pikiran kanak-kanak. IbulBapak berlagu lebih dahulu sebagai contoh,- lalu disusul anak-anaknya menyanyi bersama. Adapun lagu-lagu yang diadjarkan dipilih dari yang mudah, lagi jang, berbait beberapa baris saja. Misalnya:
1. Pocung:
a. Bapak Pocung, pasar Mlati kidul Denggung, Kricak lor negara, Pasar gede loring lodji, menggok ngetan kesasar nyang Gondomanan.
Maksudnya: Menerangkan arah beberapa tempat Kota Jogjakarta.
b. Bapak Pocung, dudu watu dudu Gunung, satrija Palembang, dedegira ageng¬inggil, jen lumampah si Pocung lembehan Grana.
Lagu ini berisi teka-teki, yang dimaksudkan binatang Gadjah.
2. Gambuh.'
lela-lela leledung, lah turua, anakku si Kuncung
bijangne lagi lunga menyang kali, ngumbah popok nyangking beruk, cep menenga ana uwong.
Adapun arti lagu ini:.
Tenanglah, tenang hai anakku.
Oh! Kuncung, tidurlah kau.
Ibumu sedang membasuh pakaianmu kesungai, Ah, diamlah!
Diam, diam:................................. di................ am.
Ada manusia lalu dijalan .
3. Megatruh (duduk-zuuluh).
Lagu ini diambil dari tambo „Babad Demak" yang menceriterakan Raden Djaka Tingkir tengah bersampan, tidak dengan didajungkan orang, tetapi berjalan dengan tenaga 40 ekor buaya.
Sigra milir, kang getek sinangga badjul, kawan dasa kang ndjageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan-kering, kang getek lampahnya alon.
4. Midjil.
Ing Mataram, BctMgira inggll, ngnbengi Kadaton, Plengkung lima maju - pat mengane, jagang djero tur tojane wening, ringin pacak-sudji, gayam turut lurung. Ikatan ini menundjukkan bentuk bangunan Istana (Kedaton) Jogjakarta, ber¬pagar batu tembok tinggi dengan megahnya, berpintu gerbang lima, disebelah Utara, disebelah Timur, Selatan dan Barat masing-masing sebuah. Tetapi pintu gerbang yang dibuka untuk lalu-lintas umum hanya empat yang disebelah Timur ditutup, dilarang untuk lalu-lintas. Baru sejak Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pintu gerbang Timur itu dibuka.
Pada bagian luar batu itu dikelilingi selokan yang dalam, berair jernih. Di¬tengah-tengah Aloon-aloon Utara ditanam sepasang pohon beringin, yang berpagar, sepand yang tepi jalan besar terdapat beberapa batang pohon gayam. Sekarang masih dapat dilihat pohon gayam yang ada di Pagelaran, yang masih dalam pemeliharaan.
5. Pangkur.
Nimas Ratu Kalinyamat, tilar wisma mertapa aneng wukir, tapa wuda sind yang rambut, neng wukir Dana Raja, apratignya tan arsa tapihan ingsun, jen tan antuk adiling Hyang, ukume sedulur mami (dari babad Demak).
Pada Puisi Pangkur ini menundjukkan kesetiaan seorang istri kepada suaminya, karena mati dibunuh oleh Adipati Arja Penangsang di Djipang (Daerah Blora). Kesetiaan itu dilukiskan dengari cara tuntutannya dan sumpahnya, bahwa ia tidak akan berkain selama hidupaja, bila pembunuh suaminya belum mendapat pem¬balasan dari Tuhan. Ratu Kalinyamat, demikian nama djanda bangsawan itu, meninggalkan kampung halamannya pergi ke Gunung Dana Raja (Dalam Kota Djepara) mendjadi seorang pendeta puteri, bertapa dan tidak berpakaian, berteland yang bulat, hanya dengan rambutnya yang terurai pandjang, untuk menutup anggauta tubuhnya. Dan lain-lain masih banyak.
Pengadjaran berdasarkan adat mengenal Sedjarah.
Para Jejaka (Pemuda) kebanyakan sering berkumpul pada suatu rumah-tangga, untuk bersama-sama akan mengenal sejarah nenek mojang, dengan membaca kitab-kitab babad (tambo) yang tertulis dalam puisi. Berdasarkan adat (tembang moco¬pat) bahasa dan huruf Jawa. Kitab babad yang termasuk pilihan antara lain: Babad Pedjadjaran, Babad Demak, Babad Mataram dan Babad Gianti. Orang-orang tua atau para Ahli membacanya ganti-berganti, dan diterangkan pula maksud-maksudnya secara sederhana.
Kebiasaan berkumpul demikian ini bias? pada malam Djum'at-biasa, Djum'at ¬Kliwon, Anggara-Kasih - Selasa Kliwon, dimulai sehabis Isja sampai jauh malam.
Jagongan Bajen.
Bertalian erat dengan adat-istiadat dalam masyarakat masih terdapat pula sebuah cara yang dengan tidak langsung bersendi pendidikan mengenal sejarah, ialah pada saat-saat ada salah seorang tetangga yang melahirkan anak, biasa disebut dengan istilah Djagongan Bajen. Waktunya dimulai juga sehabis sembah yang Isja sampai jauh malam. Dalam „Djagongan-Bajcn" itu, duduklah beberapa orang tua-tua yang telah banyak pengalaman dan pengetahuannya tentang kesusasteraan Jawa , yang memberikan berkahnya kepada baji yang baru saja lahir.
Pertemuan ramah–tamah itu biasa diramaikan dengan pembacaan kitab-kitab babad, yang membaca dan menerangkan para pengetua yang turut serta dalam pertemuan itu.
Cara memimpin lagu.
Sebelum Sekolah Taman-Siswa lahir ditengah-tengah masyarakat Jogjakarta, titi swara tidak dikenal orang, karena memang belum ada suatu cara untuk mengadjarkan nyanyian dengan titi swara. Sebab itu cara memberikan pengadjaran menyanyi hanya dengan cara dibiasakan menyanyi berulang-ulang atau menyanyikan suatu susunan kata-kata yang tidak ada artinya (hanya Guru lagu) umpama akan memberikan.
Kinanti:
1. Uningana uni anung = (u)
2. Uningana uni ening = (i)
3. Uningana uni ana = (a-legena)
4. Uni-ana uni uning - (i)
5. Uningana ana una = (a-legena)
6. U ningana uni ening = (i)
Dengan teori itu lagu kinanti mudah sekali masuk kedalam pengertian para pemuda atau pemudi sebab dengan cepat mereka yang mendengarkan dapat membaca puisi dengan lagunya, dan hukum-hukurn lagu (Guru lagu) „Kinanti".
Metode atau teori „Uningana" ini sebenarnya bukan hanya melulu terdengar di Kota Jogjakarta saja, tetapi juga di Daerah-daerah yang mempergunakan bahasa dan kesusasteraan Jawa. Besar kemungkinannya „Uningana" ini suatu metode atau teori umum untuk mempelajari hukum-hukum membuat nyanyian-tembang.
Pelajaran menabaca huruf Jawa .
Sebagian besar masyarakat terpelajar dalam kota Jogjakarta pada masa itu menjadi pegawai -Keraton, Kadipaten Paku-Alaman.
Mereka itu mendapat gadji tidak berupa mata uang,,.tetapi mereka mendapat pemberian sebidang tanah dan sawah dan hasilnya menjadi pokok penghidupan mereka: Berhubung dengan perkembangan perusahaan perkebunan asing yang didirikan didalam daerah Jogjakarta, sebagian besar sawah dan ladang-ladang dalam daerah Kasultanan Jogjakarta dan daerah Kadipaten Paku-Alaman telah disewa oleh perusahaan asing, untuk perkebunan tom (nila) dan lain-lain. Hal ini berhubungan rapat dengan bunyi Undang-undang Hak tanah tahun 1870. Lantaran kemajuan berkembang per¬usahaan asing itu memerlukan pegawai yang terdiri dari bangsa Indonesia, dengan gadji yang serendah-rendahnya. ,
Keadaan itu berpengaruh besar kepada masyarakat Jogjakarta pada umumnya, penduduk kota pada khususnya, karcna pengusaha-pengusaha itu lalu sama minta hantuan kep.ada Pemerintah. Kasultanan dan Kadipaten Paku-Alaman:
I. Supaya Pemerintah Kasultanan mendirikan sekolah-sekolah didalam dan diluar Kota Jogjakarta, segala ongkos-ongkosnya dipikul oleh pengusaha¬pengusaha itu.
II. Pada tiap-tiap rumah tangga dalam Kota Jogjakarta diandjurkan supaya ada pelajara.n mengenal huruf Jawa dan angka, seperti halnya pelajaran pada sekolah Tamanan dan Sekolah Madyapenganti. Dengan inilah dalam Kota Jogjakarta mulai timbul sekolah-sekolah partikelir dan pelajaran mengenal huruf.
Guru-kanapung.
Dalam sesuatu kampung umumnya ada beberapa orang yang pandai membaca dan menulis, rnereka itu dengan cara sambil lalu memberi pelajaran kepada para jejaka peminat mengenal huruf, yang diadakan pada waktu yang terluang, umumnya diwaktu sore kira-kira dimulai jam delapan malam, dengan tidak memungut bajaran. Kebanyakan pendjabat Guru-kampung itu, terdiri dari tingkat Mantri keatas, dari pegawai Keraton reh Kadipaten, Kawedanan Kedjaksaan dan Kawedanan Panakawan. Bagi daerah Kadipaten Paku Alaman pendjabat Guru Kampung itu terdiri dari ,pegawai-pegawai,. Kawedanan Kedjaksaan dan para bangsawan, resminya disebut golongan Kanca Rasika. 1).
Apa hasil Guru-kampung itu?
Apabila dipandang dengan kaca mata kebendaan hampir tidak ada artinya sedikitpun djua. Tetapi pada waktu k.l. 50 tahun yang telah lalu, masyarakat di Kota Jogjakarta masih sangat menghargai pada kebesaran upacara Keraton. Karena dimasa itu pada hari (Senendan/atau Kemis) para Guru-kampung itu diperkenankan menghadap didalam Keraton dan atau kedalam Pura-Paku-Alaman. Mereka membutuhkan pengiring (Penderek Jawa) yang banyaknya setingkat dengan pangkatnya. Pengiring itu harus terdiri dari orang-orang yang sopan tangkas dan tahu akan tata susila. Inilah yang menyebabkan mereka sama berusaha untuk mendapatkan penderek dengan jalan membuka pelajaran pemberantasan buta huruf.
Demikian juga pada hari pesowanan besar (pada hari Gerebeg, tiga kali tiap-tiap tahun), hari tingalan Wijosan atau hari Djumenengan Dalem. Guru Kampung itu sangat membutuhkan pengiring. Sebaliknya, rakyat biasapun sangat ingin turut menghadap ke Keraton, untuk mengetahui keadaan pasowanan. Faktor inilah yang mendorong Guru-guru Kampung radjin memberi pelajaran tulis menulis huruf Jawa dengan cuma-cuma, dan rakyat terutama pemuda-pemuda kampung sama radjin belajar tulis menulis.
Dengan adanya Guru-guru kampung itu didalam Kota Jogjakarta scdjak itu dengan tidak terasa, semua lapisan masyarakat bersama-sama turut mengenyam pen¬didikan budi pekerti, rasa kebangsaan, dan rasa bertanggung Jawab bersama atas kesedjahteraan masyarakat. Dari suatu pihak kepada pihak yang lain, tertanamlah saling mengerti, artinya dari pihak yang lebih tua, insaf akan tuanya; pihak yang muda selalu menundjukkan hormat dan baktinya. Dan pihak bangsawan dengan riang memberi perlindungan kepada yang lemah.
Guru teman seJawa t.
Guru yang terdiri dari teman sejawat ini, umumnya ada pada tempat yang tertentu, yaitu dirumah-rumah para Bupati, Pangeran, Pura Paku-Alaman dan dalam Istana (Keraton).
Disitu terdapat pula pelajaran mengenal huruf Jawa, murid-muridnya terdiri dari beberapa macam golongan hamba (abdi Jawa ). Salah seorang dari mereka yang dapat membaca dan menulis, sebagai gurunya. Dengan diawasi oleh salah seorang anggauta keluarga dalam tempat itu, Paranyai (abdi estri= hamba perempuan) dan Panakawan(abdi jaler=hamba laki-laki) pada waktu yang terluang sama belajar membaca huruf dan nembang (menyanyi).Golongan Paranyai gurunya terdiri seorang Paranyai juga , golongan Panakawan gurunyapun seorang Panakawan juga .
Cara mengadjar dan alat-alatnya.
Kedua pelajaran diatas itu memakai cara jang'sederhana sekali istilahnya getok tular, dengan lisan atau dalam tutur kata saja. Sistimnya menghafalkan dari sedikit berturut-turut. Tentang alat-alat pelajaran hampir-hampir boleh dikatakan tidak ada sama sekali, waktunya dan cara memberi pelajaran tak diadakan peraturan yang mengikat, djadi dengan cara suka-rela.
Tingkatan Pelajaran.
Pertama ialah mengenal empat buah kalimat pokok, masing-masing terdiri dari 5 buah huruf, jadi sama sekali 20 buah huruf Jawa. Empat buah kalimat itu diberikan sekali-gus, tidak satu demi satu. Guru lebih dahulu mengatakan sebuah kalimat yang pertama, murid-muridnya besar kecil menirukan bersama. Disambung kalimat yang kedua, ketiga, dan hingga kalimat yang penghabisan. Lalu dihafalkan oleh semua murid-murid itu seperti berlagu menyanyi bersama, dengan perasaan bebas. Perlu diterangkan bahwa tiap-tiap huruf Jawa itu, telah merupakan sebuah suku kata yang bersuara a atau (a). Cara ini sesuai dengan pemdapat Dr. Ovidi Decroly, seorang orang Belgia, dalam percobaan-percobaan yang luas, anak-anak lebih mudah mengenal kalimat-kalimat pendek dari pada huruf demi huruf, bahkan mengenal huruf-huruf lepas itulah yang tersukar bagi anak-anak. (Lihat Cryns dan Reksosistvojo), djilid II cetakan ke enam, halaman 19). Cara memberikan pelajaran mengenal huruf sebagai diatas itu dalam kasusasteraan kita umumnya disebut „methode Adjisaka", sesudahnya susunannya dibagi menjadi 8 (delapan) tingkat, sebagai berikut:
1. Menghafal alfabet yang berjumlah dua puluh jakni
HA NA TJA RA KA,
DA TA SA WA LA,
PA DHA DJA JA NYA,
MA GA BA THA NGA,
Setelah hafal barulah mulai mengenal (bunyi)
a u, oe e dan e (pepet) '
a. hi,ni, ci, . ri, ki,
di, ti, si, wi, li,
pi, dhi, dji, ji, nyi,
mi, gi, bi, thi, ngi,
Demikianlah seterusnya, dengan „u" „e" „o" dan lain-lain. Selanjutnya barulah mulai pada tingkat-tingkatnya yang lain yang lebih sukar. Demikianlah dalam waktu beberapa bulan saja murid-murid sudah dapat membaca kata-kata.
Dengan adanya guru kampung dan guru teman seJawa t ini tiap-tiap rumah pembesar, bangsawan, Penger;m, Bupati, Wedono dan lain-lain dengan sendirinya pemberantasan buta huruf sudah berjalan , bahkan lebih luas dan mendalam, karena disamping pelajaran tulis menulis, juga disertai pendidikan budi pekerti, sejarah dan tata susila.
Dengan tanpa diketahui oleh kalayak ramai, tidak sedikit para putera/puteri dalam Keraton dan Pura Paku Alaman yang dapat menulis karangan yang berbentuk puisi yang bermutu tinggi.
Demikian pula para kaum bangsawan Kedaton banyak yang berusaha mem¬pelajari kesusasteraan Jawa klasik.
Usaha mereka itu sebagian besar, karena kewadjiban yang berhubungan dengan tugasnya sendiri, setengahnya disebabkan karena hasrat untuk memelihara dan memiliki warisan-warisan leluhurnya. Maka menjadi teranglah bahwa pendidikan dan pengadjaran yang timbul dalam tiap-tiap keluarga Raja dan didalam kampung-kampung merupakan faktor penting, yang menghasilkan „sebagian besar penduduk kota Jogjakarta pandai membaca dan menulis huruf Jawa ".
Kepandaian- Puteri,
Pendidikan pekerdjaan tangan bagi para puteri bangsawan. Didalam Kadaton (istana) dan Pura-Paku-Alaman pendidikan kerdja bagi para putri Raja dan para sentana (kaum kerabat Raja-Raja), meskipun -tidak nampak tegas, karena pendidikan itu berjalan dengan cara saling memimpin antara para dajang-da yang biti - biti perwara). Pendidikan kerdja itu biasanya dibawah pimpinan s.eorang sautana putri yang telah berusia landjut dan yang telah banyak pengalamannya. Macam pendidikan kerdja itu yang diutamakan adalah kepandaian puteri, antara lain:
1. Membatik kain, mulai dari membasuh kain putih, nglojor ngemplong mlipit d.l.l.- Setelah itu mulai membatik, dengan diberi petundjuk-petunjukdari pemimpinnya atau dari kawan-kawannya yang sudah berpengetahuan:
2. Memotong dan mendjarumi badju sendiri.
3. Menyungket perhiasan-perhiasan alat-alat dan perkakas rumah tangga; jang terdiri dari kain. Semuanya itu pendidikan untuk para puteri bangsawan. Bagi para wanita yang bukan golongan tersebut diatas, pendidikan peker¬djaan tangan-hanya terbatas membatik dan memotongi pakaian saja.
Pendidikari-pekerdjaan tangan bagi para gadis remadja (pemudi) biasa, pada umumnya mendapat pelajaran pekerdjaan tangan dengan jalanmembantu pekerdjaan Ibunya, terutama' mengurus -rumah tangga, yang berhubungan dengan pencaharian keluarga antara lain cuci-mencuci, masak-masak, merawat adik-adiknya d.l.l.
Pendidikan rochani-.
Anak-anak baik laki-laki atau perempuan sejak kecil umumnya mendapat didikan untuk mengendalikan hawa nafsu, dengan jalan : berpuasa pada tiap-tiap hari Senen dan Kemis, juga pada hari kelahirannya, demikian juga pada bulan Puasa. Disamping itu bagi yang sudah dewasa, dibiasakan „kurang tidur" dengan jalan „masuk tidur setelah jauh malam", dan mereka bangun pada pagi-pagi benar.
Pendidikan pekerdjaan tangan bagi para jejaka, umumnya ditudjukan kepada keahlian orang tuanya, dengan maksud supaya mereka bisa meneruskan pekerdjaan dan keahlian orang tuanya. Inilah sebabnya maka sampai sekarang kita masih bisa melihat pekerdjaan-peketdjaan yang sejak dahulu tetap dipegang oleh suatu keluarga,.turun¬temurun. Hanya para bangsawan pemuda ke anak2 pegawai Gubermen, mengambil langkah lain, untuk mendapatkan lapangan penghidupan baru.
Pasukan gerilya kita masuk kota
Pasukan gerilya dengan foramsi pertempuran
Panglima Besar Sudirman dalam keadaan sakit sedang istirahat dalam perjalanan masuk kota
Sri sultan Hamnegku Buwono IX dengan wakil PBB mengatur
penarikan tenara Belanda
PENGAJARAN SEKOLAH-SEKOLAH ASLI DI JOGJAKARTA.
Sekolah Tamanan.
Setelah Keraton (Istana Raja) Jogjakarta didirikan dengan lengkapnya, yaitu pada tahun Jawa 1682, dengan diperingati dengan sangkalan memet berupa „arca kaju dua ekor naga"; Dwi Naga rasa wani (1682) atau 1757 M., yang dipasang pada kanan dan kiri Regol Magangan-Kidul. sejak itulah didalam Istana (Keraton) Jogjakarta terdiri suatu bangunan gedung sekolah yang biasa dinamakan: „ S E KOLAH TAMANAN".
Daftar pelajaran (leerplan).
Garis-garis besar susunan pelajaran sekolah tersebut sebagai berikut:
1. Bahasa dan kesusasteraan Jawa -Baru dan Kawi.
2: Sejarah Keraton-keraton di tanah Jawa .
3. Menyanyi (nembang) bagian teori,
a. Tembang Mocopat
b. Tembang Tengahan
c. Tembang Gede (Sekar Kawi).
4. Tata-Negara.
5. Undang-undang Sepuluh.
6: Angger pradata Ian angger pidono (Hukum perdata dan hukum pidana).
Pelajaran yang tersebut nomor 1 dan 2 diberikan oleh para abdidalem Reh Kawedanan Kapudjanggan yang diketuai oleh Tumenggung Tambakbojo.
Pelajaran yang tersebut nomor 3 diberikan oleh para pasinden, abdidalem Kawedanan Reh Karawitan yang dipimpin oleh seorang Wedana, Carang Soko namanya. Dan pelajaran yang tersebut nomor 4 s/d 6 diberikan oleh para Djaksa dan Suragama, kedua golongan ini abdidalem Kawedanan Reh Pancaniti yang diketuai Tumenggung Sudjanapura.
7. Mengadji (membaca) :
a. Kitab Turutan (alfabet dan bacaan A1 Qur'an djus ke 30). b. Qur'an dengan tafsirnya.
c. Hukum Agama Islam.
d. Tradisi sejumlah upacara kerajaan mulai Mataram hingga kerajaan Ngajogjakarta (Adat-naluri tuwin Tata adating Keraton), yang ber¬hubungan dengan agama.
e. Parail.
f. Perkawinan.
g. Talak.
yang tersebut nomor 7 seluruhnya mulai a s/d g menjadi kewadjibannya para abdidalem Reh Kawedanan Kapangulon, yang dipimpin oleh Kangdjeng Kjai Penghulu Dipaningrat.
Disamping itu masih ad'a beberapa mata pelajaran yang berdasarkan ketefiteraan, pertanian, dan kebudajaan, ialah:
1. Menari (tarian puteri).
2. Menari (bermacam-macam tari-tarian bagi para kaum laki-laki).
3: Memilih dan menunggang kuda.
4. Latihan berperang, tiap-tiap Saptu diAloon-aloon Utara, pada k.l. djatri 16 sampai jam 18.
5. Latihan melepaskan anak panah.
6. Menatah dan menyungging wayang.
7. Membuat dan melaras (nglaras Jawa ) gamelan.
8. Seni bangunan.
9. Memelihara segala tanam-tanaman yang biasa ditanam dipekarangan, ladang; sawah dan perkebunan.
10.Saluran pengairan dan bendungan untuk pertanian rakyat.
Perlu diterangkan bahwa peninggalan yang masih nampak bekasnya: Pesiraman Code (sebelah utara Tugu).
Pasiraman Tandjungtirta (ditepi sungai Opak sebelah timur pangkalan terbang di Magua).
Sendang Kasihan.
Sendang Sempor
Sendang Cilereng (Kulon Progo).
Meskipun udjudnya pasiraman-dalem (pemandian Raja) tetapi sebenarnya merupakan waduk, saluran dan pengairan untuk pertanian rakyat. Mata pelajaran pada sekolah Tamanan itu, apabila kita lihat dengan kaca¬mata kemajuan yang tumbuh pada dewasa ini, jauh lebih sempurna. Tetapi karena satu dan lain sebab, maka sekolah itu sejak tahun 1830 mulai dikurangi mata pelajaran¬nya yang penting bukan sejak akhir tahun 1900 sudah tidak terdapat bekas-bekasnya; hanya tinggal naluri semacam dokumentasi-hidup.
Pada masa kepala sekolah Tamanan tersebut, yang bernama Ngabei Djajeng¬wisraba, pelajarannya tinggal dua macam saja, yaitu membaca huruf Jawa dan mengadji (membaca huruf Arab). Sekolah ini hingga pemerintah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Pendidikan dalam Pura-Paku-Alaman.
Menurut sejarah pada tahun 1813 berdirilah Pemerintah Kadipaten Paku-Alaman sebagai Swap Raja, yang mempunyai badan Pemerintah yang tersendiri. Daerah yang termasuk dalam lingkungan Kadipaten Paku-Alaman ialah:
1. Dalam kota, sebagian kecil tanah yang terletak sebelah timur sungai Code.
2. Luar kota, dalam sejarah disebut tanah Karangkumuning, Kulon-Progo sebelah selatan.
Sudah barang tentu Pemerintah yang baru itu harus mengangkat alat Pemerintah yang serba baru juga. Lantaran belum banyak orang-orang yang patut diseralri memegang dan bertanggung jawab atas Negara, maka Kangdjeng Gusti Pangeran Adipati Arja Paku-Alam I (Kangdjeng Pangeran Notokusumo) sendiri- memberikan pelajaran segala sesuatu pengetahuan dan ilmu tata-negara kepada- para putera dan santana. Adapun yang ikut serta dan melajani usaha K.G.P.A.A: Paku-Alam I, yaitu :
l.Seorang pegawai bernama Ngabei Kawiredjo, - memberikan pelajaran kesusasteraan Jawa .
2. Seorang Penghulu bernama Kjai Hadji- Mustahal; memberikan pelajaran ilmu aga-ma Islam.
Hasil usaha ini, tidak lama. Kadipaten Paku-Alaman dapat memperlengkapkan Pegawai yang cukup kecakapannya untuk dapat menjalankan Pemerintahan pada masa itu. Sistim yang diusahakan K.G.P.A.A. Paku-Alam I tersebut menjadi suatu teladan bagi para putera-santana dan pegawai, dan sistim ini dapat berjalan terus dalam lingkungan Pura -Paku-Alaman. Pada masa K.G.P.A.A. Paku-Alam II perkembangan dan kemajuannya, dapat menundjukkan hasil yang memuaskan. Salah satu hasil dari sistim tersebut diatas ialah: para putera santana dapat mendjabat pangkat tentara (Legioen) yang lebih tinggi, yang sede Rajat dengan tentara bangsa Belanda padajaman itu. Dalam dunia kesusasteraan Jawa masih terdapat peninggalan nya., yaitu beberapa kitab bahasa Jawa (gancaran dan tembang) yang menjadi pusaka, tersimpan dalam gedung perpustakaan Pura Paku-Alaman. Umum dapat mengetahui bahwa kitab Jawayang bernama:“Serat Darmowirajat”(tembang)buah Ciptaan K.G. P.A.A. Paku-Alam III. Mengenai kalangan Seni lagu (karawitan), seni-tari dapat ter¬nyata, ketika zaman K.G.P.A.A. Paku-Alam V, dengan mengadakan seni-tari yang menggambarkan suatu ceritera Bandjaran-Sari (Roman bersedjarah). Pada masa itu pembangunan didalam dan diluar kota, terutama pertanian dan pengairan berjalan terus.
Pada akhir abad ke 19, kira-kira 1892 Legioen (tentera) dibubarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda:Karena pembubaran Legioen ini; maka dari kebijak sanaan K.G.P.A.A. Paku-Alam V berusaha, agar supaya para putera-santana Paku-Alaman dapat diterima menjadi murid pada sekolah-sekolah Belanda, (Eerste Lagere School atau Twede Europeesche School) yang berlandjutan kesekolah H.B:S. (Hogere Burger School) di Jakarta, dan selanjutnya ke Perguruan Tinggi di negeri Belanda.
Bagi anak-anak Pegawai Paku-Alaman disediakan sebuah sekolah partikelir yang setingkat dengan sekolah Gubermen yang ada di luar daerah Jogjakarta. Sekolah tersebut dibawah pimpinan Ngabei Wirohaksoro sebagai Kepala-Sekolah, dan beridjasah Kweekschool di Probolinggo. Kecuali sekolah tersebut ada beberapa sekolah partikelir lagi yang sengadja disediakan untuk anak-anak rakyat dalam daerah Paku Alaman, yang akan diterangkan pada bagian belakang.
Lantaran peristiwayang tersebut diatas, maka ternyata bahwa perkembangan dan kemajuan menuntut ilmu pengetahuan ditanah Kadipaten Paku-Alaman, baik dalam kota maupun diluar kota (daerah kabupaten Adikarta, Kulon-Progo) sangat pesatnya.
Pada permulaan abad yang ke 20, ialah masa K.G.P.A.A. Paku-Alam VII, walaupun umumnya dalam kesibukan pendidikan secara Barat, tetapi beliau berpendirian kuat untuk memperkembangkan pendidikan kebangsaan; yang berhubungan langsung dengan-adat-naluri, kebudajaan dan kesenian peninggalan dari para leluhurnya. yang perlu diterangkan disini, bahwa K.G.P.A.A.Paku-Alam VII menjadi ketua perkumpulan amal pengadjaran „Neutrale Onderwijs Stichting" sampai wafatnya beliau menduduki djabatan ketua perkumpulan tersebut.
Setelah alam Merdeka, maka terlihatlah dengan kenyataannya bahwa karena buah pendidikan kebangsaan tersebut diatas, dengan mudah lagi lancar sekali Sri Paduka K.G.P.A.A. Paku-Alam VIII dapat menyesuaikan diri kedalam zaman kemerdekaan. Begitu pula dengan seikhlas-ikhlasnya, lahir maupun batin, merelakan tanah daerah Paku-Alaman, digabungkan dengan daerah Kasultanan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta sebagian dari Republik Indonesia. Berdasar kenyataan yang nampak pada dewasa ini beliau duduk sebagai Wakil Kepala Daerah Istimewa Jogjakarta.
Kehendak Sri Paduka sendiri dengan persetudjuan Wijoto Prodjo, pada tahun 1944 didirikan Sekolah Rakyat Puro P.A. lagi dan pada tahun 17/11-1947 didirikan sebuah Sekolah Landjutan bagian Pertama partikelir, dengan nama: Sekolah Menengah Pertama Puro, dibuka pada waktu sore, setempat dengan S.R. Puro. Dengan surat keterangan dari P.P.dan K., tanggal 16 September 1952 No. 32955./Subs. S.M.P. Puro mendapat bantuan dari Pemerintah kita.
Sekolah S.M.P. Puro diatur dan diawasi oleh suatu badan Pengurus di bawah pimpinan K.P.H. Soerjaningprang, sebagai Ketua. Pendjabat Kepala-sekolah yang pertama kali, ialah almarhum Raden Wadono Tirtowinoto, dan sebagai Kepala Tata¬saha hingga dewasa ini, Jakub Prawirodisastro.
SEKOLAH SEBELUM TAHUN 1900
yang didirikan oleh rakyat sendiri.
(Sekolah Partikelir). Sekolah-sekolah timbul berdiri.
Berdasar penyelidikan-penyelidikan tentang berdirinya sekolah rakyat didalam dan diluar kota Jogjakarta, telah ada sebelum tahun 1900, tetapi tidak dapat diketahui dengan pasti, bilamana dan oleh siapa sekolah-sekolah rakyat itu didirikan, dan seberapa tinggi dan luasnya daftar pelajaran (leerplan)nya. Ceritera tentang berdirinya sekolah-¬sekolah tersebut berasal dari beberapa orang tua yang pernah belajar di sekolah itu: Keadaan sekolah-sekolah itu demikian: ditempat kediaman mereka masing-masing.
a. Gedung sekolah.
Didalam maupun diluar kota pada tiap-tiap rumah bangsawan dan pembesar, ada suatu bangunan yang melulu disediakan untuk rumah sekolah cukup dengan perkakasnya.
b. Alat-alatnya.
Beberapa medja pendek, tetapi pandjang, cukup untuk duduk bersila lima orang anak. Satu papan tulis tiap-tiap klas. Kapur tulis, masih prongkolan saja.
c. Kitab-kitab pelajaran hanya tersedia bagi pegangan guru, tidak dapat diketahui tentang ini, dan pengarangnya, udjudnya hanya tulisan tangan. Segala pelajaran ditulis dipapan-tulis oleh guru. Pada murid seluruh klas mempergunakan batu-tulis dan anak batu-tulis: Hanya bagi klas yang tertinggi dua kali tiap-tiap minggu dibiasakan menulis pada kertas dengan pensil dan tinta. Pelajaran ini disebut „menulis-halus'', melatih menulis yang sebaik-baiknya.
d: Daftar pelajaran.
Daftar pelajaran pada dewasa itu, ialah:
1. Membaca.
2. Menulis huruf Djar.va.
3, Bahasa.
4. Berhitung (bilangan bulat).
5. Nembang (menyanyi).
e. Para guru.
Guru terdiri: Mantri-guru (Kepala sekolah) dengan para pembantu guru, mereka beridjazah dari mana tidak dapat diketahui, dan tidak mempunyai kedudukan sebagai pegawai Pemerintah. Tentang penghidupannya hanya melulu penerimaan sejumlah uang sekolah daripara murid-murid.
f. Jumlah murid.
Permulaan tahun adjaran 1 Syawal pada klas satu lebih kurang 100 orang anak. Pada klas dua lebih kurang 75 orang anak.
Pada klas tiga lebih kurang 50 orang anak.
jadi jumlah murid dalam sekolah itu terdiri kurang lebih 225 orang anak. Jumlah ini terdapat pada sekolah yang ada didalam kota. Bagi sekolah yang bertempat diluar kota, jumlah muridnya lebih kecil. Maka sekolah¬,sekolah itu dengan tahun ajaran mulai Syawal s/d Ruah dan lama pelajarannya tiga tahun.
g. Uang sekolah.
Peraturan uang sekolah diadakan perbedaan dua macam bagi anak perijaji f. 0,25, dan bagi anak rakyat f. 0,15 tiap bulan. Daftar uang sekolah ini terhitung tiap-tiap anak. (Kakak dan adik tidak ada perbedaannya.)
Nasib Guru.
Nasib guru tiap-tiap bulan tergantung jumlah penerimaan uang sekolah, serendah-rendahnya f. 25,- dibagi beberapa orang guru. Sungguhpun demikian, para guru itu merasa senang bekerja, karena mendapat keuntungan lagi, ialah selama menjadi guru, terhitung masa-kerdja. Para guru partikelir pada masa itu oleh pemerintah dianggap magang (calon) pegawai negeri dan mudah untuk pindah bekerja di lapang pengusaha-pengusaha perkebunan milik orang asing.
SEKOLAH-RAKYAT.
Sekolah Gubermen pada akhir abad 19.
Riwajat ini didapat dari keterangan-keterangan yang diberikan oleh:
l. R. Ardjosewojo, pensiunan Kepala Sekolah.
2. R. Rio Kusumowidjojo.
3. Rd. Dibjo-Hardjijo.
4. R. M. Purwodiprodjo.
5. Para sdr.2 yang pernah bersekolah pada sekolah-sekolah itu.
a. Pada akhir tahun 1900 dikota Jogjakarta hanya ada dua sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Sekolah semacam itu oleh khalayak-ramai diberi nama S E K 0 L A HG U B E R M E N. Dua buah sekolah itu berde Rajat Sekolah kelas I dan II, bertempat:
1. Di Sri Menganti, gedung sekolah itu pinjam sebagian ruang Bangsal Tradjumas, yang ada diantara regol Sri Menganti dengan regol Donopratopo, dalam Keraton (Istana Raja).
Sekolah kelas I di Sri Menganti itu hanya untuk para keturunan Raja, dan anak abdidalem (hamba Keraton) yang berpangkat tinggi. `
2. Di Pagelaran, bertempat di Bangsal Pengapit sebelah Barat, diruang Pagelaran, juga meminjam tempat seperti sekolah Sri Menganti tersebut diatas. ` ':Sekolah Pagelaran ini berde Rajat sekolah kelas II, disediakan bagi anak para pegawai menengah dan pegawai rendah.
b. Daftar Pelajaran. (leerplan):
Kedua sekolah itu saja yang daftar pelajarannya dapat diketahui, garis besarnya :
1. Membaca huruf Jawa dan Latin.
2. Menulis huruf Jawa dan Latin.
3. . Berhitung: Menambah, mengurangkan, memperbanyak dan membagi bilangan bulat dan pecahan.
4. Ukuran timbangan, dan tangkaran.
5:Ukuran, luas dan isi (besar).
6. Bahasa Jawa dan Melaju:
7. Ilmu-Bumi seluruh Indonesia.
8. Menggambar.
9. Ilmu-Hajat (bagian manusia dan hewan).
10: Nembang (menyanyi),
11. Sejarah Keraton Ngajogjakarta.
12: Ilmu-ukur (landmeten).
c. Buku-buku Pelajaran. .
Untuk pegangan para guru dan murid-murid, diberi oleh pemerintah Hindia Belanda.
d. Formasi guru.
Guru-guru terdiri dari Kepala Sekolah dan para guru bantu. Kepala Sekolah harus berijazah Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzer, yang biasa disebut Sekolah Calon Guru dan terkenal juga dengan nama Sekolah Raja. Guru-guru bantu tamatan dari sekolah rakyat dan ditambah pengetahuan dengan jalan menempuh udjian.
Bagi Sekolah Sri Menganti baik Kepala Sekolah maupun para guru pembantunya terdiri dari Guru yang beridjazah Sekolah Raja tsb.
Kebanyakan guru-guru itu berasal dari tanah Gubermenan, guru-guru yang berasal dari Jogjakarta sedikit sekali.
e. Idjazah.
Hanya sekolah Sri Menganti dan Pagelaran saja yang memberikan ijazah kepada murid-murid, yang telah dianggap cukup pelajarannya. Idjazah itu ditanda tangani:
1. Kepala-Sekolah.
2.School- Commissie.
3. Resident. (Assistent Resident).
Para murid yang beridjazah itu, boleh melandjutkan ke Sekolah Calon Guru dan Sekolah Calon Pangreh Praja dengan menempuh ujian.
f. Gadji para guru pada kedua sekolah tersebut diatas, diterima dari kantor 'sLands Kas dikota Jogjakarta, dan segala biajanya dipikul oleh Pemerintah Hindia-Belanda, Pemerintah Kasultanan ,Jogjakarta hanya menyediakan tempat sahadja. Adapun uang sekolah yang terendah f. 0,25. dan yang terbesar f. 1,25 tiap-tiap bulan. Uang sekolah itu tiap-tiap bulan disetorkan kedalam 'sLands Kas juga .
g. Nama-nama Kepala Sekolah pada sekolah tersebut yang terakhir: Kepala Sekolah Sri Menganti yang akhir bernama M. Ng. Sumodisastro. Kepala Sekolah Pagelaran yang akhir bernama R. Atmosudiro.
BILAMANA DAN DIMANA SEKOLAH PARTIKELIR DIDIRIKAN.
Lantaran tiada dokumentasi, saja hanya dapat mernperhitungkan dengan cara kira-kira, yang berdasar peraturan „Tanam-Paksa" yang dimulai pada tahun 1830, dan kemajuan perkebunan milik modal asing, sesuai dengan bunyi „Undang-undang Hak Tanah" pada tahun 1870, sebagai yang telah diuraikan diatas.
Sekarang ini bisa ditarik kesimpulan, bahwa Sekolah Sri Menganti, sekolah Pagelaran dan beberapa sekolah partikclir lainnya didirikan sebelum tahun 1870. Keterangan dapat dibuktikan dari sumber kitab sedjarah.
Kitab sejarah Indonesia djilid III muka 107 s/d 108, hal Pengadjaran, karangan sdr. Anwar Sanusi, menyebutkan demikian:
Pada masa kompeni (V.O.C.) tidak memikirkan pengadjaran bagi rakyat Indo¬nesia; PemeriYrtah Belanda mendirikan sekolah. rendah 1848. sejak awal abad ke-19 perusahaan-perusahaan asing makin maju, maka dengan sendirinya makin terasa perlunya pegawai-pegawai rendah Indonesia. Itulah sebabnya di Jogjakarta didirikan sekolah-sekolah rendah („sekolah-sekolah klas dua"), namun jumlahnya sama sekali tidak mencukupi, karena penyelenggaraannya itu dihubungkan dengan kebutuhan akan pegawai-pegawai pemerintah dan perusahaan-perusahaan asing. yang tersebut diatas itu, tidak menerangkan adanya pengadjaran bagi seluruh Indonesia, tetapi hanya untuk daerah Jogjakarta saja, sebelum tahun 1870 sudah ada dua sekolah Gubermen Hindia Belanda ada di Sri Menganti dan di Pagelaran dan sekolah-sekolah partikelir yang dipangku para bangsawan dan pembesar di Jogjakarta, yang riwajat dan bekas-bekasnya masih ada hingga sekarang.
Menurut Raden Ngabei Kartoasmoro, dalam kitab karangannya, yang diberi nama „Ngajogjakarta Pagelaran" huruf dan bahasa Jawa, yang diterbitkan pada tahun 1927, halaman 31, terdapat keterangan, yang saja kutip dibawah ini:
c. Ing nalika kinten-kinten wonten sewidak tahun laminipun dumugi sapriki (1867) kagungandalem bangsal wau, bangsal (Pangapit-Penyusun) kaparingaken dados papaning pamasitan angka 2.
Kutipan diatas itu, nyata memberi keterangan kepada kita bahwa sekolah Pagelaran itu, didirikan pada k.l. 1867.
Sekolah-sekolah Partikelir dalam daerah Paku-Alaman.
Sekolah-sekolah partikelir dalam daerah Kadipaten Paku-Alaman: Sekolah Djero-Gede dan sekolah Padmosekarnan, sejarah perkembangannya demikian:
a. Sekolah Surjengdjuritan-Lor ada dipandopo Kangdjeng Pangeran Surjaning jurud, putera no.4 dari K.G.P.A.A. Paku-Alam I. Arah tempatnya ada dijalan Purwanggan Wetan di sebelah selatan jalan ; yang sekarang ini termasuk cepuri Pura Paku-Alaman bagian belakang. Dari Surjengdjuritan-Lor berpindah tempat dirumah R. Pandji Soeraminarsa, yang sekarang ada dimuka Pura Paku-Alaman sebelah timur, dan bertempat disebelah Selatan jalan Djajaningprangan. Achirnya dipindah lagi kedalam, di Bangsal pandjang, sebelah Tenggara Bangsal Sewa-Taman (Pandopo Pura Paku-Alaman) dengan nama: SEKOLAH DJERO GEDE.
Nama guru-,guru yang terakhir pada sekolah Djero Gede yang masih bisa diketahui: Kepala. Sekolah, Raden Djajengmandarjo, terkenal dengan nama Gus Gurit. Adapun nama Guru-guru yang lain:
1. R.M. Prawiraningrat (putera K.P.H. Sasraningrat).
2. R.M. Djajengutara.
3. Djojoprajitno.
4. Martiatmo.
5. Sastrosutardjo.
6. Tukinun, dan
7. Mangil.
b. Sekolah Padmosekarnan bertempat dikampung Gunungketur dan letak sekolah itu ada disebelah timur jalan Gunungketur agak kedalam, (di sebelah Selatan Bapak Mangunsarkara). Tentang nama itu bukan nama yang semula, itu baru berkenaan dengan masa pemerintahan K.G.P.A.A. Paku-Alam V. Pada masa itu ada seorang Wedana Reh Reksawibawa merangkap Reh Langenp Raja, bernama Ngabei Padma¬sukarna, letak rumahnya seperti keterangan diatas. Mungkin karena tempat sekolah itu didalam lingkungan rumah Ngabei Padmosekarna, sekolah itu terkenal dengan nama: „Sekolah Padmosekarna".
Dalam daerah Kasultanan.
Sekolah-sekolah partikelir dalam daerah Kasultanan terdapat lebih banyak iagi, riwaYat hampir serupa riwajat sekolah-sekolah dalam daerah Paku-Alaman.
• Sekolah itu bertempat:
1. Mangkubumen (sekarang untuk fakultas Kedokteran). Gedung sekolah itu berdiridimana, tidak dapat diketahui lagi.Tetapi sebelum tahun 1900 sekolah di 1) Sekolah. Mangkubumen itu dihapuskan, mungkin disebabkan K.G. Pangeran Adipati Arja Mangkuburni sangat besar hasratnya (kasengsem Jawa ) membuat keris dan tumbak; lagi mempelajari ilmu Agama Islam dari para alim-ulama sekitar daerah Keraton Jogjakarta.
2: Suranegaran (sekarang milikK.R.T: Purwodiningrat). Gedung sekolah Suronegaran ini sebuah bangunan tersendiri, pada halaman muka disebelah timur. Sekolah ini seolah-olah diawasi oleh Bupati Kawedanan Ageng (Bupati Pepatih Kadipaten), bergelar Kangdjeng Raden Tumenggung Suronegoro.
3. Judonegaran (sekarang untuk Fakultas Sastra). Sekolah ini ada diruangan tersendiri sebelah muka pendapa,di sebelah Timur pintu (regol). Sekarang dipergunakan kantor Mantri Pamong P Raja Gondomanan. Sekolah Judonegaran ini dipangku oleh Bandara,pemimpin Kewadanan Ageng Reh Kori, ialah suatu badan Pemerintahan Kasultanan yang merupakan penghubungantara Keraton dengan Resident:
4. Menduran. Semula sekolah ini ada dalam lingkungan cepuri (halaman) Kepatihan Danuredjan. Sudah menjadi adat naluri (tradisi) barang siapa menjadi Pepatih Karaton Jogjakarta dengan resmi berganti nama: Danuredja. Djadi terang bahwa Danuredjan itu rumah dinas bagi Pepatih di Jogjakarta. Bilamana dan apa sebabnya sekolah Danuredjan itu dipindah tempatnya kekampung Menduran, : tidak dapat diketahui. Sekolah Menduran ini ada disebelah timur kantor P.P. dan K. Daerah, dan disebelah barat langgar Kalimantan.
5. Djajengbratan. Sekolah ini ada dikampung Panembahan. Bernama sekolah Djajeng¬bratan sebab bertempat dirumah R.M. Djajengbrata.. Gedung sekolah Djajeng¬bratan itu peninggalan rumah Kangdjeng Pangeran Panembahan yang hidup pada masa pemerintahan H.B.V. Sekolah ini sepatutnya mendapat pudjian lebih dari pada sekolah-sekolah yang sejaman, karena Sekolah Djajengbratan adalah:
a. didirikan sendiri.
b. dirumah sendiri.
c. dikerdjakan sendiri.
d. dikepalai sendiri.
e. diawasi sendiri, dan
f. terkenal sendiri,sebab pelajaran bermutu tinggi, sehingga jumlah murid yang terbanyak diantara sekolah partikelir yang lain.
Sekolah Djajengbratan ini terletak disebelah timur Kadaton (Istana). Kumendaman. Sekolah ini bertempat di sebelah selatan Benteng Keraton, dari Plengkung Gading kearah selatan. Kata Kemendaman, berasal dari kata komendan, yang selanjutnya berubah menjadi kemendam berarti tempat (rumah) Kemendam.
Dalam sejarah diterangkan, bahwa Keraton Jogjakarta itu sejak berdiri mempunyai badan Angkatan Perang yang terdiri 9 bendera (divisi).
Seluruh Angkatan Perang itu dipimpin oleh seorang Penglima yang berkedudukan Bupati Pradjurit, itulah yang dimaksudkan Kemendam (Komandan). Semula Angkatan Perang ini besar, kuat dan tegak dan lagi berdisiplin, hingga dapat disebut Angkatan
Perang Kebangsaan (lihat Babad Gianti).. Tetapi karena akibat dari timbulnya beberapa peristiwa, lambat-laun Angkatan Perang Jogjakarta diperlemah, akhirnya hanya merupakan monument (peringatan) hidup atau menjadi adai-naluri belaka.
Gedung sekolah Kemendaman itu terdiri dari suatu bangunan yang tersendiri, ada dihalaman Kemendaman. Murid-muridnya sebagian besar terdiri dari anak-anak para pradjurit,karena disamping belajar,dengan sendirinya rnereka telah mencatatkan namanya dalam daftar pencalonan prajurit Jogjakarta. Nama-nama sekolah partikelir semacam tersebut diatas ada yang disebelah Utara Kedaton (istana), misalnya: Padjeksan,Sosrowidjajan, Secodiningratan,Anggawangsan(sebelah utara Madyosuro), Gowongan dan lain-lainnya. Konon diceriterakan oleh para yang usia lanjut, bahwa para Nayaka dan para Bupati sama mendirikan sekolah partikelir. Sebab Keraton Jogjakarta ada 9 orang Najaka dan bebQrapa orang Bupati lagi, tidak bisa ditambah, kecuali 6 Sekolah partikelir tersebut diatas, masih ada beberapa sekolah lagi.
Kesimpulan.
Sebelum tahun 1900 dalam kota Jogjakarta ada sekolah asli (Tamanan dan Madyopenganti), 2 sekolah Gubermen (Sri Menganti dan Pagelaran) 2 sekolah par¬tikelir (dalam daerah Paku-Alaman), 6 sekolah partikelir (Dalam daerah Kasultanan) djadi, jumlah semua ada 12 buah sekolah. Para pelajar dan hasil dari 12 sekolah itu dapat umumnya merupakan pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda, pemerintah Kasultanan dan Paku-Alaman. yang lain menjadi pegawai perusahaan milik asing, karena mereka tidak mendapat tempat didalam lingkungan pemerintah.
Setelah tentara belanda meninggalkan Jogjakarta Jemdral Sudirman turun kie kota dari daerah Gerilya .Karena sakit beliau ditandu
Tandu yang dipakai oleh Jendral Sudirman untuk kembali ke kota dari daerah gerilya
Kedatatangan kembali presiden Soekarno di Jogjakarta dari tempat pengasigan Bangka
RIWAYAT SEKOLAH KLAS II SEJAK TAHUN
1901 -- 1919.
Taraf pertama: 1901.
Pada tahun 1901 pemerintah Hindia Belanda dalam daerah karesidenan Jogjakarta, mulai memperbanyak sekolah klas dua, bagi segala rakyat dengan tidak mengingat keturunan. Lantaran jumlah murid pada sekolah Pagelaran sangat meluap, sehingga tidak mencukupi, baik tentang ruang gedung, maupun Guru-gurunya.
Untuk meluaskan, maka didirikan dua sekolah lagi,, ada dikampung Margojasan, dan dikampung Djetis; gedung sekolah Pagelaran ditinggalkan, dipindahkan terpencar menjadi dua sekolah Margojasan dan Sekolah Djetis.
Gedung sekolah klas II yang tertua.
Gedung Sekolah klas II milik Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1901 ialah didirikan dikampung Margojasan, sehingga sekolah itu disebut Sekolah klas II No. 1 Margojasan. Gedung ini terletak dijalan Wirogunan, sebelah utara rumah Pendjara termasuk dalam daerah Kadipaten Paku-Alaman.
Kepala sekolah
Kepala sekolah, bernama R. Atmosudiro, lalu diangkat menjadi guru bahasa Jawa di Osvia di Magelang. Penggantinya R. Sujitno Martoatmodjo.
Guru-Pembantu 1: Somowidakdo.
2. Sastrodikromo.
3. R. M. Sukardi Prawirowinarso.
Adapun murid-murid pada sekolah Margojasan itu terdiri dari:
a. Sebagian besar pindahan dari Pagelaran:
b. Sebagian kecil pindahan dari sekolah partikelir Djero Gede tersebut diatas.
c. Dan dari sekolah-sekolah partikelir yang lain.
Sekolah Klas II nomor 2 di Jogjakarta.
Sekolah Djetis ini segala-galanya sama dengan Sekolah Margojasan. Sebabnya dianggap nomor yang kedua, berdasarkan Kepala Sekolah dan para guru pembantuica, merupakan tenaga pindah dari lain tempat. Sedang Sekolah Klas II no.1 (Margojasan hampir seluruhnya dipindahkan dari sekolah Pagelaran. Kepala Sekolah yang pertama pada sekolah Djetis R. Darmowinoto, yang sejak tahun 1912 diangkat menjadi Kepala Sekolah klas I di Kintelan, sampai waktunya pensiun.
Taraf Kedua: 1903.
Meskipun ditambah dengan berdirinya Sekolah kelas II no. 1 dan no. 2, tetapi sekolah-sekOlah partikelir tidak mengalami kemunduran, bahkan ada yang terpaksa gulung tikar.
Mulai tahun 1903 kota Jogjakarta mendapat tambahan Sekolah klas II no. 3, no. 4, no. 5. Tiga sekolahan itu didirikan bersama-sama: Sekolah klas II no. 3, ada dikampung Ngabean dengan nama sekolah Sekolah Has II no. 3, Ngabean, disebelah Barat balai Kota. Sekolah klas II no. 4, ada digedung Sekolah klas II no. 1 tersebut diatas, dan gedung Sekolah II no. 1 dipindah kegedung baru, terletak sebelah barat gedung lama.
Sekolah klas II no. 4 itu biasa dikatakan orang Sekolah Paku-Alaman, sedang Sekolah klas II no. 1 tetap disebut orang Sekolah Margojasan, sekolah klas II no. 5 ada disebelah timur plengkung (pintu gerbang) Gading, sebab itu disebut Sekolah Gading. Sekolah ini merupakan sekolah pertama yang disebelah selatan Benteng Keraton.
Dengan adanya lima sekolah ini, maka dengan sendirinya sekolah-sekolah partikelir tersebut diatas gulung tikar semuanya. Karena rakyat telah dapat mengerti, bahwa sekolah klas II milik pemerintah itu sangat lebih sempurna dan dihargai dikalangan pemerintahan dan khalajak.
Perlu diterangkan, bahwa sekolah klas II no. 3, no. 4, dan no. 5, merupakan sekolalt rakyat yang hanya berkelas 3 saja. Para murid jnng tamat pelajarannya diklas 3 mendapat tanda tamat belajar yang ditulis dalam huruf dan bahasa Jawa. Pada tahun 1906 pelajarannya ditambah setahun lagi, belakangan ditambah lagi setahun, karenanya Sekolah-sekolah klas II di kota Jogjakarta pelajarannya sampai klas 5.
Taraf ketiga, 1907. Lahirnya sekolah Desa.
Dalam pemerintahan S.P.J.M. Kg. Sultan Hamengku-Buwono VII dalam daerah Karesidenan Jogjakarta mulai timbul Sekolah Kasultanan dan Sekolah Paku-Alaman. Sekolah-sekolah ini bertempat pada tiap-tiap kawedanan dan kapanewon diluar kota. Biarpun sekolah ini hanya sampai klas III saja, tetapi merupakan untuk tangga yang pertama bagi rakyat diluar kota, untuk menambah ilmu pengetahuan sebagai kawan-kawannya yang ada didalam kota:
Di-Ibukota kabupaten Wates, Bantul, Wonosari telah didirikan Sekolah klas II dengan empat kota. Karena pengadjaran pada sekolah tersebut diatas, hanya merupakan pengadjaran rendah-pertama, maka guru-gurunya hanya dari:
a. Tamatan dari Sekolah klas I dan Sekolah klas II ditambah kursus ilmu guru 6 bulan, atau
b. yang beridjazah Kweekeling, atau
c. yang beridjazah Guru-Bantu.
Guru-guru tersebut diatas itu mempunyai kedudukan Pegawai Negeri dan men, dapat surat ketetapan dari pemerintahnya masing-masing. Guru-guru Sekolah Kasultanan mendapat Piagam dari Pemerintah Kepatihan, ditanda-tangani oleh Pepatih Dalem, Guru-guru Sekolah Paku-Alaman mendapat piagam dari Pemerintah Kadipaten Paku-Alaman, ditanda-tangani oleh Kangdjeng Pangeran Arja Notodiredjo. Aturan gadji Guru Sekolah Kasultanan dan Paku-Alaman serupa, s.ama, berdasarkan idjazah.Pendjabat Kepala-Sekolah bergaji F. 15,. Guru-pembantu bergaji F. 7,50, ialah untuk mereka yang beridjazah Sekolah Klas I dan II. Tetapi mereka yang beridjazah Kweekeling dengan mendapat tambahan F. 2,50 tiap-tiap bulan, sedang yang beridjazah Guru-Bantu mendapat tambahan F. 5,- tiap-tiap bulan.
Taraf keempat 1919 dan selanjutnya.
Pada tahun 1919-1942 jumlah Sekolah klas II didalam Kota Jogjakarta ada 13 tempat, tersebar diseluruh Kota. Tiap-tiap sekolah itu diambil rata-rata bermurid 200 orang, dan terdiri lima klas. Kebanyakan pada klas I dan II terpaksa mengadakan dua ruangan (paralel). Untuk djelasnya, nama dan nomer sekolah itu demikian:
Sekolah klas II nomor 1. di Margojasan.
nomor 2. di Djetis.
nomor 3. di Ngabean.
nomor 4. di Paku-Alaman.
Nomor 5. di Gading.
Nomor 6. di Sasrawidjajan:
Nomor 7. di Tamansari.
Nomor 8. di Lempujangan.
nomor 9. di Kintelan.
nomor 10. di Kranggan.
nomor 11. di Tegalpanggung.
nomor 12: di Timuran. .
nomor 13. di Panembahan
Nyatalah bagi kita bahwa kota Jogjakarta pada jaman pendjadjahan Belanda mempunyai Sekolah Klas II 13 tempat banyaknya, dan sebuah Sekolah kelas I di Sri Menganti, jumlah itu tetap juga dalam alam pendjadjahan Jepang 1942 - 1945.
SEKOLAH RAKYAT BERBAHASA BELANDA.
Hollandsch Inlandsche School (H I. S.).
Pada tahun 1909 dikota Jogjakarta lahirlah sekolah rakyat yang berkelas enam, dan mulai klas 3 keatas diberi pelajaran bahasa Belanda. Sekolah itu disebut Eerste Inlandsche School, bertempat dikampung Kintelan. Kepala-Sekolahnya yang pertama Raden Darmowinoto, pindahan dari Sekolah klas II No. 2 di Djetis. Murid tamatan dari sekolah ini, mudah sekali diterima menjadi pegawai negeri dipelbagai kantor; demikian juga dalam dunia. Mereka mendapat penghargaan lebih tinggi dari pada murid tamatan Sekolah klas II. Dengan keadaan itu, maka rakyat Jogjakarta sangat terpengaruh pada pengadjaran bahasa Belanda. Karena dorongan perkumpulan Budi Utomo pada tahun 1915, pemerintah Hindia-Belanda memperbanyak berdirinya sekolah¬sekolah rendah dengan bahasa-pengantarnya bahasa Belanda. Sekolah ini bernama HolIandsch Inlandsche School (H.LS.); pelajarannya dicapai dalam 7 tahun. Ge¬dung H.LS, ini bertempat di Djetis. Sekarang gedung H.LS. itu dipergunakan untuk gedung S.G.A. Negeri. Adapun Eerste Irzlandsche School di Kintelan dihapuskan, menjelma menjadi Sekolah Klas II.
Keputran School, HIS. yang kedua, Schakel School.
Sekolah Sri Penganti, yang berde Rajat Eerste Inlandsche School, pada ta¬hun 1915 juga mendjelma menjadi H.I.S. dengan nama Kaputran School, dan berpindah tempat ke gedung baru, di sebelah timur Pagelaran.
Dengan adanya sebuah H.LS. di Jetis dan Kaputran School masih terasa sangat kurangnya untuk mencukupi kebutuhan rakyat. Kira-kira pada tahun 1920 di kota Jogjakarta dibuka lagi sekolah H.I.S., untuk sementara waktu bertempat di Bintaran di belakang gredja Katolik, setelah gedung persediaannya selesai dikerjakan, lalu pindah dari Bintaran, kepojok beteng wetan, di kampung Danudiningratan, terkenal dengan nama H.I.S. di Tungkak.
Untuk mencukupi kebutuhan anak-anak yang tidak mendapat tempat di HIS atau anak-anak dari Sekolah klas II yang ingin meneruskan belajar bahasa Belanda oleh Neutrale Onderwijs Stichting diteruskan. Lama pelajarannya dicapai dalam 4 tahun, sedang yang diterima adalah anak-anak murid sekolah klas II, yang sudah duduk di klas 3. Djadi jumlah pelajarannya 3 tahun ditambah 4 tahun atau 7 tahun, sepadan dengan lama pelajaran H.IS.
Schakel school, itu didirikan k.l. pada tahun 1930 di jalan Semaki, sekarang gedung sekoIah itu dipergunakan untuk asrama Putera Ladang.
PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI.
Setelah Pemerintah Hindia-Belanda jatuh, berdirilah di Jakarta, -Sekolah Tinggi Islam, buah usaha Bung Hatta dengan dibantu :
1. Mr. Suwandi,
2. Drs. Ramli,
3. Farid Ma'ruf,
4. 4. K.H. Mansur,
5. Kyai. Abd: Kahar Mudzakkir, dan K.H. Fathurrachman Kafrawi.
sejak proklamasi, Sekolah Tinggi Islam itu dipindah ke Jogjakarta, yang kemudian menjadi Universitas Islam Indonesia, mempunyai 4 Fakultas yakni: Hukum, Ekonomi, Pendidikan dan Agama.
Oleh karena Pemerintah membutuhkan sekali akan tenaga-tenaga ahli Agama, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1950 yang ditanda tangani oleh Pemangku Djabatan Presiden Republik Indonesia, Mr. Assaat, Fakultas Agama dari Universitas Islam Indonesia dioper oleh Pemerintah.
Dalam pasal-pasal Peraturan Pernerintah tersebut diatas, ditegaskan tentang tudjuan dari pada Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, ja'ni memberi pelajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalamkan ilmu pengetahuan tentang agama Islam.
Pada tanggal 26 September 1951 „Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri" yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah tanggal 14 Agustus 1950 No. 34/195Q disertai dengan aturan pelaksanaan ja'ni peraturanz bersama, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan tgl. 21-10-1951, No. K/1/14641 th. 1951 Agama dan 28661 /Kab. th: 1951 Pendidikan dibuka: Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri menurut pasal 13 peraturan bersama harus menerima mahasiswa yang beridjazah dari Sekolah Umum (S.M.A. Negeri, Sekolah Vak Menengah bagian Atas) serta beridjazah Madrasah Menengah Tinggi, setelah menempuh ujian penghabisan Sekolah Menengah Atas Negeri jurusan Sastera. Dosen-dosen yang ada pada waktu ini, ialah:
a. Mr. Sunarjo, memberi kuliah Azas-azas Hukum Tata Negara.
b. Much. Jahja, memberi kuliah Tafsir dan Hadits.
c. Thohir Abdul Muin memberi kuliah Ilmu Alam.
d. H. Djojonegoro, memberi Sejarah Kebudajaan dan Sejarah Umum.
e. H. Anwar Musaddad, memberi kuliah bahasa Arab.
f. K.H.R. Moh Adnan memberi kuliah Fakih dan Usul Fakih.
g. K.H. Faried Ma'ruf, lektor luar biasa, memberi kuliah bahasa Arab, untuk mahasiswa asal Sekolah-sekolah Menengah Atas Negeri atau partikelir yang sederajat.
h. Prof. Dr. Can Cu Siem, guru luar biasa, memberi kuliah „Islamic Institutions".
i. Sebagai Ketua Fakultas K.H.R. Moh. Adnan, dan sebagai Sekretaris, Mr. Sunarjo.
Pada tgl. 4 Agustus 1952 telah dilantik dengan resmi Ketua dan anggauta-anggauta Dewan Kurator, yang telah diangkat oleh Menteri Agama dengan persetudjuan Menteri P.P. dan K. dengan surat keputusan tgl. 14 Nopember 1951 No. Gr./II/2/16111,
Adapun Dewan Kurator „Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri" terdiri dari:
1. Sri Sultan Hamengku Buwono IX Ketua Kehormatan.
2. Sri Paku Alam VIII Ketua.
3. Prof. Dr. M. Sardjito Anggauta.
4. - Prawoto Mangkusasmito „
5. Mr. Assaat „
6. K.R.T. Honggowongso ,,
7. Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo „
8. Wiwoho Purbohadidjojo „
9. Harsono Cokroaminoto „
Sebagai diketahui, pada Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri diadakan pula kelas pendahuluannya, yang dinamakan Sekolah persiapan „perguruan Tinggi Agama Islam Negeri"
Adapun tenaga-tenaga gurunya sebagai berikut:
1. H. Djojonegoro, memberi pelajaran Sejarah Kebudajaan dan Umum, dan ditetapkan pula sebagai Pemimpin dari Sekolah Persiapan.
2. Dr. Surono, memberi pelajaran biologic.
3. Timur Djaelani, memberi pelajaran bahasa Indonesia.
4. Sastrosudjono, memberi pelajaran bahasa Jawa -kuno.
5. Sunartono, memberi pelajaran Ilmu Ekonomi.
6. Sukanto, memberi pelajaran Ekonomi dan Tata Negara.
7. Saketi Sumosumarto, memberi pelajaran Kimia.
8: Sumarmo, memberi pelajaran bahasa Djerman.
9. Slamet Rahardjo, memberi pelajaran Sejarah Indonesia.
10.. H. Z.ubair, memberi pelajaran bahasa Perancis.
11. Sutopo, memberi pelajaran Ilmu Pasti dan Ilmu Alam.
12. Thohir Abdul Muin, memberi pelajaran Agama.
13. Tengku M. Hasbi, memberi pelajaran Agama.
14. H. Anwar Musaddad, memberi pelajaran bahasa Arab.
15. R. Malikus Suparto, memberi pelajaran Ilmu Bumi Alam. 16. Abdul Quddus, memberi pelajaran bahasa Inggris. Terkecuali Tengku Moh. Hasbi, kesemuanya adalah sebagai Guru tidak tetap.
UNIVERSITY ISLAM INDONESIA (U. I.I).
Nama dan sejarah berdirinya:
1. Perguruan Tinggi itu bernama University Islam Indonesia atau Al Jami'ah Islamijah al Indonesijah, bertempat di Jogjakarta dan mempunyai Fakultas Hukum di Surakarta.
University Islam Indonesia itu didirikan pada hari Mi'radj 27 Redjeb 1364/10 Mei 1948, sebagai landjutan dari Sekolah Tinggi Islam yang didirikan di Jakarta pada 27 Redjeb 1361/8 Juni 1945. Dan persatukan pula dengan Perguruan Tinggi Islam yang didirikan di Surakarta pada bulan Januari 1950
2. BADAN YANG MENDIRIKAN:- - .
U.I.I. didirikan oleh suatu, Badan wakaf bernama Badan Wakaf U.I.I. dengan Akte Notaris Jogjakarta tanggal 22 Desember 1951. (Akte tersebut sebagai pembaharuan. Akte Notaris Sekolah Tinggi Islam di Jakarta , tahun 1945).
Badan Wakaf tersebut mempunyai Dewan Kurator bertugas mengawasi perjalanannya Universitas. '
3. PIMPINAN UNI VERSI TAS.
U.I.I. dipimpin oleh Dewan Maha Guru (Senat).
4. FAK'ULTAS-FAKULTAS UII.
University Islam Indonesia mempunyai 2 Fakultas.
1. Fakultas Hukum, di Jogjakarta dan di Solo.
2. Fakultas Ekonomi.
5. KEMENTERIAN-KEMENTERIAN YANG TELAH MEMBERI IKA TAN DINAS, IALAH:
a. Kementerian Agama.
b. _ Kementerian Perhubungan.
c. Kementerian Pekerdjaan Umum, dan
d. Kantor Urusan Demobilisan Pelajar. (K.U.D.P.).
Presiden Sukarno bercakap-cakap dengan jendral Sudirman yang baru saja kembali dari daerah gerilya
Presiden Sukarno menyambut jendral Sudirman yang baru kembali daria daerah gerilya
SEKOLAH TINGGI AGAMA KATOLIK.
Sejak dari permulaan missi Katolik bagi orang Indonesia, telah terbuka kesempatan untuk menjadi Imam (Pastur). Sebelum tahun 1936 tiap orang Indonesia yang mempunyai keinginan menjadi Imam, terpaksa meneruskan pelajarannya diluar negeri dan masuk suatu orde. Namun makin lama makin terang, bahwa untuk perkembangan missi apa lagi untuk menambah jumlah Pastur Indonesia adalah perlu sekali mendirikan suatu Sekolah Theologie sendiri ditanah ini, sehingga seorang Indo¬nesia, yang tidak ingin masuk suatu orde, dapat meneruskan dan-menyelesalkan pelajarannya dengan tidak meninggalkan tanah airnya. Untuk keperluan inilah pada tahun 1936 telah didirikan di Muntilan Perguruan Tinggi Agama Katholiek dengan nama
Seminari Agung.
Pada tahun 1938, Seminari Agung ini di pindahkan dari Muntilan ke Mertojudan, dan pada 1940, Seminari Agung dipindahkan di jalan Code 2 di Jogjakarta. Sampai tahun 1952 Seminari Agung telah menghasilkan 43 orang Pastur Indonesia.
Seminari Agung adalah kepunyaan Vikariat Semarang, bekerja dibawah pim¬pinan tertinggi Vikaris Apostolik Semarang, ialah Mgr. A. Soegijopranoto. Akan tetapi oleh karena banyak Vikariat-vikariat lain yang belum mempunyai Perguruan Tinggi semacam ini, maka calon-calon Imam (Pastur) dari lain-lain tempat kerap kali dikirim ke Jogjakarta. ,
Pelajaran dari Seminari Agung dibagi atas dua bagian: 1. Philosophia.
2. Theologie.
Dalam pelajaran philosophia masih terbagi lagi ialah: Cosmologia; Psychologia, Ethica, Theodica, Biologia, dan Antropologia.
Bagian Theologia itu empat tahun lamanya, terdiri dari mata pelajaran: Theologia, Moral, Hukum, Kitab Suci, Sejarah Agama, Pengertian tentang Agama lain, Agama Islam, Hindu, Budha.
Djadi pelajaran di Seminari Agung dapat diselesaikan dalam waktu enam tahun. Sesudahnya seorang siswa dapat ditahbiskan menjadi Imam yang sama de Rajat¬nya dengan Pastur-Pastur yang lain.
BEBERAPA KETERANGAN TENTANG SEKOLAH-SEKOLAH MISSI DALAM KOTAPRAJA JOGJAKARTA.
Seminari Agung:
Perguruan Tinggi khusus dimaksudkan untuk mendidik calon Imam Katolik selama 6 tahun.
1. Sebagai Perguruan khusus, maka seluruh penyelenggaraan dan pimpinannya adalah dibawah tanggungan Pembesar Geredja Katolik, tidak lain dari usaha sesuatu badan partikelir:
2. Seminari Agung dimulai dalam tahun 1936, sementara di Muntilan, atas perintah instansi yang berwadjib ketika itu, yaitu Vikaris Apostolik/Uskup di Semarang.
3. 3. Kuasa tertinggi atas Seminari Agung terletak pada Vikaris Apostolik/Uskup Semarang, sedang Seminari dipimpin oleh seorang Praeses Seminari dibantu Mahaguru Mahaguru Seminari, yang memangku djabatan Praeses Seminari pada waktu ini, ialah Prof. Dr. H.E. Rudding S.J.
I: Sebelum Perang Dunia ke II keadaan -pada tgl. 1 Maret 1942,.
1. Sekolah-sekolah Missi biasa ditanggung Jawa b penuh dan diselenggarakan juga oleh Pimpinan Missi Katolik, dalam hal ini Uskup Daerah (dulu 'Vikaris Apostolik di Jakarta , sejak tahun 1940 dibawah Vikaris Apostolik di Semarang).
2. Hanya yang mengusahakan macam-macam Sekolah adalah beberapa badan Missi atas persetudjuan Uskup setempat.
3. Dalam Kotapraja Jogjakarta mulai dibuka Sekolah Missi dalam tahun 1917. Keadaan pada tgl. 1 Maret 1942:
Bersubsidi. Ta' bersubsidi
Sekolah Frobel -2 Volk/Vervolgschool 16 - E.L.S. 2 -
H.LS. 3 -
H.C.S. - 1 .
Schakel School 1 1
Kleinhandel School 1 -
C.V.O. 2 ..
1VLU.L.O. 2 _
II.- Sesudah Perang Dunia ke II, keadaan pada akhir Tahun 1955/T956. ' ' - Bersubsidi. Tak bersubsidi.
S.R. lg . -
, Taman Kanak-kanak. - 5
S.M.P. 3 -
S.M.A./A. C. 1 -
S.M.A./B. 1 -
S.G.A. Putra/Putri 1 -
S.K.P. 1 -
P.T.P.G. - 1.
YAYASAN SEKOLAH-SEKOLAH KRISTEN B.O.P.K.R.I
(Badan Oesaha Pendidikan Kristen Republik Indonesia).
Sedjarah sekolah-sekolah Kristen di Kotapraja Jogjakarta yang diselenggarakan oleh-Bopkri dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a. penyelenggaraan sekolah-sekolah sebelum clash ke II (th. 1945 s/d th. 1948).
b. penyelenggaraan sekolah-sekolah pada waktu pendudukan tentara Belanda (th. 1948 s/d 1949).
c. penyelenggaraan sekolah-sekolah sesudah penarikan tentara Belanda hingga sekarang (th. 1950 hingga sekarang).
a. PENYELENGGARAAN SEKOLAH-SEK'OLAH KRISTEN SEBEL UM CLASH KE II
.
Sesudah Negara Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka masyarakat Kristen di Jogjakarta segera membuka sekolah-sekolah Kristen guna mengisi kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Yayasan sekolah-sekolah Kristen bekerja berdasarkan akte yang ditanda tangani oleh wakil Notaris Sdr. R. Boediman pada tgl. 11 Mei 1946 dengan susunan pengurus sebagai berikut :
1.Ketua : Sdr. I. P. Simandjuntak
2. Wakil Ketua merangkap bendahara: Sdr. Soebanoe.
3. Penulis : Sdr. M. Hutauruk.
Sekolah-sekolah yang diselenggarakan pada waktu itu dalam Kotapraja Jogjkarta ialah: -
I. Sekolah Taman Kanak-kanak.
1. Bintaran Kulon.
2. Djl. Ungaran.
II. Sekolah Rakyat.
1. Bintaran Kulon.
2. Djl. Ungaran:
Kecuali di Kotapraja Jogjakarta Bopkri menyelenggarakan beberqpa:buah S.R.
di lain-lain tempat.
III. Sekolah Menengah Umum tingkat Pertama (S.M. U.P.),
1: Terban Taman,
2. Djl. Ungaran.
IV. Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (S.G.T.K.):
1: Bintaran Kulon.
V. Sekolah Menengah Atas (S.M.A.).
1. Gemblakan.
2. Djl. Ungaran:
II. Penyelenggaraan sekolah-sekolah pada zuaktu pendudukan tentara Belanda.
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan politis dan juga untuk memberi ke¬sempatan kepada anak-anak berdjuang dengan senjata, Bopkri menutup seniua sekolah sekolahnya pada waktu pendudukan tentara Belanda pada bulan.Desember 1948 sampai dengan Desember 1949.
III. Penyelenggaraan sekoluh-sekolah sesudah penarikan lentara-Belanda -hingga sekarang.
Perintah Koordinator Keamanan Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono IX yang dikeluarkan pada tgl. 5 Djuli 1949 untuk membuka kembali semua sekolah dalam wilayah Republik Indonesia mendapat sambutan hangat dari masjaralCat Kristen di Jogjakarta. Bopkri segera membuka kembali sekolah-sekolahnya dan sampai kini Bopkri menyelenggarakan:
I.Taman Kanak-kancik.
1. Gondokusuman.
2. Djl. Ungaran.
3. Bintaran Kulon.
4. Gondolaju.
II. Sekolah-sekolah rakyat
1. S.R. Gondolaju
2. S.R. Bintaran Kulon
3. S.R. Djl. Ungaran
4. S.R. Demangan
5. S.R. Klitren Lor
6. S.R. Terban Taman
Semua S.R. Bopkri tersebut diatas mendapat subsidi / bantuan dari Pemerintah.
III. ' Sekolali Menengah Umum tingkat Pertama (S.M. U .P.)
1. S.M.P. - Bopkri I (bersubsidi) Gemblakan
2. „ „ II -- Bintaran Kulon
3. „ „ III - Gondokusuman 29
4. „ „ IV - Bintaran Kulon
5. „ „ V - Demangan
6. „ „ VI - Wirob Rajan
IV. Sekolah Menengah L1mum tingkat Atas (S.M.A.)
1. S.M.A. - Bopkri I (bersubsidi) Gondokusuman 29
2. „ „ II (bersubsidi) Gondolaju.
V. Sekolah Guru tingkat B.
I. S.G.B.. - Bopkri (bantuan) Terban Taman.•
VI. Sekolah Guru tingkat A.
l. S.G.A. - Bopkri (bersubsidi) Gondokusuman 39.
VII: Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (S.G. T.K.).
S.G.T.K. - Bopkri - Gondokusuman 9.
VIII. Sekofah Kepandaian Putri (S.K'.P.).
S.K.P. - Bopkri (bersubsidi) Bintaran Wetan. IX. Susutuan Pengurus Bopkri pada zuaktu sekarang.
1. Ketua . Sdr. Drs. Harun Hadiwijono
2. Wk. Ketua meraiigkap
bemdahara . Sdr. Soebanoe
3. Penulis . Sdr. Moesadi Joram
4. Anggauta . a. Sdr. Soemardi Hadipranowo
b. „ Johannes Menase Hadijuwono
c. „ Soedarmanto Prawirohatmodjo
d.„ Soeharman Pudjopranowo
e. „ Hadiwasito
f. „ Simion
g. „ Soetarta Siswowidjono.
Semoga usaha Bopkri dalam menyelenggarakan. sekolah-sekolah merupakan bantuan bagi kemajuan Kotapraja Jogjakarta khususnya dan Negara Republik Indo-. nesia pada umumnya.
PERGURUUN 1SLAM. .
Dalam konggresnya jang. pertama dialam Indonesia- Merdeka pada tahun 1947, perkumpulan Achmadijah yang beraliran Lahore memutuskan meneruskan langkahnya yang pertama kelangkah yang kedua, yaitu mendirikan perguruan Islam Republik Indonesia. (P.LR.L).
Bagaimana juga kesulitan yang dihadapinya, usaha P.LR.I. tidak sia-sia karena pada triwulan pertama tahun 1951 P.LR.I. sudah berhasil mendirikan:
S.G.A. 1 kelas:
S.M.A. 10 kelas.
S.M.P. 5 kelas.
S.G.B. 2 keias.
Pers S.G.A. 1 kelas.: -
19 kelas, dengan murid: 700 orang, gurunya 60 orang.
Pada akhir tahun 1952:
S.G.A. 6 kelas. -
S.M.A. 13 kelas.
S.M.P. 11 kelas.
S.G.B. 11 kelas.
41 kelas, dengan murid 1400 orang.
Pendidikan dan Pengadjaran Muhammadyah.
Disaat Pemerintah Belanda jatuh, Daerah Jogjakarta mempunyai sekolah yang bersubsidi.
S.R. III (Sekolah Desa) 100 buah.
S.R. IV/V (Sekolah kelas II) 20 buah.
H.LS. 1 buah. -
Kleinhandelschool - M.U.L:O: 1 buah.
~Disamping sekolah yang bersubsidi, masih ada beberapa sekolah yang tiada bersubsidi :
H.I. S. 10 buah.
Schakelschool 5 buah.
M..U.L.O. 3 buah.
H.LK. 1 buah.
Setelah delapan tahun mengenyam kemerdekaan jumlah Sekolah Muhammadiyah dalam daerah Jogjakarta adalah sebagai berikut:
Bustanul-Athfal (Taman Kanak2) 7 buah.
S.R. III. 5 buah..
S.R. VI. (Bersubsidi) . 10 buah.
S.R. VI (Masih mendapat sokongan). 10 buah.:
S.M.P. „Putera" dan „Puteri" .(bersubsidi)2 buah.
S.M.P. sore. 3 buah.
S.M.A. (Pagi) bagian A. dan B. 1 buah.
S.M.A. (Sore) bagian A.B. -dan C. 1 buah.
S.G.A. 1 buah..
Mualimat (Sekolah Guru Agama „Puteri") 1 buah.
Mualimin (Sekolah Guru Agama „Putera") 1 buah.
Darul-Ulama (Sekolah Menengah Agama) 1 buah.
Sekolah Pertukangan bagian kaju 1 buah.
Sekolah Pertanian. 1 buah.
Gereja Kristen Protestan yang terletak di Gondokusuman Jogjakarta
Gedung Persatuan wanita yang didirikan di Demangan Jogjakarta oleh kaum wanita Jogjakarta
SEKOLAH-SEKOLAH LAINNYA DALAM TAPRAJA JOGJAKARTA.
S. M. E. P. dan S. M. E. A.
Pada 1 April 1951 Pemerintah kita mendirikan Sekolah Menengah Ekonomi Pertarria dan-Sekolah Menengah Ekonomi Atas. Semula kedua Sekolah `itu milik badan partikelir, didirikan pada tahun 1945.
Pada bulan Oktober 1952, pada S.M.E.A. Negeri di Jogjakarta digabungkan suatu Pendidikan Guru Sekolah Landjutan Pertama jurusan Ekonomi (P.G.S.L.P. Ekonomi).
S. G. P. D.
Dengan sur-at keputusan Menteri P.P. dan K. pada bulan Agustus 1950 dibuka !5&olah Guru Pendidikan Djasmani. yang diterima menjadi murid tamatan dari S.M.P. bagian A. dan S.T. dengan sjarat menempuh udjian. Dalam S.G.P.D. lama pe¬lajaran 4 tahun, dan setelah lulus dari udjian penghabisan diperbolehkan mengadjar di Sekolah Landjutan tingkat Pertama. Selain dari pada itu mereka dapat juga men¬jalan kan pekerdjaan instruktur pendidikan djasmani untuk S.R., perusahaan, Kantor besar, Asrama-asrama, perkumpulan-perkumpulan olah-raga, pusat latihan Pemuda atau Angkatan Perang. -
S. G. K.-P.
Sekolah Guru Kepandaian Putri didirikan pada 1 Januari -1946 pindahan dari S.G.T.P. Jakarta riwajat. singkat sebagai dibawah ini : Dalam pendjadjahan Jepang, pada bulan Nopember 1942 di Jakarta didirikan sebuah Sekolah Guru Tinggi Putri, dibawah Pimpinan Dr. Prijono. Dalam bulan Agustus 1945 setelah proklamasi, kemerdekaan diucapkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, para guru P.G.T.P; berkumpul di Gedung Museum Jakarta untuk disumpah kesetiaan¬nya terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Pada waktu itu susunan Guru adalah sebagai berikut:
Kepala : Dr. . Prijono.
Guru-guru : Nn. . Kartini Prawirotenojo. Suratmi.
Kajatun (Wakil Kepala.) NY.: Nurseha: -
Nn. - Legoh. Umilah dan Ny;, S: Kartowijona.
lama pelajarannya 4 tahun. - :
Kepala S.G.K.P. pada tahun 1946- tidak dapat diterangkawdisini, tRapi pada tahun 1947 Pimpinan S.G.K.P. dipegang oleh Ir. K. Warsito, dan kemudian pimpinan pindah ketangan Ny. Sukadi. Pada tahun pelajaran 1950/1951 S.G.K.P. dipimpin oleh N. Kartini Prawirotenojo dan mulai tahun 1951 pimpinan dipegang oleh Nona Roejayah.
S.G.A. NEGERI (Sekolah Guru 6 tahun).
Sesuai dengan maksud Pemerintah untuk mempertinggi mutu guru, serta dengan, pendiriannya bahwa guru S.R, di Indonesia harus paling sedikit berpendidikan 6 tahun setelah Sekolah Rakyat, maka dibukalah dalam bulan Nopember 1947 S.G.A. Jogjakarta sebagai salah satu S.G.A. yang pertama-tama didirikan di Indonesia.
Lamanya pelajaran pada sekolah ini ialah 3 (tiga) tahun, yang dapat diterima sebagai murid, mereka yang beridjazah S.M.P. atau murid dari S.G.B, kelas III, yang naik kekelas IV dengan melalui seleksi. Guru-guru lulusan dari S.G.A. akan dipekerdja-, kan di Sekolah-sekolah Rakyat.
S. G. B. I NEGERI JOGJAKARTA.
S.G.B. I Jogjakarta 'salah satu sekolah yang tertua-di Indonesia dibuka tanggal 7 April 1897 , yang semula bernama Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzer, terkenal dengan nama Sekolah Raja, (Sekolah Calon Guru), sekarang di sebut Sekolah Guru B. I Jogjakarta.
S. G. B. II PUTERI. .
Pada 7 Nopember 1942 Sekolah Guru B puteri didirikan di jetis, dengan nama Sekolah Guru Perempuan. Sekolah dengan asramanya mengambil tempat digedung yang sekarang dipakai oleh Fakultas Tehnik Universitas Negeri Gadjah Mada.
Pelajaran S.G.B. II puteri dapat dicapai dalam 4 Tahun. Pada waktu itu sekolah mulai dengan 10 kelas, yaitu
kl. I terdiri 3 bagian.
kl. II terdiri 2 bagian.
kl. III terdiri 2 bagian.
kl. IV terdiri 3 bagian.
dan jumlah muridnya semua ada 300 orang. Mereka berasal dari Normaalschool, H.LK., van Deventerschool dan Inheemsche Mulo. -
Pada 1 April 1943 S.G.P. itu dipindah ke Gedung jalan Djati 2, dibawah pimpinan Sri Umijati, adik almarhum Dr. Sutomo Surabaja. Pada tahun- 1948 Sri Umijati meletakkan djabatannya, dan diganti oleh Dien Wongsodjojo. Mulai tahun 1942 hingga 1948 kira-kira ada 300 orang murid, yang lulus dalarn udjian penghabisan S.G.P.
Pada clash II jogjakarta diduduki oleh tentara Belanda, maka S.G.P. mulai tanggal 18 Desember 1948 sampai 29 Juni 1949 ditutup, dan S.G.P. mulai dibuka lagi pada 8 Agustus 1949. Dari tahuri 1950 s/d 1952 hasil S.G.P. yang lulus dalam udjian penghabisan ada 192 orang, yang melandjutkan dari klas 3 ke klas 4 ada 19 orang, dan yang ke S.G.A. ada 11 orang.
Djasa perdjoangan para Guru dan murid-murid dalam clash II selaras dengan kesan ibu Sri Umijati pada 1946: „Djanganlah anak-anak wanita kami kehilangan kewanitaan¬nya dalam masa pan jaroba ini. Mereka dalam perdjoangan harus tetap wanita".
Berkat dari gemblengan Ibu Umijati ini nyata dapat berubah sebagai berikut: Pada permulaan clash II Ibu Asrama S.G.P. Kamdijah, karena masih mempunyai banyak persediaan bahan makanan, dapat menolong beberapa keluarga. Saudara Kamdijah pernah didatangi serdadu Belanda, supaya para murid yang pada waktu itu masih ada 50 orang tinggal di Asrama, suka membantu mereka dengan mencucikan pakaiannya. Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Sdr. Kamdijah, yang mem¬bentak: „kun je zelf niet wasschen?".
Ditulis secara singkat tentang perdjuangan para murid-murid dan para Guru S.G.P. ambil peranan yang penting, ialah mereka menjadi penghubung utama dari tentara kita dari dalam Kota kedaerah gerilja.
SEKOLAH ,TAMAN KANAK-KANAK.
Didalam alam pendudukan tentara Belanda Sdr. Suparno dan Sutosono dengan bantuan teman-temannya berhasil mend irikan Sekolah Taman Kanak-kanak dijalan Merapi, dibawah pimpinan Ny: Kartono bertempat di jalan Merapi 18, mendapat perhatian dari penduduk Kotabaru. Diantara penduduk itu terdapat Ny. Fatmawati Sukarno, Ny. Hatta dan Ny. Suriadarma.
Mereka menaruh perhatian besar pada sekolah Taman Kanak-kanak tersebut. Ny. Fatmawati tiap hari, menghantarkan dan mendjemput putera dan puterinya, Guntur danMegawati, yang masuk Sekolah di Taman Kanak-kanak tersebut. Ny. Hatta-pun sering pula menengok kesekolah darurat tersebut. Untuk memelihara semangat per¬djuangan, maka tiap-tiap bulan sekali, .yaitu pada tanggal 17 diadakan peringatan, secara; sederhana. Peringatan ini didatangi oleh para Ibu dan .putera-puterinya.
SEKOLAH TEHNIK NEGERI I DAN II JOGJAKARTA.
Didirikan pada tanggal 17 Februari 1943 dalam Pemerintahan pendudukan Jepang . Sekolah Tehnik Negeri I ini sebagai pendjelmaannya Sekolah P.J.S, jaman pendjadjahan Belanda.
Menurut keterangan dari Wali-Kota Jogjakarta, Mr, Soedarisman Poerwokoesoemo, kalau dihitung sejak P JS. umur S:T.N. sudah 36 Tahun.
Pada tanggal 10-4-1950 oleh Pemerintah di Jogjakarta disamping Sekolah Tehnik I Negeri, dibuka Sekolah Tehnik II Negeri; karena belum tersedia Gedung berikut perlengkapannya, sementara menumpang pada S-.T,M. Negeri Jogjakarta. :
SEKOLAH TEHNIKENENGAh(stm)
JOGJAKARTA.
Sekolah Tehnik Menengah pada dewasa ini, terdiri atas 2 sekolah, yaitu : S.T.M. I. dengan 19 kelas; S.T.M. II. dengan 6 kelas.
Mata pelajarannya ada 4 bagian:
1. Bagian Bangunan.
2. Bagian Mesin.
3. Bagian Listrik.
4. Bagian Kimia.
5. Bagian Tambang. .
S.T.M. tiu penjelmaan dari S.M.T.T. (Sekolah Menengah Tinggi Tehnik) dibawah pimpinan Sdr. Abidin, dan didirikan sesudah proklamasi kemerdekaan, di Bandung.
Dalam tahun 1946 Bandung diduduki tentara Belanda maka S.M.T.T. pindah ke Jogjakarta, tetap dibawah pimpinan Sdr. Abidin.
Tidak antara lama berhubung dengan suatu hal Sdr. Abidin meletakkan djabatan, pimpinan S.M.T.T. diserahkan kepada Ketua Fakultas Tehnik dari Universitas Gadjah Mada Sdr. Ir. Wreksodiningrat yang menunjukMr. Sunarjo lector S.T.T. sebagai penggantinya dalam pimpinan S.M.T.T. dan nama S.M.T.T. dirubah menjadi Sekolah Tehnik Menengah (S.T.M.).
Dalam pendudukan tentara Belanda, S.T.M. ditutup, seluruh arsif, dan seluruh peralatannya hilang lenyap. Setelah Belanda meninggalkan Jogjakarta, pada tanggal 19 Agustus 1949 S.T.M. dibuka kembali, dibawah pimpinan Sdr. Stambul Kolopaking, yang sampai 1953 masih memegang pimpinan.
Dalam bulan Maret 1950 dibuka S.T.M. II sebagai Sekolah untuk penampungan pelajar-pelajar pedjuang: Pimpinan S.T.M. I dan II ada disatu tangan.
SEKOLAH TEHNIK PERTAMA (S. T. P.) DI JOGJAKARTA.
Pada jaman pendjadjahan Belanda, S.T.P. bernama Ambachtsschool vooor Inlanders, pertama dibuka di Jogjakarta pada tahun 1919, pada Tahun 1932 namanya diganti menjadi Ambachtsleergang. II pada jaman Jepang nama Sekolah tersebut diganti Sekolah Nienengah Tehnik Pertama (Koya Gakko). Keadaannya tidak berubah.
Pada pertengahan Tahun 1943: Sekolah tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta. Kemudian oleh Pemerintah R.I. lalu diurus oleh Kementerian P.P.danK. nama Sekolah tersebut diganti dengan Sekolah Pertukangan.
BERDIRINYA S. M. P. NEGERI DI JOGJAHARTA.
Jumlah S.M.P. Negeri ada 5 yaitu :
1. S.M.P. I Negeri, didirikan pada 11-9-1942, di Djl. Terban Taman 25.
2. S.M.P. II Negeri didirikan pada 12-9-1942, di Djl. Secodiningratan 28,
3. S.M.P. III Negeri didirikan pada 1946, di Padjeksan 18.
4. S.M.P. IV Negeri didirikan pada 15-2-1950, di Djl. Pogung..
5. S.M.P. V Negeri didirikan pada 1-4-1944, di Djl. Seraju.
S.M.P. No. 1, 2 dan 5 didirikan pada zaman Pemerintah Jepang.
Perkembangan S.M.A./A. Negeri Jogjakarta.
S. M. A. Bagian A. Negeri di Jogjakarta dipisahkan dari S. M. A./B. pada permulaan tahun adjaran 1947-1948, lalu berdiri sendiri sampai sekarang. Sebelum jaman Jepang , di Kota Jogjakarta ada A.M.S. afd. B. dan A.M.S. afd. A (A. I. bagian sastera Timur, A. II bagian sastera Barat). Hanya Kota Jogjakarta saja mempunyai A.M.S. afd. A, di Kota lain tidak ada.
Oleh karena itu maka pada jaman Jepang Kota Jogjakarta mempunyai Guru bangsa Indonesia bekas Guru A.M.S. afd./A.
*Setelah sekolah-sekolah landjutan di Jogjakarta dibuka kembali pada permulaan tahun sekolah 1942-1943 (jaman Jepang ) bagian A dan B dipersatukan lagi; se-, landjutnya disebut S.M.T. Pemimpin pertama: R.J. Katamsi, lalu R. Sugardo, Dr: Prijono juga telah pernah memimpin S.M.T. tersebut. Perubahan A.M.S. menjadi S.M.T. itu berarti suatu kemunduran, sebab baik_ bagian A, maupun bagian B, mata pelajaran sangat merosot.
Pada permulaan jaman Kemerdekaan bagian A dipisahkan dari bagian B dengan maksud untuk memperbaiki bagian A.
S.M.A./A. diberi gedung di jalan Pakem, murid-muridnya berasal dari murid. murid bagian A dari S.M.A./A. II di Pagelaran. Semua ada 7 kelas.
Sehabis pendudukan, akhir 1949 dengan usaha Sdr. Sugardo yang diberi tugas oleh Sri Sultan sebagai Koordinator Keamanan, sekolah-sekolah kita yang pada masa pendudukan ditutup, dapat dibuka lagi; S.M.A. A pun tidak ketinggalan.
Kecuali beberapa orang Guru tetap, misalnya A.T. Djaelani, Kuncoro, .Padmo puspito, Duliman, Subroto dan Bakri Siregar, juga mendapat bantuan tenaga-tenaga istimewa misalnya: Mr. Nyonyah Prijono (Isteri Dr. Prijono) Ny. Suriadarma, Ny. Efendi Saleh dan lain-lain.
Murid-muridnya selalu bertambah-tambah, karena kebandjiran murid-murid asal dari S.M.A./A. Negeri atau Partikelir dari tempat-tempat lain. Untung mudah pula mendapat bantuan tenaga-tenaga Guru baru ja'ni Sdr. Subadio Sastrasatomo,
Maramis, Mr. Ir. Supomo, Mr. Nitidipura, Mr. Suhadi, Drs. Sucipto, Prof. Dr. Prijono sampai saat pindahnya ke Universitas Indonesia di Jakarta masih tetap memperhatikan-nya. Gambar „Sambayadjujowati" lukisan Bali, ukuran besar sekali, satu-satunya "perhiasan dinding sekolah itu, juga hadiah dari beliau..
Tidak lama kemudian terbentuk lagi S.M.A/A II, karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat.„ sejak pertengahan tahun 1950 setelah keadaan agak normaal, diadakan perubahan pemimpin, ialah Sdr. Mardowo (sekarang di Kantor Kementerian) diganti Sdr. Sunarsohadicaroko; setelah ia meneruskan pelajarannya ke London, diganti oleh Sdr. Tio Kiem An, akhirnya dalam tahun 1952 dipimpin oleh directeur yang sekarang, , R.M. Sutardi dari Inspeksi Pusat S.M.A.
Pada tahun 1953 S.M.A./A. I. berkelas 1l buah, gurunya tetap 33 dan tidak tetap 19 orang.
. Sekotah Radja:
Enampuluh tahun yang lalu di Jogjakarta terdengar nama istilah Sekolah Raja, ialah sekolah calon Guru, yang nama resminya Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzer,dan biasa disingkat Kweekschool. Sekolah ini didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1848 di Kota Surakarta. Lantaran beberapa sebab, maka pada tahun 1875 dipindahkan dari Surakarta ke Magelang. Tidak antara lama sekolah Raja di Magelang dipisah menjadi dua, ialah di Bandung dan Probolinggo. Beberapa tahun lagi ± 1898 ditambah sebuah lagi bertempat di Kota Jogjakarta,
Normaalcursus Guru-bantu:
Pada ±1907 di Kota Jogjakarta didirikan Normaalcursus untuk menambah pengetahuan para Guru bantu yang membantu mengadjar pada sekolah kl. II, karena itu lamanya 2 tahun, lalu menempuh udjian Guru-bantu. yang boleh diterima pada Normaalcursus tersebut, mereka yang telah beridjazah Kweekeling. yang pertama kali kursus itu dipimpin oleh almarhum M. Boediardjo dibantu dengan para Guru keluaran Kweekschool. Pada tahun 1909 ditambah menjadi 3 huah kursus, dipimpin oleh seorang Guru bangsa Belanda, bernama A. H. Waarnaar dan A. van Pic. Dalam perang Dunia I kursus ini dihapuskan.
Sekolah-sekolah Partikelir bahasa Belanda.
Pada tahun + 1909 almarhum R. M. Rio Gondoatmodjo, membuka Sekolah Partikelir yang melulu memberi pelajaran bahasa Belanda.
Sekolah ini dimulai pada jam 4.00 petang hari sampai jam 6.00 pada tiap-tiap hari. Kebanyakan para muridnya terdiri dari putra-putra bangsawan dan orang-orang yang berpangkat. Sebelum ada sekolah tersebut diatas, telah ada sekolah Partikelir Belanda, yang didirikan oleh seorang pensiunan Opsir Belanda, yang bernama Bretty. Sekolah itu ada di Lempujangan-Wangi.
Pada tahun 1912 dibuka sekolah Belanda Partikelir lagi oleh seorang Belanda bernama Landauw, bertempat di Klitren Kidul. Oleh karena Bretty dan Landauw meninggal dunia, maka kedua sekolah Partikelir Belanda itu lalu ditutup.
Atas usahanya R. M. Soerjopranoto,di Bintaran didirikan sekolah Adhi Darmo, berdasar Islam.
Sekolah-sekolah Lanjutan.
Karena usaha dan desakan Organisasi-organisasi Rakyat maka di Jogjakarta didirikan beberapa macam Sekolah Landjutan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sampai pada Perang Dunia I macam-macam Sekolah Landjutan itu ialah:
Landjutan dari H.LS., E.L.S. dan H.C.S. disediakan sekolah M.U.L.O. HIK. dan T.S.
Untuk tamatan dari NLLJ.L.O., disediakan sekolah A.M.S. bagian Sastra-tarat dan Timur, dan bagian Ilmu Pasti. Dan pada akhir tahun 1941 sampai permulaan tahun 1942, didirikan Hogere Burger School, untuk Belanda. Sekolah-sekolah Landjutan tersebut diatas tersebut sebahagian besar bertempat sekitar Kota-Baru.
Untuk tamatan dari kl. II, disediakan: Ambachtsschool (sekolah pertukangan rendah), Normaalschool pada sekolah Guru sekolah kl. II dan Sekolah Dagang Kecil. Bagi anak perempuan tamatan dari HIS. disediakan Huishoudschool (Sekolah Kepandaian Putri) yang sekarang ada di jalan Lempujangan Wangi.
Sekolah Landjutan Partikelir.
Disamping sekolah-sekolah landjutan yang didirikan oleh Pemerintah, maka beberapa organisasi Rakyatpun berusaha mendirikan sekolah-sekolah Landjutarr ada yang mendapat subsidi dari Pemerintah ada yang tidak.
TAMAN SISWA RIWAYAT DAN PERJUANGANNYA.
Taman Siswa dilahirkan pada Hari Senin Iiliwon tanggal 3 Djuli 1922 atau 8 Dulka¬'idah ghe 1852 Tahun Hidjrah 1340, windu sengara, mangsa kesatu, dengan bercandra¬sengkala „Lawan Sastro Ngesti Muljo". Nama lengkapnya Nationaal Onderzvijs Instituut Taman-Siswa, dibawah asuhan R. M. Soewardi Suryaningrat, sekarang Ki Hadjar Dewantara. Reaksi orang pada lahir Taman Siswa tiga macam: 1. Ada yang tertarik, lalu menjadi keluarga Taman-Siswa; 2. Ada yang tidak cocok, sebagaian besar kaum Guru Peme¬rintah: Mereka marah-marah mengatakan, „Ki Hadjar Dewantara memundurkan kemajuan onderwijs". 3. Sebagaian besar orang-orang Pemerintah menamakan Taman¬Siswa sekolah komunis. Oli!h K. H. Dewantara kepada mereka seialu diJawa b: yang setudju, mari kita berjalan dan boleh menyokong; yang tidak setudju atau melawan, tidak akan dihiraukan. Kita mundur hanya sampai garis untuk lari kedepan (startpunt). Sebelum itu kita perlu orientasi lebih dahulu, karena jakin jalan yang kita lalui sekarang itu salah. Kemudian dengan kekuatan baru dan melalui jalan yang benar. „Yita lari jepat menudju kearah yang murni, untuk kepentingan sang anak, Bangsa dan Negara". Didalam waktu satu minggu Taman-Siswa „Bertapa Diam" dan terus bekerja sekuat-kuatnya; tidak propaganda dengan rapat-rapat umum, cukup bermufakatan antara satu dengan lainnya yang setudju saja.
Pada tanggal 31 December 1922 diadakan permufakatan antara para pemimpin untuk menentukan sikap dan program selanjutnya, sebab diketahui Taman-Siswa dapat perhatian besar dari rnasjaralcat. yang berunding pada waktu itu ialah: Ki Hadjar Dewantara, R. M. Soetatmo Soerjokoesoemo, R.M.H. Soerjopoetro dan Ki Prono¬widigdo. Keempatnya anggauta dari perhimpunan „Slasa Kliwonan", suatu badan untuk mempelajari soal-soal dan keigamaan, yang diketuai oleh Pangeran• Soerjo¬mataram 1).
Maka dengan berdirinya Taman-Siswa itu dan dirasa telah berwudjudlah cita-cita „Slasa-Kliwonan", maka badan itu lalu dihubarkan. Pengetua yang kelima, yaitu Ki Cokrodirdjo, yang terkenal waktu mudanya sebagai penghasut pemuda. Pengetua yang kemudian menusul yaitu Ki Soetopo Wono¬bojo; dan Nyi Hadjar Dewantara dengan sendirinya masuk menjadi pengetua.
Pada Hari Senin Legi tanggal 22 Oktober 1923 atau 11 Maulud tahun Dje 1854, tahun Hidjrah 1342, Windu Sengara, mangsa kelima, dengan bercandra sengkala „Suci tata Ngesti Tunggal" diumumkan, bahwa Taman Siswa adalah badan wakaf. Diterangkan pula azas, sendi pendidikan dan daftar-pelajaran. Peraturan Taman-Siswa bukan peraturan yang mati, tetapi hidup, organis, dan berdasarkan demokrasi-leiderschap (musawarah, djika perlu dengan persoonlijk gezag Pemimpin).
Yada waktu itu juga lalu dibentuk suatu pengurus, namanya Hoofdraad (nama sekarang: Madjelis-Luhur), yang diambilkan dari beberapa orang yang mendaliat kepercayaan dari beberapa golongan dan aliran.
Susunannya Madjelis-Luhur Taman-Siswa yang pertama: Ketua R.M. Soetatmo Soerjokoesoemo, Ketua kedua R.M.H. Soerjopoetro, Panitera umum Ki Hadjar Dewan¬tara, anggauta-anggauta - Ki Pronowidigdo, M. Ng. Wirjodihardjo, R. Roedjito, Mr. Soejoedi, R.M. Soerjoadiputro, penasehat - Ki Prawirowiworo; sedang sebagai anggauta-anggauta tersiar atau gedelegeerden: Ki Soetopo Wonobojo, Ir. Soekarno (Presiden kita sekarang), Panudju Darmobroto, Mr. M. Besar, Ki Cokrodirdjo, Ki Hardjosoesastro, Soetedjo Brodjonagoro, Soedijono Djojoprajitno, K. Notodipoetro, Dr: Suwarno, Mr. Ali Sastroamidjojo, Poeger dan Dr. Mr. Gondokoesoemo.
Pada waktu itu namanya ditambah, menjadi nationaal Onderwijs Instituut Taman-Siswa, „Hoofdzetel" Jogjakarta.
Taman-Siswa makin besar. Pemerintah mengerti kolonialisme akan terdesak. Bermacam-macam akal dijalan kan untuk menindasnya. Taman-Siswa yang mempunyai type sendiri „Perguruan dan rumah Guru bersama-sama" (School woning type), dan K.H. Dewantara yang bertempat tinggal disitu, dikenakan padjak rumah tangga. Akan tetapi K.H. Dewantara tidak suka membajarnya, hingga 3 tahun berturut-turut (1922/1924). Maka pada tanggal 19 Juni 1924, waktu pelajaran masih berjalan , barang-barang Taman-Siswa, diantaranya bangku, medja, papan-tulis dsb. dilelang dimuka umum. Walaupun barang-barang itu dilelang orang juga , akan tetapi kemudian dikembalikan kepada Taman-Siswa, sebab yang melelang itu para pecinta sendiri. Sebaliknya atas tindakan itu, K.H. Dewantara mengadjukan protes kepada yang wadjib, yang kemudian dengan putusan kepala Pemerintah Kadipaten Pakualaman tanggal 25 September 1924 No.: 2424/4, 2415/4, padjak rumah-tangga untuk K.H. Dewantara buat tahun 1922 hingga 1924 yang masing-masing berjumlah f. 76,80, f. 54,- dan f. 54,- dihapuskan. Mulai pada Hari Senin Kliwon tanggal 7 Djuli 1924 Taman-Siswa membuka bagiannya yang baru, yaitu Mulo Kweekschool, seperti S.G.B. jaman sekarang, mata pelajarannya: Pelajaran S.M.P. ditambah Pendidikan Guru, lamanya 4 tahun sesudah Taman Muda atau sesamanya. Dan seperti biasanya., orang-orang didikan kolonial selalu meng¬edjek, sebab pikiran merekahanya orang-orang Belanda saja yang bisa membuka sekolah menengah. Pada penghabisan tahun pengadjaran 1927/1928 lulusan bagian tersebut ikut udjian A.M.S. Negeri, dari 9 anak lulus 5 orang, artinya lebih dari 50%. Suatu bukti yang baik. Pada Bulan Agustus 1927 Sang Rabindranath Tagorc dari Santi-Niketan yang termasjhur itu dengan Sekretarisnya Dr. Chatterjee, yang sedang datang di Jawa, memerlukan mengundjungi Taman-Siswa. Beliau tahu bahwa sistim dari suasana Taman-Siswa yang baru berusia 5 Tahun itu tidak jauh bedanya dengan perguruannya sendiri.
Taman Siswa makin besar, tersebar diseluruh Nusantara. Tidak hanya di Jawa ¬Madura saja, akan tetapi sampai di Sumatra dan Kalimantan ada cabangnya.v - Maka pada tanggal Or hingga 17 Agustus 1930 sesudah sewindu berdirinya Taman= Siswa, mengadakan konggresnya yang pertama di Jogjakarta. Pada waktu itu cabangnya 52 dan 6.500 orang anak murid. Dalam konggres tersebut diputuskan adanya persatuan dengan peraturan-peraturannya.,
Azas Taman-Siswa yang mempunyai 7pasal,demikian juga sendi pendidikanya, ditulis dengan jelas, sedang nama perguruan di Indonesiakan menjadi „Perguruan Nasional Taman-Siswa" berpusat di Mataram - Jogjakarta.
Bagian Mulo-Kweekschool, sebelum konggres sudah dipisah menjadi bagian Taman-Dewasa dan Taman-Guru, tetapi sesudah konggres bahagian Taman-Gurunya disempurnakan, yang diterima lulusan dari Taman-Dewasa atau sesamanya, lamanya pelajaran 2 tahun; mulai tahun 1937 didjadikan 3 tahun.
Pada tanggal 17 September 1932 Pemerintah mengadakan ordonansi baru terkenal, dengan nama „Ordonansi liar 1932". Dengan singkat isinya memberi kuasa kepada yang berwadjib untuk mengurus udjud dan isinya sekolah-sekolah partikelir, misalnya: sebelum sekolah buka harus mempunyai idin lebih dahulu, demikian juga sebelum memberi pelajaran, guru-gurunya harus mempunyai idin mengadjar. Isi pelajarannya harus sesuai dengan sekolah Negeri dan tidak melanggar peraturan Negeri. Ordonansi berlaku mulai 1 Oktober 1932. Maka karena ordonansi itu dianggap melampaui batas, sedang ukuran untuk mengurus itu tentu subjektip, pada hari 1 Oktober 1932, mulai saat berlakunya ordonansi itu, setelah dua hari sebelumnya berunding dengan Madjelis-Luhur Harian dan Penasehat-penasehatnya - Ki Hadjar Dewantara kirim surat kawat kepada Gubernur Jendral di Bogor dalam bahasa Belanda, yang terdjemahannya seperti berikut:
„Gubernur Jendral di Bogor. Ekselensi! Ordonansi yang disajikan dengan amat tergesa-gesa dan dijalan kan dengan cara paksaan dan mengenai sendi tulangnya masyarakat dan adab, sesudahnya rencana pengadjaran (dari Pemerintah) dibatalkan (oleh Volksraad) seolah-olah membuktikan kebingungan dan kegetaran pada Pemerintah, yang dengan sipat berbahaja salah mengerti dan salah rneraba terhadap kepentingan hidup matinya Rakyat. Bolehlah saja memperingatkan, bahwa walaupun machluk yang tidak berdaja, mempunyai rasa asli „Wadjib menangkis bahaya untuk mendjaga diri" dan demikianlah juga boleh djadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara tenaga diam (lijdelijk verzet)."
Dua hari kemudian tanggal 3 Oktober 1932 disusul dengan maklumat kepada segenap Pemimpin pergerakan rakyat, memperingatkan adanya bahaya „Ordonansi liar 1932" itu dan ditegaskan sikap Taman-Siswa. Tanggal 15 - 16 Oktober 1932 Madjelis Luhur Lengkap mengadakan sidang istimewa di Tosari. Rapat memutuskan:
1. Menye¬tudjui seluruh sikap K.H. Dewantara;
2. Mengadakan instruksi yang harus dijalan kan oleh segenap cabang;
3. Tidak keberatan jika perlu anggauta-anggauta Taman-Siswabekerja bersama-sama dengan fihak lain, asal tidak bertentangan dengan instruksi. Tanggal 19 hingga 21 OktoPemeriber 1932 Kuasa ntah Mr. Ir. Kiwiet de Jonge mem¬budjuk Ki Hadjar supaya diadakan kompromi, akan tetapi K.H. Dewantara mengata¬kan terus-terang, bahwa kompromi harus diartikan „hapusnya soal permintaan idin untuk xnengadjar dan mendirikan sekolah-sekolah."
Pada tanggal 29 hingga 30 Okiober 1932 diadakan konperensi Pemimpin di Jogjakarta, diantaranya: 1. Sikap menolak ordonansi dilandjutkan dan kepada segenap
anggauta diwadjibkan mencengkah dalam arti kebatinan (lijdelijk verzet) dan dengax cara-cara yang sesuai dengan azas Taman-Siswa, sedang Madjelis-Luhur sendirilal yang wadjib dan berhak menetapkan sikap yang khusus terhadap sesuatu kedjadiax atau keadaan; 2. Selama 6 bulan dilarang membuka perguruan atau mengangkat gurt baru. Sikap Taman-Siswa itu mendapat persetudjuan penuh dan bulat dari segenap lapisar rakyat, tiada yang menentang atau menyatakan tidak setudjunya, mereka sanggul menyokong penuh aksi Taman-Siswa lahir batin sehingga dicabutnya kembali ordonans yang liar itu. Segenap pers dan party, mulai dari yang kiri sampai kanan, bercoral nasional atau agama, tua atau muda, semuanya menyokong aksi Taman-Siswa. Dar guna persediaan selanjutnya disusun tenaga cadangan, dikumpulkan uang, baran~ dan sebagainya.
Oleh karena itu Pokrol Jendral lalu membuat maklumat, yang isinya melarang pemungutan uang dan barang dikalangan umum guna korban-korban „O.O." meskipun demikian, toh terus dijalankan. K.H. Dewantara telah membuat rencana yang ditulis dengan berkepala „Timbulnya Perguruan Nasional diatas kubur Westersch koloniaalschoolsysteem" dengan sembojan „tiap-tiap rumah menjadi perguruan, tiap orang. menjadi pengayar metof zonder ordonansi. Nationaal intelectueele mobilisatie tot zelfinvoering van leerplicht (mibolisasi kaum cerdik pandai berdasarkan nasional menuju terlaksananya kewajiban belajar)".
Pada tanggal 8 Desember 1932 anggauta volksraad P.A.A. Wiranatakusuma mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah, minta supaya orang cukup memakai sistim yang lama saja „memberi tahu" tidak „minta ijin". Selanjutnya Pemerintah cukup memakai cara yang represip saja,artinya:„Mengurus djika sudah terjadi kesalahan". Oleh Pemerintah pertanyaan tersebut diJawab :„Sukar untuk diubahnya", karena sudah dibicarakan dalam Volksraad.
Oleh Raad van Indie pertanyaan tersebut ramai pula diperdebatkan bahwa kalangan jangpro dan anti ordonansi itu adalah sama kuatnya. Kemudian setelah Jawaban Pemerintah tidak memuaskan penanya, pada tanggal 10 Januari 1933 oleh tuanWi¬ranatakusuma dan kawan-kawannya dimajukan usul untuk membuat undang-undang yang maksudnya: 1. Menarik kembali ordonansi untuk 1 tahun lamanya; 2. Mengesah¬kan kembali ordonansi itu sesudah 1 tahun, dan 3. Mengangkat suatu kumisi untuk merencanakan perubahan yang tetap untuk dimajukan kepada Pemerintah dalam 1 tahun. Dalam pada itu diterangkan, bahwa semua anggauta Budi Utomo dan Pasundan yang duduk dalam Raad-raad djika 0.0. itu sampai 31 Maret 1933 tidak dicabut, serentak akan keluar dari Raad-raad.
Pada tanggal 7 Februari 1933 usul Wiranatakusuma cs. dengan beberapa per¬ubahan teknis dengan semufakat Pemerintah diterima dengan tidak dipungut suara. Dan pada tanggal 13 Februari 1933 keluar ordonansi baru nomor 18 yang maksudnya mem¬batalkan ordonansi 17 September 1932 No. 494; undang-undang berlaku mulai 21 Februari 1933.
Tetapi sebagai kelandjutan „O.O." itu, selama 2 tahun mulai tahun 1934 hingga tahun 1936 hudjan larangan mengadjar, „Onderverbod". Diantara Guru-guru Taman¬Siswa yang menjadi korban lebih dari 60 orang met atau tonder alasan yang sah. Malah ada cabang yang ditutup untuk setahun lamanya. Polisi ikut campur soal pengadjaran, murid ditanya macam-macam, perguruan digeledah, rumah Pamong digeledah, juga rumah rnurid yang sama sekali diluar tanggung Jawa b Guru. Gambar Diponegoro, bendera Merah-Putih, tidak menutup perguruan pada hari maulid Wilhelmina dengan keluarganya saja, sudah menjadi alasan untuk men jatuh i onderverbod guru. Di Sumatra dan Kalimantan Guru Taman-Siswa kena Heerendienst dan passenstelsel. Djika Guru dan murid Taman-Siswa tidak suka memberi hormat pada waktu pegawai bangsa Eropa atau Bumiputera datang, dikenakan larangan hak mengadjar dan perguruan ditutup. Demikianlah kejamnya akibat hapusnya ordonansi liar.
Tidak hanya itu saja, mulai bulan Februari 1935 Taman-Siswa mendapat coba lagi mengenai soal „Kindertoelage", hak orang tua murid pewagai negeri atau tundjangan anaknya yang bersekolah. Pokoknya Taman-Siswa mau dipecah-belah.
Ada yang boleh memberi surat keterangan kindertoelage ada yang tidak. Ada¬pun sikap Taman-Siswa: mengembalikan soal kindertoelage kepada Pemerintah, sebab itu bukan haknya Taman-Siswa tetapi hak oran.g tua murid sendiri. Djika tidak semua perguruan Taman-Siswa dapat menerima hak atas kindertoelage untuk ora,ng tua murid pegawai negeri, lebih baik tidak menerima sama sekali.
Singkatnya: semua menerima atau semua tidak menerima. Kemudian mulai tahun 1938 peraturan tersebut dicabut.
Bersamaan dengan kindertoelage, ada lagi soal „Vrykaart dan vrijbi jet". Anak Pegawai sepur mulai tahun 1935 yang berguru pada Taman-Siswa tidak memberi lagi kartu percuma untuk berguru dan biljet percuma guna menengok orang tua waktu -liburan. Setelah diperdjuangkan, dengan keputusan Inspektur kepala tanggal 20 September 1940 peraturan tersebut di jabut pula.
Tidak cukup sekian. Mulai tahun 1935 itu juga orang2 Taman-Siswa akan dikenakan „Padjak-Upah" atau loonbelasting. Padahal dalam hal ini Taman-Siswa Prinsipil menolak tidak suka membajar padjak upah, karena dalam Taman-Siswa tiada bersipat madjikan dan buruh. Sebagai penduduk suka membajar padjak penghasilan, walaupun jumlahnya boleh djadi lebih banyak dari padjak upah.
Tentang hal ini, yang oleh Taman-Siswa dianggap prinsipil, sampai lama sekali diperdjuangkan. Pada tanggal 17 December 1937 K.H. Dewantara memaksa diri datang bertemu dengan Gubernur Jendral di Cipanas untuk mendjelaskan dengan lisan udjutnya organisasi Taman-Siswa yang berdasar atas kekeluargaan dan sama sekali tidak mengenal hubungan madjikan dan buruh. Dan selama itu peraturan terus diundur-undur, hingga sampai dicabutnya, orang Taman-Siswa tetap tidak dikenakan padjak upah. Kemudian dengan surat keputusannya tanggal 15 Djuli 1940 No. L.B.L/16/6 Direktur keuangan memutuskan orang-orang Taman-Siswa dibebaskan dari padjak upah dan seperti biasa dikenakan padjak penghasilan.
Pada waktu yang tergenting itu yaitu pada saat-asat Taman-Siswa memperdjuangkan menentang ordonansi liar 1932 dengan berakibat hudjannya larangan hak mengadjar bagi gur,u-gurunya, menentang peraturan larangan hak orang tua murid menerima kindertoelage dan kartu serta biljet percuma untuk anak-anaknya, kemudian menentang pajak-upah bagi guru-gurunya, pusat Taman-Siswa masih ada dijalan Tandjung, rumah menyewa. Kemudian membeli rumah dan pekarangan di jalan Wirogunan 31/33, dengan cara gotong-rojong. Pada pekarangan itu kemudian didirikan pendapa dengan okongan para pecinta, dan „benggol bulanan" dari para murid, yang dibuka resmi bertepatan dengan pembukaan konggres Taman-Siswa yang ketiga hari 16 Nopember 1938. Demikianlah dengan sepintaslalu riwajat Taman-Siswa waktu pendjadjahan Belanda. Konperensi Agustus 1946 memutuskan „Taman-Siswa" dalam jaman merdeka masih perlu ada. Walaupun Pemerintah sendiri dalam waktu 10 atau 20 tahun lagi sudah dapat membuka sekolah-sekolah yang mencukupi Keperluan rakyat. Karena Tamma Siswa mempunyai dasar-dasar kekhususan sendiri, yang sekolah negeri sukar dapat mengikutinya. Selain itu dibentuk panitya untuk menindjau kembali azas dan dasar-dasar Pendidikan Taman-Siswa, sesuai dengan jaman merdeka itu.
SEKOLAH NETRAL.
Sedjarah Sekolah Netral ini ditulis menurut keterangan-keterangan yang didapat dari Sdr. K.R.T. Jatnodipuro, yang dulu menjadi guru pada Sekolah tersebut. Karena kesepian catatan (dokumentasi) maka dimana Sdr. K.R.T. Jatnodipuro yang masih ingat terang Panitya Neutrale Onderwijs Stichting yang berusaha untuk meridirikan sekolah-sekolah guna mencukupi kebutuhan rakyat, dengan berangsur-angsur dapat mendirikan tiga buah sekolah H.LS. (bagi anak-anak Indonesia) sebuah sekolah E.L.S. (Bagi anak Belanda) sebuah sekolah Schakel, dan sebuah sekolah Mulo.
Pada 13 Oktober 1939 diadakan perajaan untuk memperingati ulang tahun yang ke 25 bagi Neutrale Onderwijs Stichting tersebut.
SEKOLAH-SEKOLAH MILIK MUHAMMADIYAH.
Pada 18 Nopember 1912 Muhammadiyah didirikan di Jogjakarta, dengan pim¬pinan almarhum Kjai Hadji Achmad Dachlan; beliau itu sebagai anggauta yang ter¬kemuka dalam organisasi Boedi Oetomo. Berdirinya Muhammadiyah termasuk salah satu faktor Kebangunari bangsa Indonesia:
Dalam beberapa langkah usaha Muhammadiyah yang dianggap penting, ter¬masuk mendirikan sekolah-sekolah yang berdasar Agama Islam. Mula-mula Muhammadiyah mendirikan 3 buah sekolah rendah yang setingkat dengan Sekolah kl. II, dengan ditambah pengadjaran agama Islam. Tiga buah sekolah Muhammadiyah tersebut di¬dirikan di Karangkadjen, Suronatan dan Bausasran.
Beberapa tahun kemudian, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah Landjutan Pertama, dengan bantuan moreel dari para Guru-guru Kweekschool, di¬antaranya dari almarhum Raden Sosrosoegondo.
Sekolah-sekolah Landjutan Pertama kepunyaan Muhammadiyah ialah: Mualli¬mien, Muallimaat, Mulo dan H.IK. Semuanya mendapat subsidi dari Pemerintah Hindial Belanda.
KEADAAN SEKARANG.
Disini diterangkan jumlah-dari berbagai-bagai tingkatan sekolahyang ada dalam Kota Jogjakarta, Sekolah Negeri, Sekolah Partikelir.
§ 30. Sekolah Negeri.
1. Sekolah Rakyat. 64.
2. Sekolah Landjutan Pertama. 18. 1)
3. Sekolah Landjutan Atas. - 19. 2)
Keterangan 1) terdiri dari : •
S.M.P. 5 (I. II. III. IV dan V).
S.M.P. Putri 1
S.G.B. 4 (I. II. III dan IV).
S. K. P. 1
S.T.P. 5 J. II. III.. IV dan V).
S.T. 2 (I dan II).
2) terdiri dari:
S.M.A./A. I. dan II. 2.
S.M.A./B. I. dan II. 2.
S.M.A./C. I. dan II. 2.
S.M.E.A. 1.
S.G.A. I. dan II. 2.
S.G.P.D. 1.
S. G. K. P. 1.
S.T.M. 2.
P.G.A.A. 2,
S.P.M.A. 2.
S.G.H.A. /P.H.LN. 1.
Sekolah-sekolah.Partikelir yang berdasar agama.
a. S.R. Islam 9
S.R. Katolik. 21 = 36.
S.R. Kristen. 6
b. Sekolah Landjutan Pertama Islam 12
Sekolah Landjutan Katolik 8 = 29.
Sekolah Landjutan Kristen. 9
c. Sekolah Landjutan Atas Islam 6
Sekolah Landjutan Atas Katolik 6 = 17.
Sekolah Landjutan Atas Kristen. 5
d. Jumlah seluruhnya:
S.R. 64 + 36 = 100.
S.L.P. 18 + 29 = 47.
S.L.A. 19 + 17 = 36.
Sekolah Landjutan Pertama Partikelir bersubsidi.
1. S.M.P. Bopkri I. Djl. Gemblakan 42.
2. „ „ II. „ Bintaran Kulon.
3. „ „ III. „ Gondokusuman.
4. „ „ IV. „ Bintaran Kulon.
5. „Taman-Dewasa „ Wirogunan.
6. „ „ „ Bintaran Wetan.
7. S.M.P. Taman-Dewasa Djl. Gading.
8. » » » Djetis.
9. „ Kanisius Puteri Stella Duce Dagen 171.
10. „ Kanisius Putra Secodiningratan 16.
11. „ Muhammadiyah Putera, Purwodiningratan.
12. „ „ Puteri Bintaran Lor.
13. „ „ Puro.
14. „ „ Bausasran.
15. „ „ Wirob Rajan.
16. „ „ Suronatan.
17. „ „ Secodiningratan.
18. „ P.IR.I.
19. „ Mataram, Bintaran Wetan.
20. „ Tempel Wirogunan.
21. „ Islam Wal Fadjri Karangkadjen.
22. „ Terban-Taman (S.M.P. T.T.) d/a. S.M.P. I. Negeri Terban-Taman.
23. S.M.P. Nasional Kuncen.
24. „ Pugeran.
25. „ Instituut Indonesia Padjeksan.
26. S.M.E.P. Bintaran Wetan.
27. S.G.B. Bopkri Gondokusuman.
28. S.G.B. Piri.
29. S.G.B. Taman Guru Wirogunan.
30. S.G.B P.G.R.I. -
31. S.K.P. Bopkri Bintaran Tengah.
32. S.K.P. Katolik Secodiningratan.
Sekolah Landjutan Atas Partikelir bersubsidi.
1. S:M.A. Pend. U.II. Bag. A. Terban Taman 14.
2. „ Bopkri I /I I. „ Gondokusuman.
3. „ - Taman Madya „ Wirogunan.
4, „ PPIK „ Lempujanganwangi 11.
5. „ Vidia „ Kintelan.
6. „. J.U.B. „ Secodiningratan S.M.P. II.
7. „ Kanisius „ Bintaran Kulon 14.
8. „ St. Thomas „ Kidul Lodji.
9. „ Mardiluwih „ Kemetiran Lor 70.
10. „ Piri . „ Djl. Seraju 4.
11. „ Instituut Arting „ Bintaran Kulon 6.
12. „ Muhammadiyah I. „ Notoprajan 72.
13. „ „ II. , „
14. „ Stella Duce „ Djl. Sumbing I.
15. S.M.A.Taman Madya Bag. B: . Wirogunan.
16. „ Katolik Putera ,; Bintaran Kulon 14.
17. „ „ Puteri „ Sumbing.
18. „ Piri „ Seraju.4.
19. „ Muhammadiyah I. „ Notop Rajan 72. `
20. „ „ „ „
21. „ Bopkri I. „ Gondokusuman 23.
22. „ „ II. „ Gondolaju 24.
23. „ J.U.B. „ Lempujanganwangi 17.
24. „ Nasional Indonesia Raya Bag. B. Terban Taman 25.
25. „ St. Thomas. „ Secodiningratan 16.
26. „ Sriwidjaja. „ Gading.
27. „ Mardiluwih „ „
28. „ Nusantara. „ Dagen.
29. „ P.P.IK. „ Lempujanganwangi.
30. „ Bopkri „ Gondokusuman.
31. „ Gondolaju.
32. „ Instituut Indonesia. „ Gemblakan.
33. „ Nasional Indonesia Raya „ Terban-Taman.
34. „ J.U.B. „ Secodiningratan.
.35. „ P.P.LK. Lempujanganwangi.
36. „ Indonesia. Bag. A.B.C. Bintaran Kulon 14.
37. „ Mardiluwih. Bag. B. Kemetiran Lor.
38. „ Nalanda. „ Bausasran.
39. „ Masehi „ BintaranWetan 11.
40. S.G.A. Bopkri.
41. „ Piri.
42. „ Stclla Duce.
43. „ Mardiluwih.
44. „ . P.G.R.I.
45. „ Taman Siswa.
46. „ Muhammadiyah I. Wirob Rajan. .
47. „ „ II. Surjowidjajan.
48. S.M.E.A. Koperasi Djetis.
Bagian Madrasah Partikelir.
Madrasah-madrasah yang diusahakan oleh Ummat Islam terdapat ada tiga derajat (tingkatan) :
Madrasah Rendah 14.
Madrasah Landjutan Pertama. 9.
Madrasah Landjutan Atas (putera). 1.
Madrasah Landjutan Atas. (puteri) 1.
. Madrasah yang tersebut diatas ini buah usaha golongan Muhammadiyah Pendidikan dan Pengadjaran yang bersifat madrasah-madrasah itu tersebar di kampung¬-kampung dalam Kota Jogjakarta.
Lain dari pada itu ada pula Madrasah Landjutan Atas (putera) yang diusahakan oleh para keluarga Kantor Urusan Agama Daerah Istimewa Jogjakarta, didirikan pada bulan Agustus 1945 dimuka Masjid Besar, dengan nama Madrasah Menengah Tinggi (M.M.T.) dibawah pimpinan Sdr. H. Faried Ma'ruf, direktur yang semula Drs. Sulaiman. Dalam M.M.T. yang sangat dipentingkan pendidikan dan pelajaran Agama Islam, disarnping pelajaran S.M.A/A. Lama pelajarannya 4 tahun terhitung kelas pendahuluan: Dalam daftar mata pelajarannya ditegaskan bahwa pelajaran Agama 50°C dan umum 50%. Hasil dari M.M.T. tiap-tiap tahun para pelajarnya yang menempuh dan lulus dalam udjian penghabisan S.M.A./A. Negeri mula-mula 30%, tahun kedua 40%, dan tahun ketiga 60% dan pada akhir-akhir tahuri ke-empat 50%. Kebanyakan pelajar-pelajar yang lulus itu masih meneruskan pelajarannya ke Perguruan Tinggi Universitas Negeri Gadjah Mada, di Jogjakarta.
U.I:I. (partikelir) di Jogjakarta.
P.T.A.LN. (Negeri) di Jogjakarta
dan Perguruan Tinggi Islam di Jakarta .
PERGURUAN TINGGI UNIVERSITAS NEGERI GADJAH MADA
( berdiri pada: 19/12-1949 ).
Pada tangga124 bulan 1 tahun 1946 digedung S.M.T. (Sekolah Menengah Tinggi) sekarang diganti nama S:M.A. Kotabaru Jogjakarta, diadakan pertemuan dari beberapa cerdik pandai perlu merundingkan hal-hal kemungkinan mendirikan Balai perguruan Tinggi (Universitas) partikelir di Jogjakarta yang menjadi Promotornya yaitu :
Mr: Boediarto.
Ir. Marsito.
Dr. Prijono dan
Mr. Soenarjo (Jogjakarta).
Sebagai hasil pertemuan itu, dibentuk Panitya lengkap yang beranggauta 32 orang, Ki. Hadjar Dewantara ditunjuk sebagai Ketua, Mr. Soenarjo sebagai penulisnya: Kecuali itu didirikan Yajasan, yang bertugas„Mendirikan Balai Perguruan Tinggi Gadjah-Mada", diurus oleh:
Mr. Boediarto sebagai Ketua:
Dr. Sockiman sebagai Wakil Ketua.
Dr. Buntaran sebagai Penulis.
Dr. Soeharto sebagai Bendahari.
Sedang anggauta-anggautanya B.P.H.Bintara, H.Faried Ma'ruf, Mr. Mangkujudo, K.R.T. Notojudo, K.H.P. Nototaruno dan Prof. Ir Rooseno.
Juga dibentuk Dewan Kurator, dengan Sri Sultan sebagai Ketua,, dan Ki Hadjar Dewantara sebagai Wakil Ketua.
Sesudah semua persiapan selesai maka pada tanggal:3 Maret 1946 di Gedhng K.N.I. Malioboro diadakan pertemuan, resmi untuk mengumumkan berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada Partikelir dengan bagian-bagiannya: Fakultas Hukum dan Fakultas Sastera yang memberi sokongan sebesar-besarnya untuk langsungnya pertumbuhan Balai Perguruan Tinggi Partikelir itu adalah Sri Sultan Hamengku Buwono.
Tetapi fakultas-fakultas partikelir ini dibekukan sejak penyerbuan Belanda di Jogjakarta pada tanggal 19 December 1948.
Pada tanggal 19 December 1949 oleh Pemerintah R.I. didirikan Universitas Negeri Gadjah Mada di Jogjakarta terdiri dari: Fakultas-fakultas Sastera, Hukum; Techniek, Kedokteran, Kedokteran gigi dan Farmasi, Pertanian dan Kedokteran hewan. Masing-¬masing fakultas itu mempunyai riwajat sendiri.
Pada hari itu ditetapkan juga adanya Senat Universitas Negeri Gadjah Mada. anggauta-anggautanya: Prof. Ir. Wreksodiningrat, Prof. Mr. Dr. Djokosutono, Prof, Dr. Prijono, Prof. Mr. Soenarjo kolopaking, Prof. Dr. Johannes, Prof. Mr. Pringgodigdo, Prof. Soetopo, Prof. Mr. Wirjono Prodjodikoro, Prof. Dr. Abutari, Drs. Suparwi, Ir Harjono, Prof. Drs. Notonegoro (Sekretaris), dan Prof. Dr. Sardjito; (Ketua). Susunan Dewan Kurator: Sri Paku Alam VIII (Ketua), Sutardjokarto Hadikoesoemo (Wakil Ketua), anggauta-anggautanya: Dr. Kodijat, Ki Hadjar Dewantara, Prof. Ir. Wreksodiningrat, Mr. Hadi, Ir Goenoeng Iskandar, kemudian ditambah Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Ketua Kehormatan; Mr. S: Poerwokoesoemo, Samadikun, dan Mustadjab sebagai Anggauta.
Instituut Pasteur dan Perguruan Tinggi Kedokteran.
Dikutip dari pidato Dies Natalis Universitit Gadjah Mada Jogjakarta 19 December 1950 oleh Prof. Dr. Sardjito, antara lain: yang akan saja sadjikan pada Dies Natalis, Hari Ulang tahun yang pertama dari cniversitas Negeri Gadjah Mada Jogjakarta, jalah buah penyelidikan yang saja jalan ¬kan diwaktu perdjuangan pada tahun 1946-1947, diwaktu saja memimpin Instituut Pasteur dan Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten.
Penyelidikan dijalan kan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam pembikinan vaccin-vaccin, obat-obat suntikan berhubung dengan kekurangan bahan-bahan penting yang disebabkan oleh blokkade musuh.
Dijaman Jepang , dan juga dalam permulaan Indonesia Merdeka, obat-obat itu dibuat di Instituut Pasteur di Bandung. Karena penyerbuan Inggris dan Belanda di Bandung dalam bulan Oktober 1945, maka Pegawai Instituut Pasteur harus pindah ke Klaten untuk meneruskan pekerdjaan dari Instituut tersebut di Daerah Republik. Pekerdjaan pemindahan ini dipelopori oleh tuan R. Sukarnen almarhum, pegawai Tinggi dari Instituut Pasteur yang mendapat dan mengatur tempat dilaboratorium dari Proefstation dari Verenigde Klatensche Cultuur Maatschappijen.
Kesimpulan tersebut diatas, kita mengerti bahwa berdirinya Instituut Pasteur dan Perguruan Tinggi Kedokteran Indonesia itu atas inisiatip Presiden Universitas: Prof. Dr. M. Sardjito, pada permulaan Indonesia Merdeka ada di Bandung, sejak Oktober - 1945 sampai 1947 pindah di Klaten, dan dipimpin oleh beliau sendiri.
Riwajat Fakultas Techniek.
Fakultas ini yang dibuka di Jogjakarta lebih dulu dari yang lain-lain. Sesudah tentara Belanda menyerah kepada tentara Jepang pada 7 Maret 1942; maka semua Perguruan Tinggi dari Pemerintah Hindia Belanda ditutup.
Dua tahun sesudah tentara Jepang masuk di Indonesia, rnaka srkblah Techniek Tinggi di Bandung dibuka lagi pada tanggal 1 April 1944, dinamakan Koo G-yoo Dai Gakoo dengan bagiannya:
a. Civil, b. Kimia, c. Listrik dan Mesin.
Tetapi sesudah Jepang menyerah kepada sekutu, dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, maka para Mahasiswa pada tanggal 17 Agustus 1945 di Bandung melucuti guru-guru bangsa Jepang dan menahan mereka dirumahnya masing-masing. sejak itu urusan Sekolah Tinggi Techniek dipegang oleh bangsa Indonesia. Pimpinan dipegang oleh Prof. Ir. Roosseno dan dibantu oleh Ir Gunarso, Ir. Suwandi Notokusumo, Ir. Sunarjo dan Sutan Muchtar Abidin. Kuliah-kuliah diberikan terus, tetapi dibulan Oktober 1945 Inggris yang diboncengi tentara Belanda menyerbu Bandung, yang me¬nyebabkan suasana menjadi sangat hangat, bahkan didalam kota sudah banyak tembak¬menembak antara tentara kita dan tentara sekutu.
Mulai bulan Nopember 1945 kuliah dibubarkan, meskipun Kantor adminis-trasinya dibawah Sutan Mochtar Abidin dan Ir Sunarjo masih berjalan terus.
Pada tanggal 6 Januari 1946 kantor itu dipindahkan ke Jogjakarta atas pimpinan Prof. Ir. Roosseno, Ir. Sunarjo dan Ir. Suwandi Notokusumo. Mereka menghubungkan diri dengan Panitya pendirian Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada.
Pada suatu rapat dengan Panitya tersebut, tidak terdapat persesuaian faham, karena Panitya tersebut tetap bermaksud akan mendirikan Perguruan Tinggi Partikelir, sedang Prof. Ir. Roosscno cs. telah memperoleh perintah dari Kementerian Pendidikan Pengayaran dan Kebudayaan untuk membuka Sekolah Techniek Tinggi Negeri di Jogjakarta, yang dapat diselenggarakan dan dibuka mulai pada tanggal 17 Februari 1946 digedung S.M.A. Mula-mula pimpinannya dipegang oleh Prof. Ir. Roosseno, kemudian diganti oleh Prof. Ir. Wreksodiningrat pada tanggal 1 Maret 1947.
Mahasiswa yang dapat meninggalkan Bandung, dapat meneruskan pelajarannya di Jogjakarta dan dapat menempuh ujian insinyur untuk pertama kalinya dibulan Oktober 1946.
Karena penyerbuan Belanda pada 19 December 1948 Sekolah Techniek Tinggi di Jogjakarta ditutup. Didalam suasana yang menyedihkan dan membahajakan, alat-alat yang berharga sedikit-demi sedikit diselamatkan oleh Pemimpin dan Mahasiswa-mahasiswa.
Fakultit Farmasi, Fakultit Pertanian, Fakultit Kedokteran Gigi dan Fakultit Kedokteran Hewan.
Perguruan Tinggi di Klaten mcndjadi pendorong hasrat pembangunan dari beberapa jurusan jalah dari Kementerian Kesehatan untuk nrerrdirikan Fakultas Farmasi, dan dari Kementerian Kemakmuran untuk mendinikan Fakultas Pertanian di Klaten dan kedua-duanya dibuka pada 27 September 1946.
Didalam mendirikan Fakultas Pertanian dapat dicatat bahwa yang memberi spirit ialah Ir. Goenoeng Iskandar.
Karena hal Perguruan Tinggi bersangkutan dengan Kementerian lain-lain, maka diadakan rapat sebuah Panitya Perguruan Tinggi pada tanggal 20 Mei 1949 di pendopo Kepatihan Jogjakarta, dipimpin oleh dokter Sutopo yang dihadliri oleh Sri Sultan Hamengku Buwono, Prof. Prijono, Prof. Dr. Sardjito, Prof. In Wreksodiningrat, In Harjono, tuan Sugardo Wakil Kementerian P.P. dan K. dan Mr. Slamet Sutikno sebagai ahli keuangan. Panitia dapat menetapkan bahwa berhubung dengan akan dibentuknya Negara Federal Republik Indonesia, menyetujui adanya Perguruan Tinggi Federal, asal tidak mengurangi hak Negara Bagian untuk menyelenggarakan perguruan Tinggi sendiri, sebagai konsekwensi dari kembalinya Perguruan Tinggi.
Prof. Dr. M. Sardjito juga turut menyetujuinya, tetapi lebih dulu akan meninjau kembali kemungkinannya, karena Perguruan Tinggi yang dipimpinnya terletak diluar Daerah Republik yang telah dikembalikan, dan yang masih ada peperangan. Disamping itu untuk pegawai-pegawai dan alat-alatnya harus juga ada tempatnya. Sesudah beliau kembali ke Klaten untuk membicarakan kemungkinan-kemung¬kinan dengan para dosen dan para rrialiasiswa yang tempatnya berdekatan, maka pemindahan ke Jogjakarta dapat dilaksanakan.
Dalam soal mendapat gedung-gedung, atas kemurahan hati dan pertolongan Sri Sultan Hamengku Buwono dan kegiatan dokter Sutopo, kesulitan-kesulitan itu dapat lekas diatasinya. Meskipun cease-fire-order belum diperintahkan tetapi pekerjaan pemindahan Perguruan Tinggi yang ada di Klaten itu dapat dimulai.
Persiapan dapat berjalan baik, sehingga pada tanggal 1 Nopember 1949 komplek Perguruan Tinggi Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Farmasi, Per¬t anian, Kedokteran Hewan dapat dibuka resmi diKadipaten dihadliri juga oleh P.J.M. Presiden RIS. Ir. Sukarno, sedang pembukaan Fakultas Technik, Akademi Ilmu Politik dan fakultas-fakultas dari Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada dilangsungkan pada tanggal 2 Nopember 1949.
Selanjutnya Sekolah Tinggi Hukum Negeri di Solo, oleh Pemerintah juga dipindahkan ke Jogjakarta ditugaskan kepada Prof. Mr. Drs. Notonegoro, dan pem¬bukaannya di Jogjakarta dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan pada tanggal 3 Desember 1949.
Di waktu itu fakultas-fakultas masih dibawah Kementerian yang bersangkutan, melainkan fakultas Hukum dan fakultas Kesusasteraan yang masih ditangan yayasan tersebut diatas.
Untuk perkembangan selanjutnya dirasa lebih baik, bila fakultas-fakultas Negeri itu dipusatkan pada Kementerian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan dan fakultas¬fakultas dari „Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada" diserahkan kepada Pe¬merintah. Penyerahan ini dilangsungkan pada tanggal 7 Desember 1949, dan fakultas Hukum dipersatukan dengan Sekolah Tinggi Hukum Negeri.
Untuk memperktiat kedudukan Universitas, maka diadjukan juga dalam rapat Kabinet rencana Peraturan Pemerintah tentang U nivcrsitas 1legeri Gadjah Mada dengan tudjuan membentuk „Manusia Susila" yang „Cakap" dan „Warga Negara yang demokratis serta bertanggung Jawa b tentang Yesedjahteraan .ifasjarakat dan Tanah Air, berdasar¬atas azas-azas Panca-Sila dan kenyataan". Rencana ini disusun oleh Prof. Mr. Drs. Noto¬negoro dengan mengingat sepenuhnya resolusi-resolusi dan pembicaraan-pembicaraan pada konggres Pendidikan di Surakarta. Pembicaraan - pembicaraan yang khususmengenai Pendidikan dan Pengadjaran Tinggi Republik di Jogjakarta dan Jakarta , dan akhirnya keputusan-keputusan pada konperensi Antar-Indonesia di Jogiakarta. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1950, disjahkan pada tanggal 14 Agustus 1950, dan pada hari itu juga fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Farmasi dari Kementerian Kesehatan, fakultas-fakultas Pertanian dan Kedokteran Hewan dari Kementerian Pertanian diserahkan kepada Kementerian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan. Ini suatu hal, yang dulu oleh J.M. Mr. Ali Sastroamidjojo, sebagai Menteri P.P. dan K. senantiasa didesaknya.
Senat Universitas pada hari itu juga diperkuat dengan pengangkatan beberapa guru besar dan guru besar luar biasa, jalah Prof. Iso Reksohadiprodjo, Prof. Mr. Djojodiguno, Prof. Drs. Radiputro, Prof. Drs. Suparwi, Prof. Ir Sumarjo, Prof. Ir Purbodiningrat dan Prof. Dr. Haublt.
Dasar dan Tudjuan.
Universitas Negeri Gadjah Mada berdasar atas kenyataan dan kebenaran serta PancaSila. Dari sebab itu tidak mengherankan, bahwa Universitas Negeri Gadjah Mada mengandung tudjuan :
a. Mendidik Mahasiswanya menjadi orang susila, budiman, berpekerti, dan cakap untuk mengabdi kepada masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya.
b. Memperkembangkan Ilmu pengetahuan, yang juga memberi bahagia, seperti yang dikehendaki oleh Nusa dan Bangsa khususnya dan oleh dunia umumnya.
c. Ikut serta memperkembangkan hidup Kemasyarakatan dan Kebudajaan, dan juga mempertinggi budi luhur.
Mengenai perkembangan ilmu pengetahuan, meskipun Universitas kita masih muda, dan dosen-dosennya yang masih belum mencukupinya, yaitu dosen yang biasa 68 orang, diantaranya 24 orang guru besar, dosen yang luar biasa 87 orang, diantaranya 20 orang guru besar luar biasa, sangat sibuk dengan membangun bagiannya sendiri-sendiri, sedang alat-alat laboratorium, perpustakaan belum lengkap, toch didunia pengetahuan ada perhatian terhadap ilmu pengetahuan yang dijalan kan oleh Universitas Negeri Gadjah Mada.
Untuk agak memberi gambaran tentang hasil-hasil para Mahasiswa yang sudah lulus udjiannya, yang mempunyai effectus civilis, sampai tahun 1954 ini, jumlahnya seba¬gai berikut:
Dokter (Final Medical Exam, Part 11) . . . ....................... 7.
Drs. Ilmu Kedokteran (Final Medical Exam Part I) .................. 43.
Dokter gigi ...................................................... 4.
Drs. Ilmu Kedokteran gigi ........................................ 3.
Apotheker ...................................................... 2.
Drs. Ilmu Hukum (Mr.) .......................................... 35.
BaccalaureatIlmu Hukum .......................................... 38.
Drs. Ilmu Sosial dan Politik ........................................ 4.
Baccalaureat Ilmu Sosial dan Politik ................................ 7.
Drs. Ilmu Technik (Ir.) .......................................... 37.
Baccalaureat Ilmu Kimia .......................................... 19.
Drs. Ilmu Pertanian (Ir.) .......................................... 5.
Baccalaureat Ilmu Pertanian ...................................... 2.
Drs. Kedokteran Hewan .......................................... 3.
209.
Menurut Lembaran Negara R.I. No.-44./1955 tanggal 11-7-1955 „Universiteit Negeri Gadjah Mada" diganti nama dengan Universitas Gadjah Mada dan mulai diundang¬kan pada 21-7-1955.
Dharma Putra , asrama putra , yang terletak di Batjiro Yogyakarta
Asrama Ratnanijngsih ,asrama mahasiswa putri , yang terletak di Gondokusuman
Seminari Agung Yang Terletak Di Jl. Tjode Jogjakarta.
PENGARUH TIMBAL-BALIK; ANTARA UNIVERSITAS „GADJAH MADA" DAN MASYARAKAT '.
HIDUP kemasyarakatan dan kebudayaan bangsa Indonesia sedang mengalami perubahan dengan cepat, Revolusi kemerdekaan telah mematahkan belenggu pendjadjahan, yang sekian lama mengisoler bangsa Indonesia dari pergaulan dunia: Makin lama makin sempurnanya alat-alat lalu-lintas, yang irlendjadikan dunia¬ini semakin:kecil; mendjadinya Indonesia anggauta perserikatan barigsa-bangsa; trtakin lama makin banyaknya bentuk kerdja-sama Internasional dalam lapangan sosial,,ekonom'i dan politik; pula hasrat yang hidup dari pada bangsa Indonesia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosiai; hal-hal itu menempatkan bangsa Indonesia ditengah-tengah pergaulan Internasional. Faham-faham Asing dan Kebudajaan-kebudajaan Asing menemukan di Indonesia pintu yang terbuka lebar. Disebabkan oleh kecenderungan untuk meniru, dan juga oleh keinginan menempati kedudukan yang sede Rajat dengan bangsa-bangsa lain yang dipandang lebih maju, faham-faham dan kebudajaan asing itu sering diterima mentah¬mentah tanpa disaring lebih dahulu; akibatnya menimbulkan reperkusi berupa masa'alah-masa'alah sosial.
Kecuali faham-faham dan kebudajaan-kebudajaan asing itu ada pula hal-hal lain yang menimbulkan masa'alah-masa'alah sosial. Misalnya: hukum yang diwaris dari zaman kolonial, yang tidak sesuai lagi dengan keadaan-keadaan baru dari Indonesia Merdeka; permulaan industrialisasi daripada Negara yang sifatnya agraris; asas demokrasi dan asas keadilan sosial daripada republik Indonesia, yang menciptakan kemungkinan¬kemungkinan bagi terwudjudnya "General aquality of conditions", dan yang memberikan suatu dinamika yang belum pernah dikenal oleh suatu masyarakat agraris yang semula bersifat statis-kolonial; suatu dinamika yang melemahkan nilai-nilai yang sebelumnya oleh bangsa Indonesia dipegang erat-erat.
Masa'alah-masa'alah sosial itulah yang dihadapi oleh Universitas Gadjah Mada, Balai nasional ilmu pengetahuan dan kebudajaan ini berkedudukan di Jogjakarta. Proses pertumbuhan Universitas Gadjah Mada mulai pada permuiaan revolusi nasional; maka dari itu dapat dikatakan, bahwa Universitas ini lahir dalam kancah revolusi dan merupakan buah dan alat dari pada revolusi. Berhubung dengan itu ada harapan yang kuat dari masyarakat tertudju kepada Lniversitas Gadjah Mada, supaya Universitas tidak saja mengikuti jalan nya revolusi nasional yang belum selesai itu, tetapi juga mengarahkan pimpinan revolusi dan ikut memikul tanggung Jawa b atas segala konsekwensi dari pada revolusi itu.
Asal mula dari pada Universitas Gadjah Mada mempengaruhi corak dari pada Universitas; dan dalam pertumbuhan Universitas antara masyarakat dan universitas ada pengaruh timbal-balik, pengaruh mana akan semakin lebih nyata semakin Uni¬versitas lebih dapat menunaikan salah satu tugas menurut statusya, yaitu : menyelenggarakan usaha membangun, memelihara dan mengembangkan hidup kemasyarakatan dan kebudajaan.
Universitas Gadjah Mada masih -muda dam masih sangat menderita kekurangan perihal perlengkapan, baik intelektuil maupun materieel. Oleh karena itu djasa dan pengaruhnya kepada masyarakat belum :dapat se.besar yang diharapkan daripadanya. Sungguhpun begitu pengaruh Universitas itu sudah kentara dan sebaliknya pengaruh dari masyarakat kepada Universitas nampak juga , terutama masyarakat Jogjakarta. Dibawah ini dikemukakan sekedar contoh tentang pengaruh itu dalam lapangan sosial, kebudajaan, ekonomi dan politik.
Pengaruh dalam lapangan Sosial.
NAMA Universitas Gadjah Mada terkenal diseluruh wilayah Indonesia. Berakarnya dalam revolusi kemerdekaan dan kedudukannya di Jogjakarta, yang mendjadi. Ibu-kota Republik Indonesia dalam fase revolusi bersenjata, merupakan daja suatu penarik terutama bagi pemuda-pemuda luar Jawa . Daja penarik itu disebabkan juga oleh namanya yaitu : „Gadjah Mada", yang oleh bangsa Indonesia dipandang sebagai seorang pahlawan besar.
Oleh karena itu tidak mengherankan kalau sekolah di Universitas Gadjah Mada itu merupakan cita-cita daripada banyak sekali pemuda yang masih duduk di sekolah menengah (atas), juga yang baru duduk di sekolah rakyat. Pada waktu sekarang jumlah Mahasiswa yang belajar pada Universitas ini sudah melebihi 8.000 orang.
Untuk sebagaian terbesar datang dari daerah luar Jogjakarta, bahkan tidak sedikit yang berasal dari luar Jawa .
Kurang lebih separo dari jumlah itu belajar pada fakultas-fakultas Sosial, yaitu fakultas Hukum, Fakulta's Ekonomi, Fakultas Sosial dan Politik. Keadaan yang demikian itu dipandang kurang baik untuk pembangunan masyarakat dalam segala lapangan.
Hingga kini Pemerintah masih kekurangan tenaga Guru untuk memenuhi ke¬hausan masyarakat akan pengadjaran pada sekolah menengah, berhubung dengan itu banyak Mahaisswa yang sambil belajar bekerja sebagai Guru pada sekolah-sekolah menengah, sebagaian untuk mengabdi kepada masyarakat tetapi kebanyakan untuk sekedar mendapat atau menambah nafkah. Di Jogjakarta ada puluhan sekolah menengah pertama dan sekolah manengah atas. Murid-murid yang puluhan ribu banyaknya dari sekolah-sekolah menengah atas itu untuk sebagaian be sar berasal dari luar daerah Jogjakarta, juga dari luar Jawa . Mereka bersekolah di Jogjakarta dari sebab berkat adanya Universitas - taraf pengadjaran pada sekolah-sekolah menengah di Jogjakarta pada umumnya lebih tinggi daripada pada sekolah-sekolah Menengah di Kota-kota lain; juga dari sebab keinginan untuk telah mendapatkan tempat pemondokan guna kelak melandjutkan pelajaran pada Universitas. '
Disamping itu ta' boleh dilupakan adanya Mahasis,,va-mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang atas usaha dari Pemerintah untuk beberapa tahun menghentikan pelajaran mereka untuk menjadi guru di daerah-daerah luar Jawa , yang masih menderita kekurangan sekolah menengah atas.
Dari sebab mereka itu masih mahasiswa, maka yang banyak dapat diselenggarakan itu adalah sekolah-sekolah menengah yang bersifat umum. tidak bersifat „Vak". Akibat¬nya jalah kelebihan produksi daripada lulusan sekolah menengah dan sekolah menengah atas, yang dapat melandjutkan pelajaran pada sekolah yang lebih tinggi, dan belum dapat bekerja dalam lapangan vak, yang sangat diperlukan untuk pembangunan masyarakat dan negara.
Banyak sekali mahasiswa yang hidup dikampung; ada pula yang terpaksa harus mondok didesa. Disitu mereka sebagai seorang yang terpelajar menjadi suluh bagi rakyat biasa tentang hal-ichwal kemasyarakatan dan pemerintahan; dengan ini mereka ikut membangkitkan minat rakyat untuk belajar pula meninggikan kecerdasannya. Juga ceramah-ceramah yang kadang-kadang mereka adakan di desa-desa dan madjalah¬madjalah yang mereka terbitkan serta tulisan-tulisan yang mereka sumbangkan kepada harian-harian membantu usaha pendidikan masyarakat. Sejumlah madjalah-madjalah dan tiga surat kabar dapat langsung hidup di Jogjakarta; jumlah toko-toko buku dan perpustakaan lebih banyak daripada sebelum perang dunia ke II; hal-hal ini untuk sebagaian disebabkan oleh adanya ribuan pelajar dan mahasiswa, yang semuanya mem¬butuhkan bahan-bahan bacaan dan pelajaran.
Dari fihak Universitas sendiri juga diusahakan penambahan pengetahuan rakyat = dan juga untuk mempererat hubungan Universitas dengan masyarakat - dengan tiap-tiap bulan sekali menyelenggarakan malam ceramah yang terbuka untuk umum, dan dengan mengadakan kursus bagi guru-guru pada masa liburan untuk menambah kecakapan mereka. , Dalam usaha mempererat hubungan antara Universitas dengan masyarakat itu harus disebut juga Persatuan Wanita keluarga Universitas Gadjah Mada. Kecuali menggabungkan diri pada Permusjawaratan Organisasi-organisasi Wanita Jogja, Per¬satuan Wanita Universitas Gadjah Mada juga ikut serta melakukan pekerdjaan¬pekerdjaan Sosial. sejak berdirinya persatuan itu yang diterima mendjadi. anggauta Persatuan selain istri dosen, istri mahasiswa dan istri pegawai Universitas juga wanita¬wanita lain yang mempunyai minat kepada usaha-usaha Universitas. Dari sebab yang diutamakan oleh Persatuan Wanita keluarga Universitas Gadjah Mada itu usaha menyampingi suami dalam pekerdjaannya dalam lingkungan Universitas, dan karena hingga kini yang menjadi anggauta itu secara kebetulan kebanyakan Wanita dari golongan atas dan terpelajar, maka timbullah dalam masyarakat salah faham dengan memandang persatuan ini suatu perkumpulan elite.
Di Jogjakarta ada beberapa rumah sakit yang diselenggarakan oleh Universitas. Universitas dengan tenaga-tenaganya ahli serta mahasiswa-mahasiswanya memberikan pertolongan yang tidak ternilai kepada masyarakat di Jogjakarta dan sekitarnya dalam lapangan kesehatan. Pengobatan dan pertolongan kepada orang-orang sakit hampir dengan cuma-cuma tidak sedikit meninggikan kesehatan rakyat. Dalam hubungan ini ta' boleh dilupakan djenis-djenis padi bermutu tinggi yang dihasilkan oleh Universitas dan yang dengan tidak kentara ikut meninggikan kesehatan rakyat dan menambah kesedjahteraan masyarakat.
Pengaruh dalam lapangan Kebudajaan.
JOGJAKARTA sejak dahulu rnerupakan salah satu pusat kebudajaan. Dengan adanya Universitas banyak sekali pelajar dan mahasiswa yang mempelajari seni-tari, seni-gamelan, seni-musik dan seni-seni lainnya; dimana-mana timbul perkumpulan¬perkumpulan kesenian yang menumbuhkan fikiran-fikiran dan ciptaan-ciptaan baru. Berhubung dengan adanya banyak mahasiswa yang berasal dari luar Daerah dan yang masing-masing membawa kesenian-kesenian Daerah, maka Jogjakarta mendapat ke¬sempatan untuk menjadi tempat tukar-menukar dan pengaruh-mempengaruhi antara kesenian-kesenian Daerah dan dengan begitu menciptakan kesenian-kesenian nasional. Akhir-akhir ini rombongan-rombongan mahasiswa telah melawat kelain daerah untuk mempertundjukkan hasil usaha kesenian mereka.
Sebagai orang-orang terpelajar mahasiswa lebih mengetahui kebudajaan¬kebudajaan asing daripada rakyat biasa.
Usaha orang-orang diantara mereka untuk mengoper unsur-unsur kebudajaan asing (misalnya: perploncoan, dansah dan "beautycontest") tanpa memperhatikan faktor-faktor sosial-psychologis ada kalanya menimbulkan reaksi dari masyarakat Jogja¬karta.
Pengaruh dalam lapangan Ekonomi.
ADANYA Universitas yang mengeluarkan sejumlah besar uang untuk penyeleng¬garaannya dan adanya ribuan pelajar serta mahasiswa yang berasal dari luar daerah Jogjakarta, dan yang masing-masing mendatangkan uang untuk membeajai keperluan hidup mereka sehari-hari merupakan tambahan mata-pencaharian bagi penduduk Jogjakarta. Sebaliknya dengan tambahnya jumlah konsumen itu barang-barang kon¬sumen di Kota Jogjakarta pada umumnya menjadi agak lebih mahal kalau diban¬dingkan dengan di Kota-kota lain yang berdekatan.
Pengaruh dalam lapangan Politik.
DENGAN adanya Universitas Jogjakarta merupakan tempat pertemuan bagi ribuan pemuda dan pemudi dari pelbagai suku bangsa. Pergaulan dalam Universitas, dalam asrama, dalam perkumpulan-perkumpulan mahasiswa, dalam macam-macam hiburan dan olah-raga, serta perkawinan antar-suku merupakan faktor-faktor yang penting dalam memperkuat persatuan bangsa.
Jogjakarta yang menjalan kan peranan amat penting dalam revolusi, Universitas Gadjah Mada dengan mahasiswanya yang nanti akan menjadi pemimpin-pemimpin dalam masyarakat dan pemerintahan, merupakan suatu sumber potensi politik yang ta' dapat diabaikan. Maka dari itu tidak akan mengherankan kalau party-party politik mencoba meluaskan pengaruhnya dikalangan mahasiswa; tidak mengherankan pula, andaikata potensi yang berpusat pada Universitas tidak selaras dengan tudjuan sesuatu kekuatan politik dari luar, maka kekuatan politik ini menghambat perkembangan Universitas.
Sungguhpun dalam kalangan mahasiswa ada penggolongan-penggolongan yang menceraikan macam-macam aliran politik, kehidupan politik para mahasiswa bersifat tenang, berkat suasana kepartaian di Jogjakarta, dimana party-party hingga kini lebih mengutamakan kerukunan daripada peruncingan pertentangan; pula berkat terasanya ada „Gezag" dari Pemerintah di Daerah ini, yang terkenal sebagai daerah aman. Teranglah, bahwa hubungan dan pengaruh timbal-balik antara Universitas Gadjah Mada dan masyarakat - terutama masyarakat Jogjakarta - ada. Hubungan itu akan lebih erat lagi kalau L?niversitas, dengan tenaga-tenaganya pengadjar, tenaga¬tenaganya „research" dan mahas_iswa-mahasiswanya lebih memperhatikan soal-soal kemasyarakatan dan Pemerintahan dan lebih aktip dari pada serta ikut serta mencoba memberikan penyelesaian kepada masalah-masalah itu, yang semakin lama semakin terasa. Betul pada waktu sekarang sudah ada titik-titik pertemuan dan saling membantu
arltara instansi-instansi Pemerintahan dan organisasi=organisasi sosial disatu fihak dan Universitas dilain fihak; betul sudah diadakan pelbagai „research" misalnya dalam lapangan agraria, pertanian, pembangunan desa, ekonomi desa, hukum adat d.l.l.: akan tetapi titik-titik pertemuan itu dapat diperbesar dan ,research" tadi dapat di¬perluas dan diperhebat; sehingga hubungan antara Universitas Gadjah Mada dan rakyat tetap terpelihara, bahkan dipererat.
Memang, pekerjaan yang besar dan mulia yang diharapkan dari Universitas Gadjah Mada, suatu Universitas yang bermasyarakat. Dalam amanatnya Wakil Presiden Hatta berpesan, bahwa dalam pertumbuhan masyarakat kita sekarang dimana masyarakat kita tumbuh dalam segala lapangan penghidupan sosial dan kebudajaan, orang-orang tidak saja berkehendak agar Universitas-universitas memperhatikan masalahnya secara dalam-dalam, tetapi juga masyarakat mengharapkan agar Universitas dapat juga memberikan pimpinan dan petundjuk.
Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan Sarina Mangunpranoto, selain menyatakan ke kawatir annya akan kemungkinan hilangnya sifat kepribadian bangsa kita berhubung dengan pengaruh kebudajaan asing, yang semakin lama semakin kuat, mengemukakan juga bahwa Universitas harus sudah dapat membajang-bajang¬kan bagaimana gerangan pertumbuhan generasi kita yang akan datang. Universitas harus merupakan sumber inspirasi bagi hidup kebudajaan nasional.
Memang masuknya dan pengaruhnya kebudajaan-kebudajaan asing merupakan tentangan ("challenge") yang kuat bagi kita. Letak geografis daripada Daerah Jogjakarta, tradisi kebudajaan yang masih tebal daripada daerah ini; pula penduduknya jarig homogeen, memberikan kesempatan yang baik sekali bagi Universitas Gadjah Mada untuk menyiapkan Jawa ban ("Responsa") yang tepat bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Universitas Gadjah Mada sanggup memikul beban yang berat dan mulia ini; dan Universitas jakin akan dapat menunaikan tugas itu sebagaimana diharapkan. Berhubung dengan itu Universitas mengharapkan agar diberi perlengkapan yang cukup, baik yang berupa tenaga intelek maupun yang bersifat materieel.
RIWAYAT PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN DAERAH JOGJ AKARTA.
(dihimpun dan disusun oleh: S. H. Koesoemo).
BAB I. UMUM
MOTTO
Kawignyane wong Agung puniki, pan sadasa warna tan bisa, nista kuciwa¬dadine, dihin karem ing ngelmu, kaping kalih bisa angadji, ping tiga bisa nca ja, ping sekawanipun, kudu alul anenurat, kaping lima wignyaa nitih turanggi, ping neme bisa beksa.
Ping pitune kudu zeruh ing gending, kaping wolu apan kudu bisa, ternbung kawi tembang gede, ping sanga bisa iku, olah juda gelaring djurit, wignya angadu bala, ping sedasanipun, limpat pasanging graita, wruh sasmita traping sila krama niti, wruh saniskaring basa.
SETIAP BANGSA dimuka bumi ini baik yang telah tinggi peradabannya, maupun yang masih sangat sederhana, tentu mempunyai kebudajaan sebagai buah hatsil ucapan jiwa nya masing-masing yang dipancarkan . serta tergelar menjadi kekajaan lahir/batin.
Sejarah kebudajaan beserta perkembangannya, tidak dapat dipisahkan dari pada jalan nya sejarah Daerah dimana bangsa atau suku bangsa itu hidup dan berada. Daerah Jogjakarta-Hadiningrat dan seputarannya dilahirkan sedari tercapainya perdamaian antara Susuhunan Paku Buwono III dan Pangeran Arjo Mangkubumi yang berlangsung pada tanggal 13 Februari 1755 didesa Gianti daerah Karanganyar Surakarta.
Pelantikan Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Jogjakarta jatuh pada tanggal 11 Oktober 1755 dan bergelar Kandjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Ngalogo Ngabdurachman Sajidin Panotogomo Kalifatullah.
Dengan terbaginya kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Jogjakarta buah hatsil perundingan perdamaian dan didjadikan pedoman dalam Perjanjian Gianti, rnaka dengan sendirinya timbullah masa suasana baru, hidup baru, aliran baru, corak ragam baru, pula dalam alam kebudajaan/Kesenian di kerajaan Mataram dan Jogjakarta khususnya. Seperti sepand yang sejarah yang kita kadji maka senantiasa terbukti terang bahwa sebagai sumber wa0ah, pusat Kebudajaan/Kesenian didalam dinding Keraton dimana ratu ber tahta .
Pada. umumnya semasa tahun 1755 sampai dengan tahun 1830 maka orang kurang sekali melapangkan kesempatan untuk mencurahkan perhatiannya atas tumbuh-timbulnya Kebudajaan/Kesenian peninggalan leluhurnya. Apabila pada tempat pusat Kebudajaan begitu halnya, maka dapatlah kita gambarkan bagaimana keadaan daerah¬wilayah mancanegara yang jauh dari pada Keraton itu. Hal tersebut diatas itu dapat mudah dimengerti, karena pada dewasa itu sumbu wadah kebudajaan tadi masih men¬derita dan menghadapi bermacam-macam kesukaran serta kesulitan antara lain seperti kraman-kraman R. M. Guntur alias Pangeran Surjodikusuma bersama-sama R. Su¬diraputra Pangeran Ngabehi Warih Kusumo di Gunung Kidul, Ki Secojudo alias Panembahan Kowak di Kedu, R. Suwardjo ipar Ki Tumenggung Mertolojo dan se¬bagainya.
Jadi kalau kita sekalian boleh mengambil kesimpulan, maka kurang lebih dalam masa 75 tahun itu pertumbuhan kebudajaan/kesenian baru belum tampak terang-temerang, tambahan pula kurang tersiarnya catatan-catatan serta kesusasteraan¬-kesusasteraan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Sedari tahun 1830 maka daerah wilayah manca negara terus langsung diperintah oleh Pemerintah Pendjadjahan. Baru sedari dewasa ber tahta nya Sri Sultan Hamengku Buwono ke V tampaklah buah seni Budaja Jogjakarta-Hadiningrat teratur rapi sampai hari sekarang.
Didalam kitab babad Gianti ciptaan Kjai Ngab~hi Jasadipura I pudjangga Keraton Surakarta, maka diceriterakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh Pang6ran Mangkubumi semasa muda mirip benar jejak-jejak Panembahan Sena¬pati seperti yang dilontarkan dalam sebuah Sjair Sinom dari Kitab Wedatama yang berbunyi :
Nulada laku utama,
Tumrape wong tanafc Djazei, Wong Agung ing Ng~ksi-gondo, Penembahan Senapati,
Kapati amarsudi, Sudane hawa Ian nepsu, Pinesu tapa brata, Tanapi ing si yang ratri, Amemangun karjenak tyasing sesama.
Pangeran Mangkubumi gemar berulah tapa-brata. Lama beliau saban malam merendam diri disungai Pepe dan menghanyutkan diri kehilir. Sekira sudah waktu subuh, maka tibalah beliau didesa Sampangan sebelah Timur kota Surakarta. Beliau suka sekali berguru ilmu kepada para alim-ulama, kjai, pendeta, pertapa dan sebagainya. Oleh kawan dan lawannya beliau diakui sebagai seorang ksatria yang djudjur, cerdik cerdas, mahir berbicara, pemberani kalau mempunyai hasrat sukar dipatahkan, tasuka meng¬ingkari djandji, kadang-kadang keras kepala.
Disamping sifat-sifat yang baik itu, beliau amat lemah terhadap putera-puteranya istimewa terhadap Putera Mahkota, Pangeran Adipati Anom. Oleh karena itu maka pada hajatnya semasa beliau telah landjut usianya banyak menderita pedih-pedih dari akibat pekerti putera-puteranya yang sangat dicintai itu.
Didalam serat Wicarakeras karangan Kjai Ngabehi Jasadipura II atau R. I. Sastranegara, putera Kjai Jasadipura I, Pudjangga pula Keraton Surakarta, maka Pangeran Mangkubumi digambarkan seperti berikut:
Mung r.oanine pada bangsa,
Den rezvangi taker pati, .
. Jamak zeong ngaku prawira, Kaja Sultan Mangkubumi, Nyata lamun undagi,
Awezveka golak-ga,tuk,
Micara tan sikara, Pasaja nalare mintir,
Lamun aprang pada bangsa datan arsa.
Pekerjaan yang sangat disenangi oleh Pangeran Mangkubumi ialah terutama yayasan yayasan seperti membuat bangunan-bangunan, rumah-rumah, tempat-tempat pemandian dengan saluran-salurannya air, gapura-gapura dan sebagainya. Apabila ada sebuah bangunan ciptaannya sudah selesai, walaupun terlalu elok, akan tetapi kalau beliau belum merasa puas, maka disuruhnya merombak dan membuat lagi yang bagus.
Semasa masih bernama Pangeran Mangkubumi maka beliau ditugaskan oleh Sri Susuhunan sebagai arsitek untuk mengatur serta mendirikan Keraton baru, pindahan dari Kartasura ke Surakarta (Nir sat obahing rat = 1670, Masehi) atau pada tahun 1742. .
Pada kala pembangunan Keraton belum selesai, maka Sri Sultan setiap hari berkenan dari Gamping pasanggrahan Gunung Tlaga (Ngambar Ketawang) pergi ke Beringan untuk mengawasi serta meneliti pembukaan hutan calon Ibukota itu. Menurut ramalan dari leluhur Kjai Mangundjaja, maka belukar itu akan menjadi Kota yang mashur, karena disitu telah terlihat adanya Kota kekodjor (Kota dilingkari dengan dinding tebal).
Hutan Beringan mulai dibuka pada hari Djum'at 2 Redjeb tahun Wawu 1681 atau tanggal 2 April 1756 dan selesainya pembangunan Keraton pada tahun 1682 (Loro naga rasa tunggal) atau tahun 1757 Masehi. Pada tahun 1767 Siti Hinggil Lor baru selesai, pun pula pembangunan Prabajeksa baru selesai pada tahun 1769.
Daerah hutan Beringan dimana telah terdapat sebuah dukuh Pacetokan ini sebenarnya bagi Sri Sultan Hamengku Buwono I bukan barang baru, karena beliau pada tahun 1747 dan 1749 pernah berdiam disini serta memproklamirkan sebagai Susuhunan di Mataram.
Didalam kitab babad Gianti diceriterakan bahwa Susuhunan Mangkurat memiliki sebuah pasanggrahan dihutan Beringan ini yang diberi nama Gardjita«-ati dan kemudian oleh Susuhunan Paku Buwono II diganti Ajogya. Pada tahun 1751 maka pasanggrahan ini dibongkar oleh Major Feber.
Oleh karena sekalian Lodji (Beteng) pada waktu dibuat dari bahan-bahan glugu, maka Sri Sultan berkenan membuat dari batu. Beliau sendiri berkenan mengawasi pekerdjaan itu. Setelah selesai, maka yang disebelah barat diberi nama ;,Djaja-.+-icesa" sebelah Timur diberi nama „Djajaprajitna" dan yang sebelah Selatan ,,Djajaprako¬swaningprang".
Apabila menurut surat pengaduannya Tuan Siberg tertanggal 18 September 1787 bahwa pembangunan sebuah Lodji di Jogjakarta berjalan seret dan belum selesai maka dapatlah digambarkan bagaimana udjud dan bentuk Keraton sew-adjarnya pada waktu itu.
Kalau tadi telah diketengahkan bahwa perhatian orang atas perkembangan kebudajaan/kesenian kurang sekali itu, tidak berarti sama sekali tutup pintu, ialah terbukti terdapatnya berita-berita yang bertalian dengan pemeliharaan kesenian di¬dalam Keraton, Sri Sultan telah mengadakan sajembara, barang siapa dapat menangkap Pangeran Mangkunagoro akan mendapat hadiah yang berupa lungguh 1000 karjo serta tudjuh orang bedaja. Disini dapat, dilihat bahwa didalam Keraton sudah ada pembinaan bedaja. Konon dituturkan bahwa pada waktu itu Sri Sultan Hamengku Buwono I berhubung dengan pembinaan kawibawan Keratonnya memohon kepada Ingkang Sinuhun Paku Buwono III untuk diberi beberapa orang ahli tari menari serta ahli tatah-sungging. Sekali peristiwa Pangeran Adipati Anom datang berkundjung ke Surakarta. Kedatangannya itu disambut dengan sangat meriah.
Untuk meriahkan penyambutan itu maka diselenggarakan suatu tarian tayub. Sungguh sangat mengecewakan diwaktu itu karena Sang Pangeran belum bisa menari, sehingga hampir timbul perselisihan yang tidak diharap-harapkan.
Pernah juga terjadi perebutan antara Pangeran Adipati Anom dengan Pa¬ngeran Mangkunagoromengenai pemain-pemain wayang-orang yang berakibat tidak menggembirakan.
Pangeran Adipati Anom membentuk suatu corps pradjurit cavalerie yang terdiri atas wanita-wanita yang diambil dari Rakyat dengan paksa. Tentu saja hal sedemikian ini menimbulkan suasana tegang. Pada suatu ketika Pangeran Adipati Anom mendapat amarah dari Ayahanda Sri Sultan dan harus datang menghadap Raja. Tetapi ia tidak sedia datang dan pura-pura sakit.
Kebalikannya dipendapa diadakan ujon-ujon semalam suntuk tanpa meng¬indahkan sabda Baginda. Dalam lapangan kesusasteraan dan Nitip Raja (politik) maka nama-nama yang dapat dicatat ialah: Carik Sindusastra, Setrawigena, Pangeran Natakusuma, Pangeran Dipanegara, Tumenggung Natajuda, dan Patih Danuredja.
Beberapa orang Bupati serta Pangeran ada yang tidak suka terhadap budi pekerti Pangeran Adipati Anom, akan tetapi mereka itu takut. Oleh karena itu maka apabila mereka itudatang pada suatu pertundjukan wayang-orang atau bedaja yang diselenggarakan oleh Pangeran Adipati Anom itu, hanya karena menghormat kepada Sri Sultan. Pada suatu waktu ketika Pangeran Natakusuma terhindar dari suatu perbuatan fitnah, maka untuk menghibur diri beliau mengadakan ujon-ujon seketika itu juga sewaktu sidurhaka dapat dibekuk batang lehernya.
Sri Sultan Hamengku Buwono I berkenan pada suatu ketika membentuk sebuah rombongan wayang-orang yang disusun dan diatur serapi-rapinya.
Setelah diadakan latihan-latihan yang sangat bagus serta dipandang sudah tidak mengecewakan, maka beliau bermaksud mengirimkan rombongan wayang-orang tersebut ke Surakarta.
Dengan jalan ini beliau mencoba mempererat lagi rasa tali kekeluargaan antara Jogjakarta dan Surakarta. Sri Susuhunan sudah diberitahukan tentang keda¬tangan rombongan wayang-orang tersebut dan beliau sangat setudju. Rombongan tersebut disambut dengan ramah-tamahnya dan diperkenankan bermain semalam.. Sri Sultan Hamengku Buwono II banyak menghabiskan uang untuk mendirikan pesanggrahan-pesanggrahan Rajawinangun, Rajakusuma, Purworedjo, Mawarredjo, Wanacatur, Tandjung Tirto, Laksonegara, Krapjak, Melati, Ambar Ketawang, Pelem Sewu, Bantul Karang Eng kepek, Kanigara, Banyutumumpang, Eng telaga Sana Sewu, dan Kuwarasan.
Sultan Hamengku Buwono wafat pada tanggal 24 Maret 1,792 atau malam Akad Kliwon 1 Ruwah Dje 1718.
Untuk menyongsong Hari penobatannya sebagai Sultan maka oleh Adipati Anom diperintahkan kepada segenap putera sentana serta para Bupati dipendapanya masing¬masing diadakan latihan-latihan tari-tarian dan_ sebagainya. Tak lupa latih-latihan pradjurit istrinya.
Pada tanggal 2 April 1792 sehari sesudah dinobatkan maka Sri Sultan Hamengku Buwono II menerima kedatangan Gubernur Semarang di $angsal Srimanganti dimana dipertundjukkan bedaja dari Serimpi.
Didalam Seni suara gamelan maka dihaturkan bahwa usaha menambah serta melengkapi jumlahnya gamelan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, II, V dan VII. Begitu juga G. P. H. Surjoputro K. P. N. Cokrodiningrat (B. K. P. A. A. Danuredjo) serta R. M. Djajadipura. Sungguh besar djasanya dalam usaha-usaha menyempurnakan gamelan ragam Jogjakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII membuat gamelan ragam baru semasa masih Pangeran Adipati Anom.
Sri Sultan Hamengku Buwono II setelah dinobatkan menjadi Raja membuat tari-tarian bedaja Semang yang semirip dengan bedaja Ketawang pusaka Keraton Sura¬karta. Pun pula dapat dicatat ciptaan tari-tarian yang disebut beksa Trunadjaja. Begitu juga tentang adanya beksa Eteng yang digerakkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V dan banyak lagi yang akan diuraikan disini.
Pada tahun 1885 maka di Jogjakarta telah berdiri sebuah badan yang disebut Archaeologische Vereniging yang usahanya selaras dengan Java Instituut dengan catatan sangat terbatas.
Badan tersebut bertudjuan mengumpulkan bahan-bahan yang penting bagi penyelidikan sejarah seperti benda-benda peninggalan zaman bahari, bahan-bahan lainnya yang perlu bagi pengetahuan tentang Negara, dan bangsa disekitar daerah kerajaan (Vorstenlanden).
Benda-benda yang telah terkumpul itu disimpan dipelihara disebuah bangunan darurat dihalaman kediaman Residen. Niat atau pikiran untuk mendirikan museum di kota Jogjakarta pada waktu itu sudah ada, tetapi oleh karena bermacam-macam ragam kesukaran maka niat yang baik itu tak dapat dilaksanakan, bahkan badan yang sudah berdiri tadi menjadi bubar berantakan.
Pada hari Rebo tanggal 6 Nopember,1935 djadi tepat 50 tahun sedari berdirinya Archaeologische Museum, maka di Jogjakarta diresmikan pembukaan Museum Sana Budaja milik Java Instituut oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Keputusan untuk mendirikan sebuah museum di Jogjakarta ini sebenarnya sudah pada tahun 1924 pada sidang Konggres Java Instituut, pula didorong gerakan oleh pameran bangun-bangunan rumah Jawa serta susunan rumah tangga yang diselenggara,¬kan untuk meriahkan konggres tersebut.
Sabda Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada meresmikan pembukaan Museum Sana Budaja tersebut seperti dibawah ini:
„Tuan Voorzitter, tuan-tuan Gestuur dari Java Instituut dan dari Sana Sudaja. Saya merasa senang sekali, saja mempunyai hati yang ini hari saja dapat berhadlir untuk membuka Museum ini dengan officieel.
Sebab saya percaya, bahwa Museum ini tidak sedikit artinya bagi kemajuan kultur Bumi Putera, lebih-lebih untuk kesenian dan bacaan buku-buku.
Oleh karena itu sudah sepantasnya, Museum ini dapat bantuan dari mana-mana. Tuan Voorzitter, tadi tuan menyerahkan kepada saja Beschermheerschap dari Museum ini. Maka penyerahan itu saja terima dengan segala senang hati.
Begitu juga dari sebab hari membukanya Museum ini kebetulan hari kelahiran saja Rebo-Wage, tuan-tuan Bestuur memberi selamat kepada saja, maka ini saja meng¬ucap banyak-banyak terima kasih atas pemberian selamat dari Tuan-tuan itu.
Kemudian saja pudjikan, mudah-mudahan Museum ini akan hidup subur dan dapat tercapai apa yang dimaksudkan, sehingga buahnya akan menambah kemajuan Negeri dan penduduknya.
Nyonya-nyonya dan tuan-tuan, atas permintaannya tuan-tuan Bestuur dari Java Instituut supaya saja membuka Museum ini, maka permintaan itu saja kabulkan dengan segala senang hati dan sekarang saja menyatakan, bahwa Museum ini saja buka."
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII besar sekali mina"t perhatiannya atas per¬kembangan serta kemajuan kebudajaan diwilayahnya. Oleh karena itu maka tidak sedikit sumbangan-sumbangan serta sokongan-sokongan yang beliau berikan kepada badan-badan yang bertudjuan membina dan memaju kan buah seni-budaja bangsa seperti kepada Sana-Budaja, Krida-Beksa Wirama, Habiranda dan sebagainya. Disamping pemeliharaan Museum makaSana Budaja membuka pula suatu sekolahan Seni-keradjinan (Kunstambachtschool) beserta asrama sekali pada tahun 1939. Sekolah tersebut bermaksud untuk mendidik serta menyempurnakan keahlian orang-orang dewasa yang telah bekerja sesuatu kejurusan dari Jawa, Madura dan Bali. Pelajaran-pelajarannya diutamakan pekerdjaan praktis sehingga dengan demikian pertukangan akan makin maju dalam segala segi-seginya ekonomi, seni dan tekniknya. Lama kursus ialah 2 tahun dan untuk sementara waktu baru meliputi pertukangan emas dan perak serta kaju.
Pun pula di Kota Gede telah terdapat sebuah sekolah Menggambar (Teeken¬school) akan tetapi sa yang sekali, bahwa dalam putusan sidang pengurus „Pakarjan Ngajogjakarta" pada tanggal 11 Oktober 1934 untuk sementara waktu terpaksa ditutup.
Kalau tadi telah diketengahkan sepintas lintas tentang perkembangan kebuda¬jaanlkesenian sekitar lingkaran dalam dinding Keraton, maka disini secara umum akan dikemukakan perkembangannya diluarnya sampai dipelosok-pelosok.
Umumnya sampai sekarang seni budaja rakyat masih sederhana. Berkat terbang¬kitnya kesedaran rasa kebangsaan,maka disana-sini tumbuh timbullah beberapa badan¬badan kebudajaan/kesenian yang bertudjuan akan membina, memelihara, memupuk serta memaju kan kebudajaan peninggalan leluhur selaras dengan alam dan zamannya. Pada tahun 1908 sebuah Badan yang disebut „Her-mani" telah didirikan oleh R. M. Djajadipura bersama-sama R. M. Prawiradipura, R. L. Prawiraatmodjo dan Lie Djeng Kiem yang bertudjuan membina dan memaju kan kesenian dan seni keradjinan. Pada tahun 1919 Badan tersebut berganti nama „Mardi Guna" dan pada tahun 1926 disamping pemeliharaan kerawitan maka dicantumkan pula pelajaran
tari-menari. Pameran pertama yang berupa wayang orang berlangsung pada tahun 1930. Usaha-usaha untuk mempersingkat waktu pertundjukan wayang yang biasanya memakan waktu 12 jam atau lebih telah dilakukan. Pun pula untuk menarik perhatian para tourist atas seni-tari serta kerawitan Jogjakarta maka „Mardi Guna" telah mencoba didalam waktu 2 jam para tourist sudah dapat kesan bermacam ragam tari-tarian baik yang gagahan maupun alusan. Begitu juga agar supaya tari-tarian klasik yang sepand yang sejarah tidak pernah dipertundjukkan kepada khalayak ramai, dapat di¬kenal dan dinikmati oleh umum, maka berkat idzin Sri Sultan, usaha yang baik itu dapat dilaksanakannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1918 maka Krida Beksa Wirama telah didirikan oleh tokoh-tokoh seni tari dan kerawitan. Ahli Seni tadi tak lain dan tak bukan ialah hamba sahaja Keraton Jogjakarta. Perkumpulan tersebut bermaksud mendorong serta memaju ¬kan pelajaran seni tari serta kerawitan Krida Beksa Wirama sangat tampak pesat kemajuan pada tahun 1930 sewaktu Jong Java dilebur' menjadi Indonesia Muda. Pada tahun 1931 Krida mencukupi harapan Madjelis Luhur Taman Siswa untuk memberi pelajaran tari-tarian pada perguruan kebangsaan tersebut. Krida beksa Wirama mendapat bantuan banyak sekali dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII bukan saja berupa idzin atau moreel saja, melainkan pula bantuan yang berupa uang. Pada tanggal 16 Desember tahun 1939 maka di Jakarta (dulu Batavia) telah didirikan Cabang Krida $eksa Wirama dibawah pimpinan Dr. Prijana.
Atas inisiatief R. M. Djajadipura maka pada tahun 1925 didirikanlah sebuah sekolah dalang yang diberi nama Habiranda, singkatan dari Hamurzuani bizvara ran jangan dalang. Pada waktu itu telah dirasakan kebutuhannya untuk memperbaiki mutu para dalang. Habiranda ini mendapat tundjangan juga dari Keraton.
Pada bulan Januari 1922 maka di Jogjakarta telah dimulai suatu usaha untuk mencoba mempersingkat waktu pertundjukan wayang kulit.
Mardi Kagunan Djawi, suatu perkumpulan dari pada siswa-siswa untuk men¬cintai seni budajanya sendiri.
Disamping perkembangan kesenian yang diusahakan oleh golongan masyarakat pertengahan itu, maka perkembangan setambul Djawi yang selanjutnya menjadi Sandiwara Ketoprak itu, didaerah Jogjakarta tampak maju pesat. Bolehlah dikatakan ditiap-tiap kampung terdapat perhimpunan Ketoprak.
Dengan adanya model siaran Radio serta lahirnya Mavro, maka tumbuhlah banyak sekali perkumpulan-perkumpulan kerawitan seperti cendawan dimusim hudjan, seperti Murbararas, Mardi gending, Dajapradangga dan lain sebagainya.¬
Adapun kesenian yang dekat dan mudah dimiliki oleh masyarakat desa, ialah wayang kulit dan wayang topeng, wayang kulit dan wayang topeng itu sudah barang tentu tidak bisa dipisah-pisahkan dengan gamelan, nijaga, dan dalang-dalangnya.
Didesa Ngentak serta desa-desa lainnya kelurahan Kedokan, kecamatan D6pok pada tahun 1938 masih terdapat rombongan pemain wayang-topeng. Malahan R. Pringgawihardja, lurah desa Prambanan mempunyai 8 buah topeng yang diang¬gapnya sebagai pusaka.
Rombongan wayang-topeng terdapat didesa Mlati, kelurahan "Burikan, desa Warak, (Dalang Cermokarso) desa Sejegan kelurahan Gentan, desa Turen kediaman Pak Cermowarsana dan Widipawira. Sebuah topeng Gunungsari dianggap pusaka ialah
tari-menari. Pameran pertama yang berupa wayang orang berlangsung pada tahun 1930. Usaha-usaha untuk mempersingkat waktu pertundjukan wayang yang biasanya memakan waktu 12 jam atau lebih telah dilakukan. Pun pula untuk menarik perhatian para tourist atas seni-tari serta kerawitan Jogjakarta maka „Mardi Guna" telah mencoba didalam waktu 2 jam para tourist sudah dapat kesan bermacam ragam tari-tarian baik yang gagahan maupun alusan. Begitu juga agar supaya tari-tarian klasik yang sepand yang sejarah tidak pernah dipertundjukkan kepada khalayak ramai, dapat di¬kenal dan dinikmati oleh umum, maka berkat idzin Sri Sultan, usaha yang baik itu dapat dilaksanakannya.
Pada tanggal 17 Agustus 1918 maka Krida Beksa Wirama telah didirikan oleh tokoh-tokoh seni tari dan kerawitan. Ahli Seni tadi tak lain dan tak bukan ialah hamba sahaja Keraton Jogjakarta. Perkumpulan tersebut bermaksud mendorong serta memaju ¬kan pelajaran seni tari serta kerawitan Krida Beksa Wirama sangat tampak pesat kemajuan pada tahun 1930 sewaktu Jong Java dilebur' menjadi Indonesia Muda. Pada tahun 1931 Krida mencukupi harapan Madjelis Luhur Taman Siswa untuk memberi pelajaran tari-tarian pada perguruan kebangsaan tersebut. Krida beksa Wirama mendapat bantuan banyak sekali dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII bukan saja berupa idzin atau moreel saja, melainkan pula bantuan yang berupa uang. Pada tanggal 16 Desember tahun 1939 maka di Jakarta (dulu Batavia) telah didirikan Cabang Krida Weksa Wirama dibawah pimpinan Dr. Prijana.
Atas inisiatief R.M.Djajadipura maka pada tahun 1925 didirikanlah sebuah sekolah dalang yang diberi nama Habiranda, singkatan dari Hamurwani biwara rancangan dalang. Pada waktu itu telah dirasakan kebutuhannya untuk memperbaiki mutu para dalang. Habiranda ini mendapat tundjangan juga dari Keraton. Pada bulan Januari 1922 maka di Jogjakarta telah dimulai suatu usaha untuk mencoba mempersingkat waktu pertundjukan wayang kulit.
Mardi Kagunan Djawi, suatu perkumpulan dari pada siswa-siswa untuk men¬cintai seni budajanya sendiri. Disamping perkembangan kesenian yang diusahakan oleh golongan masyarakat pertengahan itu, maka perkembangan setambul Djawi yang selanjutnya menjadi Sandiwara Ketoprak itu, didaerah Jogjakarta tampak maju pesat.Bolehlah dikatakan di tiap-tiap kampung terdapat perhimpunan Ketoprak.
Dengan adanya model siaran Radio serta lahirnya Mavro, maka tumbuhlah banyak sekali perkumpulan-perkumpulan kerawitan seperti cendawan dimusim hudjan, seperti Murbararas, Mardi gending, Dajapradangga dan lain sebagainya.¬
Adapun kesenian yang dekat dan mudah dimiliki oleh masyarakat desa, ialah wayang kulit dan wayang topeng, wayang kulit dan wayang topeng itu sudah barang tentu tidak bisa dipisah-pisahkan dengan gamelan, nijaga, dan dalang-dalangnya.
Didesa Ngentak serta desa-desa lainnya kelurahan Kedokan, kecamatan Depok pada tahun 1938 masih terdapat rombongan pemain wayang-topeng. Malahan R. Pringgawihardja, lurah desa Prambanan mempunyai 8 buah topeng yang diang¬gapnya sebagai pusaka.
Rombongan wayang-topeng terdapat didesa Mlati, kelurahan "Burikan, desa Warak, (Dalang Cermokarso) desa Sejegan kelurahan Gentan, desa Turen kediaman Pak Cermowarsana dan Widipawira. Sebuah topeng Gunungsari dianggap pusaka ialah terdapat didesa Warak. Almarhum Dalang Gandasana telah mengadakan wayang topcng dengan ceritera Kudanarawangsa dikediaman Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1923. Terkenal pula ialah rombongan pemain wayang topeng dari Godean. Didaerah Kabupaten Gunung Kidul banyak terdapat desa-desa kediaman rom¬bongan penari topeng seperti Gari Kecamatan Wanasari, Tepus, Kecamatan Tepus, Bedji Kecamatan Patuk, Logendeng, Gading, Getas dan Teguhan Kecamatan Plajen, Nga_brak Panggul dan Sempon Kecamatan Semanu. Malahan topeng-topeng dibuat didesa Bedji, Ngebrak dan Merak Kecamatan Palijan. Gandakarja dari dukuh Gelung Wanasari mempunyai 5 buah top~ng kiana Pandji, Blancir, Pentul dan Tembem yang ,dipelihara sebagai pusaka. Begitu juga Kramasetika dari Ngebrak mempunyai topeng Djajakertala sebagai pepunden.
Didalam kota Jogjakarta sendiri pada kira-kira tahun 1928 tempat-tempat pembuatan topeng-top~ng seperti Pugeran (R.P. Djajapragola), Pakualaman (Dalang Djajengtarjana) dan Krida Beksa Wirama, R.M. Djajadipura sendiri juga seorang ahli pembuat topeng. Kampung Judanegaran terkenal juga tempat pembuat topeng. Didaerah Kabupaten Kulon Progo terdapat didesa Gadingan dan Kempleng kediaman Dalang Cermadisana. Selain itu didesa Pendem (Nanggulan) dan Pengasih atas usaha perhimpunan Among Krida.
Didesa Gari (Wanasari) terdapat wayang „Gendreh" kepunyaan Pak Ganda¬pawira seorang keturunan Dalang, wayang „Gendreh" ini ada dua wanda yaitu wanda gendr6h dan kinanti. yang wanda gendreh diberi nama Kembang dan „GendrW" sedang yang wanda Kinanti disebut Dukun dan Kinanti. Wayang gendreh ini dipeiihara sebagai pepunden. Kalau Rakyat desa mengadakan ruwatan, karena sawah atau ladang¬nya diserang hama tikus maka harus minta sawabnya Wayang Gendreh dan ceriteranya harus Tikus Djinada Wayang Gendreh sendiri hanya disamping saja. Dengan adanya Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada tambahan lagi adanya Akademi Seni Rupa Indonesia serta sekolah Musik Indonesia, maka dapatlah dikatakan bahwa Jogjakarta kini sungguh-sungguh menjadi sumber Inspirasi Kebudajaan Indonesia.
Perkembangan Kebudajaan/Kesenian didaerah Istimewa Jogjakarta kelihatan amat pesat setelah Kementerian Pendidikan Pengadjaran dan Kebudajaan mengadakan suatu peraturan pemberian Subsidi kepada Badan-badan Kebudajaan f Kesenian ter¬tanggal Jogjakarta 1 Februari 1950 No.: 89/K. sewaktu Saudara S. Mangoensarkara mendjabat Menteri P.P. dan K.
Tampak lebih pesat lagi kemajuannya yaitu sesudah ada usaha-usaha persiapan penyerahan tugas: memimpin dan memaju kan kesenian seperti yang dimaksud dalam undang-undang No. 3. pasal XII sub lampiran serta Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 1951 pasal 2 sub f yang menyatakan bahwa urusan kesenian dari Kementerian P.P. dan K. harus diserahkan kepada Pemerintah Otonoom.
Di-Ibukota Jogjakarta sendiri oleh Pemerintah Kotapraja sudah dibentuk suatu Badan yang disebut Badan Kesenian Kotapraja yang diserahi mengurus hal ichwal perkembangan Kesenian didalam kota.
Pada Jawa tan P.P. dan K. Daerah Istimewa Jogjakarta telah terbentuk pula suatu-bagian Kebudajaan yang bertugas memperhatikan, mendorong memimpin dan rnemajukan kesenian diseluruh kota Jogjakarta.
Ditiap Ibukota Kabupaten sudah didirikan sebuah Badan yang disebut Balai Kesenian Kabupaten.dengan tugas yang sama seperti tersebut diatas didalam w-ilayahnya masing-masing.
Kini boleh dibilang bahwa ditiap-tiap Ibukota Kapanewon, bahkan sampai kepada desa-desa yang disitu berdiam pendukung-pendukung seni budaja daerah, maka tentu dapat dipastikan ada perkumpulan krawitan, tari-tarian, wayang, ketoprak dan sebagainya.
Tempat abu dari perak buatan Jogjakarata
Bab II.
SENI- KARAWITAN.
SEPINDAHNYA Sri Sultan Hamengku Buwono I dari-Pasanggrahan Gunung Tlaga Ngambar Ketawang (Gamping) ke Keraton Jogjakarta yang telah selesai dibangun pada tahun 1757, maka dimulailah dengan mengisi prabot kawibawan Keraton seperti gamelan-gamelan, tari-tarian, wayang dan sebagainya seimbang dengan Keraton Sura¬karta. Mula-mula yang diperlukan ialah gamelan monggang yang diberi nama Kang¬djeng Kjahi Guntur Laut, gamelan kodok ngorek diberi nama Kangdjeng Kjahi Kebo Ganggang. Gamelan Sekaten diberi nama Kangdjeng Kjahi Guntur Madu yang kemu¬dian dibuatkan timbangan yang diberi nama Kangdjeng Kjahi Nagawilaga.
Disamping gamelan-gamelan tersebut diatas diperlukan gamelan slendro dan pelog untuk keperluan sehari-hari yang terdiri atas:
1. Rebab gading. 14.K e t j or.
2. Bonang barung. 15. Cicir.
3. Bonang penerus. 16. Rodjeh.
4. Gender barung. 17. Slento.
5. Saron 4 pangkon. 18. Slentem.
6. Demung 2 pangkon. 19. Kemp yang untuk Pelog.
7. Saron peking. 20. G o n g.
8. Gambang gongsa. 21. Gambang kaju.
9. Kenong Djapan. . 22. K e n d a n g.
10. Kenong djaler. 23. Ketipung. -
11. Kempul laras nem. 24. Bedug.
12. Ketuk. 25. Suling.
13. Kemanak. 26. Bende.
Sri Sultan Hamengku Buwono I berkenan menambah jumlahnya gamelan dengan bonang panembung.
Gamelan-gamelan Keraton yang disimpan dalam Gangsa yang penting:
1-. Kjahi Kancil Belik
2. Kjahi Hardjomuljo Pelog.
3. Kjahi Madukusumo
4. Kjahi Surak
5. Kjahi Hardjonegora Slendro.
6. Kjahi Madumurti
pada tahun 1792 setelah Pangeran Adipati Anom naik tahta menggantikan ayahanda dan bergelar Hamengku Buwono II berkenan membuat gamelan laras pelog dengan tambahan ricikan:
1. Kenong.
2. Sekar dlema (bjeng).
3. Cluring.
4. Kenong laras Nem.
5. Kreseg (dibuat dari kulit brambang dimasukkan dalam kreneng).
Sri Sultan Hamengku Buwono V pada tahun 1844 berkenan membuat clempung serta menambah ricikan saron menjadi 8 dan demung menjadi 4 jumlahnya. Pun pula beliau berkenan menambahkan alat-alat musik seperti tambur, selom¬pret, biola, seruling, dan sexofon pada gamelan yang melulu untuk mengiringi pada keluar serta masuknya bedaja atau dari prabajeksa.
Pada tahun 1874 maka KGPA Mangkubumi adik Sri Sultan Hamengku Buwono VII gender barung dilengkapi dengan gender penerus. G.P.H. Soerjopoetro beserta K.P.A. Cakradiningrat yang kelak menjadi Pepatih dalem dan bernama BKPAA Danuredja maka pada tahun 1899 menambah jumlahnya gamelan dengan:
1. Gong sijem laras Gulu.
2. Kempul laras 5.
3. Kempul barang.
4. Kempul Penunggul.
5. Kenong barang dan penunggul.
6. Gong suwukan laras barang dan penunggul.
7. Gender panembung.
Semenjak waktu itu maka umumnya setiap gamelan lengkap diluar lingkungan Keraton memakai kenong dan kempul 3 macam laras. Gamelan Keraton tetap seperti zaman bahari, bahkan gender peneruspun tak pakai.
Semasa masih nama KGP Anom Hamengkunagoro, maka Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1916 berkenan membuat gamelan ragam baru yang seterusnya setelah beliau naik tahta dimasukkan dari Kadipaten ke Keraton hingga sekarang.
R.M. Djajadipura seorang tokoh seni yang kuat, amat mahir dalam bermacam-ragam, kesenian Jawa sehingga menjadi parampara masyarakat seni Jogjakarta, dalam usahanya menyempurnakan seni Karawitan.
Maka beliau membuat:
a) Kempul laras djangga alit.
b) Kempul laras dada alit.
c) Suwukan laras dada ageng.
d) Suwukan laras nem ageng.
e) Kenong laras dada ageng/alit.
f) Kenong laras djangga ageng/alit.
Seperti masyarakat ramai telah maklum maka pemakaian gamelan-gamelan tersebut diatas seperti dibawah ini:
Kangdjeng Kjahi Guntur Laut (Monggang) dibunyikan setiap Hari Garebeg serta watangan sebagai penghormatan kedatangan Sri Baginda Kangdjeng Kjahi Kebo Ganggang (Kodok ngorek) dibunyikan setiap hari Gare¬beg, adu-adu chewan atau merampok harimau. Empu karawitan yang banyak djasanya atas perulbahan-perubahan serta penyusunan gending baru. Sri Sultan Hamengku Buwono I mempunyai Ciptaan Gending-gending untuk mengiringi bedajan dan srimpen, pula kitab pelajaran bagi sanak keluarga Keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono II menciptakan gending yang diberi Tedja yang sampai sekarang masih dipakai untuk lelangen Bedaja, mungkin juga Semang untuk mengiringi Bedaja Semang. Pun juga berusaha menyesuaikan gending-gending untuk tari-tarian Lawung Ageng, lawung alit dan sebagainya. Beliau menemukan suatu systim ciri kendangan-kendangan ragam Mataram hingga hari ini.
Gending Sabrangan berikut kendangannya untuk mengiringi kapang-kapang Bedaja (Srimpi telah diciptakan atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono IV yang sampai sekarang masih dipakai.
KGPA Mangkubumi putera Sri Sultan Hamengku Buwono IV dalam lapangan seni kerawitan banyak usaha-usahanya. Beliau menyusun gending-gending yang asal pangkalnya dari Sekar Ageng, Sekar tengahan, dan Mocopat yang terkenal disebut orang sekar gending. Selanjutnya sekar gending itu diperuntukkan selaku pocapan dalam lelangen Langendrijan sehingga terkenal dengan nama Langendrijan Mangku¬bumen. Kitab aslinya Langendrijan ini telah diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Pada tahun 1878 maka Sri Paku Alam V jaug diceriterakan mahir benar akan musik, telah mencoba menyusun titi-raras gamelan secara baru dan terkenal sebagai titi-raras Paku-Alaman.
Berbarengan usaha dengan itu, maka seorang bangsawan bernama BPH. Hadiwinoto pada tahun 1886 berusaha juga menyusun titi-raras yang hingga sekarang dianggap suatu titi-raras tertua dari Keraton Jogjakarta.
Pada alamnya Sri Sultan Hamengku Buwono VII maka R.T. Kertonegoro seorang Bupati Najoko Lurah Bumidjo mengajunkan langkah pertama dengan memulai meneliti serta menghimpun segala gending slendro dan pelog, berikut kendangan¬kendangan diabadikan dalam kitab peringatan. Dikala itu tanda-tanda titi-raras masih berupa huruf Jawa seperti:
= Barang (Sl)
= gulu.
= dada.
= lima.
= nem.
= panunggul.
= barang pelog.
= pelog.
Selain itu ada pula yang disebut titi-raras tangga serta titi-raras rantai atau noten balk, ciptaan R.T. Wiroguno dengan bantuan dari M.L. Puspakanti, M.L. Brantamara M. Penewu Demang Mangun-gending, R.L. Babarlajar.
Gubahan-gubahannya gending antara lain Lagu pembukaan dan penutup MAVRO, Vadera serta NIROM.
Pun pula beliau menyesuaikan gending-gending untuk tari golek, diantaranya golek jangkung kuning, Lajangsari dan lain-lainnya.
Gubahan terakhir ialah gending Prabu Nlataram yang kini dipakai pakurmatan Sri Sultan yang sekarang. -
Titi-raras Keraton Jogjakarta yang baru ialah ciptaan P. Purwodiningrat serta kemudian disempurnakan oleh R.T. Wiroguno tersebut diatas, tertera dalam Kitab „Pakem Wirama Wilet gending berdangga".
Untuk keperluan pelajaran seni suara vocal Jawa , maka Ki Hadjar Dewantara telah menciptakan suatu titi-raras yang tidak berdasarkan atas namanya wilahan, melainkan atas dasar suara, yang disebut titi-raras Sari-swara.
Pada tahun 1942 maka BPH Pakuningrat mencoba menggubah suatu titi-raras yang diberi nama Pana titi-raras.
Gending-gending yang digunakan dalam pertundjukan wayang orang banyak ciptaan dari pada R.T. Purbaningrat, Wedana Parentah Punakawan, seorang ahli kerawitan dan tari-tarian antara lain Gending Prabudewa, Prabuwibawa, Prabumanukma dan lain-lainnya.
KPAA Danuredja pencipta kesenian Mandra Wanara, berhatsil berusaha menggubah Gending sekar artinya sekar didjadikan gending dan sekar gending yaitu sekar membarengi srepegan. Kesemuanya tadi sudah diselaraskan dengan langgam dan ragam baru langsung sampai sekarang.
R.W. Larassumbaga, hamba Keraton Wedana Kanijagan telah banyak menggubah yang bermacam-macam-ragam coraknya. Gubahannya yang bersifat setengah klasik antara lain Gending Ngeksiganda, Kumaramaja dan lain-lain yang bersifat umum ialah gending Westminster dan yang terakhir ini ialah gending Teguhjiwa kepandaiannya yang paling terutama ialah mengendang (permainan kendang).
Tokoh kerawitan lainnya yang terkuat pada dewasa ini ialah Ki Ngabehi Cakrawasita hamba istana Paku-Alam, mantri kanijagan, pengetahuannya, baik teori maupun praktek, maka orang-orang yang datang berguru kepadanya tidak akan kecewa.
Buah hasil gubahannya yang terpenting ialah Gending Djajamanggalagita, suatu ramuan beragam-ragam gending yang mengandung djalinan jalan nya sejarah Indonesia. Ahli seni-suara ragam Jogjakarta sampai dewasa ini yang dapat dikemukakan hanya KRT Madukusuma. Beliau memberi pelajaran tembang seperti tembang gede, tengahan, macapat, lagon, kekawin dan odo-odo sekaliannya itu disusun diatur diberi catatan-catatan serta ditulis dalam note-balk. Beliau menjadi hamba Keraton Jogjakarta sedari Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
R.M. Djajadipura yang sudah dikemukakan dimuka dalam seni suara besar juga djasanya. Beliau mengumpulkan sekalian paugeran-paugeran atau waton-waton dalam pedalangan seperti djanturan beserta apalannya yang hingga kini digunakan sekolah pedalangan Habiranda Jogjakarta.
JEJAK (TJAK) KERAWITAN RAGAM JOGJAKARTA.
Mulai Sri Sultan pertama sampai Sri Sultan yang ke VII maka jejak kerawitan (caking kerawitan) yang disebut nguju-uju diutamakan gending-gending yang dipalu keras (sora) atau gending bonangan. Oleh karena itu pangkalan atau susunan gending-gending Mataram itu yang laras lagi tepat ialah untuk ujon-ujon soran. Hal ini disebabkan karena adanya larasan yang disebut laras umjung.
Larasan umjung ini memang yang paling tepat serta jitu jika dipalu (ditabuh) keras. Lagu-lagu lalu riuh gemuruh menggelora yang melontarkan sifat kelaki-lakian, gagah berani, dahsyat kuat, tampan perkosa. Dan apabila gamelan dengan laras ujung itu dipalu lirih-lemah, maka larasnya lalu terdengar terang menggelombang, mengombak dan mengalun yang agak janggal. Laras umjung ini diperoleh dari larasan yang disilirkan atau tidak ditepatkan sama sekali atau djarak antara laras-laras itu dipanjang-pendekkan.
Menurut catatan para nijaga di Jogjakarta maka yang memulai merubah adat keadaan gending - seperti Ajak-ajak dan slepegan pada wayangan kulit kendangnya digembjakkan sampai sekarang ialah KGPA. Mangkubumi. Akan tetapi didalam lingkungan Keraton dewasa itu masih tetap meneruskan naluri ragam bahari. Pada akhir gending-gending Ajak-ajak dan slepegan (suwuk) tidak dibarengi dengan gong, melainkan dengan kempul.
Dengan bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono VIII maka jejak kerawitan (caking kerawitan) sudah seperti sekarang ini, kendang digembjakkan (batangan ciblon) dan sudah pakai gerongan, akhir (suwuk) gending-gending ajak-ajak dan slepegan dengan dibarengi bunyinya gong.
PERKUMPULAN-PERKUMPULAN KARAWITAN DI YOGYAKARTA.
Kemajuan Teknik yang sangat pesat baik didarat, dilaut, diudara maupun diether, sehingga scakan-akan dunia menjadi mingkup ini, maka buah hasil ucapan jiwa yang bersifat seni dari sekalian umat manusia, mau tidak mau harus mengikuti jalannya sejarah serta melaraskan diri dengan alam dan zamannya.
Dengan adanya siaran radio dari NIROM, SRV, SRI, MAVRO, Hosokijoku dan lain-lain, maka terasalah oleh para ahli berolah serta pencinta seni, bahwa kini telah terbit ketikanya untuk berlomba-lomba merubah, mengganti memajukan kesenian daerahnya masing-masing sesuai dengan kemajuan masa.
Dalam masa mendahsjatnya siaran radio itu, maka berdirilah di Jogjakarta sebuah Badan Karawitan yang disebut Dajapradangga dibawah pimpinan Badan Lie Djing Kiem. Dajapradangga ini merupakan suatu ikat-pertalian yang erat, persatu paduan yang kuat antara penabuh-penabuh dari Keraton, Paku-Alaman dan Kepatihan. Dajapradangga ini pulalah yang dengan teguh-tegas berani mengajunkan langkahnya untuk mempelajari serta membunyikan gending-gending dari Daerah Kedu dan Surakarta. Tiap-tiap lagu gending yang boleh didahului dengan bawa-swara, maka dimulailah dengan bawa-swara dan selanjutnya diselang-seling dengan suara merdu dari suarawati (sinden) serta seni-suara prija bersama (gerong) riang gembira sampai sekarang.
Dengan lahirnya perkumpulan Dajapradangga yang radikal ini, maka tak lama kemudian tumbuh-timbullah pelbagai badan-badan kesenian yang berbeda-beda corak pendiriannya, seperti:
l. Larasmadya anggauta-anggautanya terdiri atas nijaga dan amateur.
2. Nindya jatmoko, anggauta-anggantanya terdiri atas aijaga abdidalem Kadipaten yang bertujuan mempertahankan corak klasik.
3. Mardawagita lalu ganti nama Muda Langen Swara, dibawah pimpinan RB Hastokuswala, bercorak aliran baru.
4. Murbararas, perkumpulan abdi dalem Keraton dengan ditambah angganta-anggauta Dajapradangga, beraliran umum.
5. Krusuk-raras, perkumpulannya pemuda-pemuda abdi-dalem Keraton dan Ngabean.Perkumpulan ini beraliran umum tetapi mempertahankan ragam Keraton.
6. Mardi-Wirama, perkumpulannya para abdi-Dalem Paku-Alaman beraliran umum termasuk ragam Jogjakarta dan Surakarta.
Semendjak Kemerdekaan Negara Republik Indonesia diproklamirkan (17 Agustus 1945), maka dalam dunia karawitan Jogjakarta tampak benar kemajuan¬kemajuan usaha para empu-gending dan ahli ilmu karawitan (muzicoloog), untuk mengadakan perbaharuan cara-cara serta ramuan-ramuan baik vocal maupun instrumental.
Mulai tahun 1950 maka banyaklah percobaan-percobaan dilakukan oleh para ahli ilmu karawitan untuk mendapatkan lagu-lagu baru, irama baru, karena ternyata bahwa kemungkinan-kemungkinan masih terbuka lebar bagi perkembangan karawitan Daerah.
Pada pokoknya irama dari lagu-lagu gending itu: irama laku empat. Kalau dalam seni suara musik ada terdapat irama laku tiga, maka apa salahnya kalau laku tiga dicoba juga dilakukan dalam gending-gending Jawa. Kenyataannya pada dasarnya semua irama laku empat itu dapat dilakukan dalam irama laku tiga. Dalam hal ini da¬pat dibuktikan oleh Sdr. R. Ch. Hardjosubroto, Pegawai Bagian Kesenian Jawa tan Kebudajaan Kementerian PP.dan K dalam ciptaan-ciptaannya Langen-Sekar dan lain-lain, yang bagi masyarakat Jogjakarta tidak asing lagi.
Kalau irama laku tiga.ini sudah dapat tersebar serta biasa dikalangan masyarakat kesenian daerah, maka irama laku tiga ini akan mendorong - gerakkan kepada para ahli-seni-tari untuk menciptakan tari-tarian baru pula.
Usaha-usaha untuk menciptakan suasana baru dalam alam karawitan, maka dengan sangat berani telah digalang oleh Saudara-saudara karawitan Studio R.R.I. Jogjakarta dibawah bimbingan Sdr. Ki Ng. Cokrowarsita pada tiap-tiap siaran mana suka Ragam garap baru itu seperti didalam suatu lagu lalu dilontarkan solo-gender, solo-rebab dan sebagainya. Kendang gembjakan bersama 3 buah dan lain-lain. Pada tanggal 1 Januari 1956, maka di Jogjakarta telah dilangsungkan suatu demontsrasi gending-gending Jawa untuk keperluan pada pasamuan suci dalam Ge¬redja Katolik, Ciptaan2 dari Sdr. R. Ch. Hardjosubroto dan F. Atmodarsono, Guru S.G.A. II Jogjakarta. Percobaan-percobaan itu dilakukan atas andjuran dari yang Mulja Monsinyur Soegijapranata, yang menghendaki supaya seni-suara Daerah bisa berkembang dalam lingkungan Geredja Katolik.
Pada tempat-tempat di luar Kota Jogjakarta yang ada terdapat perkumpulan¬perkumpulan karawitan seperti: Karangjambe, Berbah, Mantup, Kota-gede, Ponggok, Kunden, Tabraten (Pleret), Turi (Bantul) Dongkelan, Gamping, Logendeng, Plajen, Wonosari, Karangmadja, Ngagel, Djurangdjero, Kutu, Sl6man dan lain-lain.
Buah hasil dari seni pahat dari pemuda kita
BAB II
PERKEMBANGAN PEDALANGAN DI JOGJAKARTA
SELAMA 200 TAHUN. MULAI TAHUN 1755 s 1d 1830 M.
SEMENDJAK Sri Sultan Hamengku Buwano I ber tahta di Jogjakarta pada tahun 1755, maka menurut KRT. Djajadipura perkembangan pedalangan seperti di bawah ini, .
Dalang dan Nijaga.
1. Ki Cermadenda adalah Dalang khusus dari Pangeran Mangkubumi, selama peperangan Pagianti iapun selalu tnengikuti Pangeran Mangkubumi. Kadang-kadang ia mendalang disesuatu tempat terutama didaerah Kedu dan Bagelen, sehingga tertanam lagi (terbangun) kehidupan seni pedalangan dan pertundjukan wayang kulit purwa didaerah tsb, dan dengan sendirinya maka terbangun pula tempat-tempat yang pernah menjadi daerah sumber pedalangan, seperti Banyumas, Pekalongan dls: Oleh karena kawan-kawan wijaga yang mengikutinya peperangan tidak banyak, maka diusahakanlah kelengkapan wijaga, sehingga banyaklah tambahan wijaga dari daerah tersebut.
Sampai pada ber tahta nya Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan H.B. ke I) di Jogjakarta, ki Cermadenda masih tetap mengabdi menjadi dalang.
Anaknya yang bernama Bagus Paku pun turut serta mengabdi di Jogjakarta, kemudian beristerikan anak Kjahi Wangsaguna didesa Wadja bernama Sumi. Pedalangannya seimbang dengan ayahnya, sehingga termashur dengan nama dalang Pakuwadja.:
Kedua ayah dan bapak ini selalu berusaha menganalisa sejarah-sejarah wayang sehingga dibuat catatan lakon-lakon wayang purwa.
Dalang Cermaganda diberi tempat tinggal sebagian dari kandang kuda yang berpintu rudji dari besi, maka oleh karena itu ia termashur dengan nama dalang Kan¬dangwesi. Dan kedua orang ini dalang itu disebut „Dalang Pancakaki".
Buku catatan dari kedua dalang itu disebut „La yang Purwa Carita", yang sangat dianggap terbaik oleh para dalang terutama di Jogjakarta.
2. Pengabdian kedua dalang (Dalang Pancakaki) itu sampai wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono ke I, dan dilangsungkan mengabdi pada Sri Sultan Hamengku Buwono ke II; dan pada zaman ini wafatlah Kjahi Cermaganda.
Dalang Pakuwadja meneruskan pengabdiannya, akan tetapi ia tak dapat mempunyai sahabat yang seimbang untuk usaha tentang pedalangan, karena Sri Sultan sendiri tidak begitu memperhatikan terhadap kesenian pedalangan.
Alkhamdulillah ia mendapat seorang kawan Pangeran adik Sri Sultan Hamengku Buwono II, bernama Pangeran Natakusuma, yang termashur ahli kesusasteraan, sehingga makin sempurnalah bentuk-bentuk pedalangan tehnik Jogjakarta, dengan „La yang Purwa Carita"nya.
Dalang Pakuwadja ini wafat pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono yang ke III; yang termashur dengan djulukan Sinuhun Raja,
3. sejak zaman Sinuhun Raja ini tidak banyak perkembangan pedalangan akan tetapi dimana-mana terus hidup.
Keturunan Kjahi Pakuwadja itu banyak dan berkeliling untuk mendalang. yang meneruskan mengabdi hanyalah seorang saja, yang bernama Dalang Somaguna. Ia mengabdi sebagai tradisi, jalah mengganti ayahnya.
4. Oleh karena zaman itu adalah zaman belum tenteram sampai pada saat bertahtanya Sri Sultan Hamengku Buwono IV. (Sultan Timur) dan geger Diponegaran, maka tak dapat diterangkan kemajuannya.
MULAI TAHUN 1830 s/d 1925 M.
Sehabis perang Diponegaran; rnaka mulailah orang memperhatikan peri hal kemajuan seni pedalangan. Sri Sultan Hamengku Buwono ke V mulai mengadakan pembangunan. Pada zaman ini pulalah terciptanya „Serat Purwakanda" atas inisiatif Sri Sultan H. B. V yang ditulis oleh seorang Pangeran bernama Kandjeng Gusti Pange¬ran Adhipati Mangkubumi di Jogjakarta, putera dari Sri Sultan VI dan cucu dari Sri Sultan V. (BRA.Adipati Mangkubumi itu putera puteri Sri Sultan HB ke V).
sejak itu pulalah jumlah keturunan dalang menjadi banyak karena kader-kader dari Dalang Pancakaki, berbesanan antara dalang dengan dalang.
Diantara dalang, yang terpilih, diangkat menjadi habdi dalem, sedang yang tidak mendalang dimana-mana tempat.
Palang-dalang pada zaman itu diceriterakan banyak yang memiliki kemahiran jang-istimewa, misalnya : .
a. Ki Rediguna di Sanaswu, panah wayang dapat terpaku di tiang rumah, pula. dapat mendatangkan hudjan. Hingga sudah lumpuh masih laku, kalau pergi ma yang dipikul.
b: Ki Djajengtarjana dalang. Paku Alaman, termashur bagus pakelirannya.
c. Ki Somataruna Dagen, termashur lucunya.
d. Ki Lurah Girisa :I: termashur keseluruhan pedalangannya.
e: Ki Sapawira Sambilegi temrashur dengan ilmu kebatinannya.
f. Ki Somakarija termashur bila menyanggit adegan percintaan, menjalankan wayang puteri.
g. Ki Citramengeng- termashur dengan bagusnya tehnik pakelirannya.
h. Ki Gandapawira (Mantup) sabetannya tak ada yang melawan bagusnya. .
Dan masih banyak lagi dalang-dalang yang belum tersebut, Gandasana, Wikridita dll. Perlu dikemukakan disini bahwa dalang tersebut pada alinea f.g.h. adalah dalang pada zaman Sri Sultan ke: VIII: Sesudah Gandapawira tak menjalan kan, majang, dan daiang Citramengeng serta Ki Lurah Girisa (semuanya abdi dalem) wafat, maka Sri Sultan mencari dalang yang bagus dan memuaskan seperti dalang- dalang yang terdahulu, akan tetapi telah dicobanya dari dalang seluruh Jogjakarta tidak ada yang metnuaskannya. Maklumlah Sri Sultan ke: VIII, adalah ahli tentang hal ini.
Setelah itu, maka diangkat sebagaa dalang yang agak lumajan:
1. Ki Surajiwandana yang tadinya djadjar Pasind6n, ditetapkan menjadi dalang Ke¬raton dengan pangkat Bekel, dan diberi sebutan R.B. Cermawicara, karena beliau adalah dalang yang bagus bahasanya.Keistimewaan Ki Cermawicara ini bilama¬na menjalan kan djaranan. Beliau banyak membantu pembuatan dokumen ini.
2. Ki Djajengcarita dari desa Kalibulus, Kalasan, diangkat menjadi Bekel dan diberi nama Ki Dalang Bekel Cermacarita.
3. Ki Pardjan dari desa Sekarsuli (anak dalang desa Klajar) diangkat menjadi djadjar dalang bernama Ki Cermatarjana.
4. Ki Djata dari desa Kutu (Utara Kota Jogjakarta) diangkat menjadi djadjar dalang dan diberi nama Ki Cermadiwara.
5. Ki Karsana dalang Redjawinangun, diangkat menjadi djadjar dalang, dan diberi nama Ki Cermakarsana, dls.
6. Diantara dalang-dalang yang ada yang keistimewaannya menjalan kan wayang kera (ketek) bernama Mintuk dari desa Ngadjeg Kalasan ditetapkan oleh K.P.A. A. Danuredja ke: VII: dan diberi nama Citrawanara.
7. Pada zaman Sri Sultan ke: VIII: Bekel Dalang itu' hanya 2 orang ialah Ki Bekel Girisa dan Ki Bekel Drijalaja (kedua-duanya sudah meninggal dunia).
8. Diluar kota banyak sekali dalang, misalnya: dalang dari desa Adipeksa, Kuwasen, Kuweni, Pengasih, Sentolo, Pondjong, Karangmadja, Tepus dan Wates.
KURSUS DALANG.
Pada tahun 1925 di Jogjakarta telah didirikan kursus Dalang bernama „Habi¬randa" singkatan dari perkataan: HA- murwani, BI- wara, RAN- cangan, DA- lang. Kursus ini didirikan atas inisiatif K.R.T. Djajadipura, dengan tundjangan Hamengku Buwono VIII. Sebagai pelaksananya ialah: B.P.H. Surjadiningrat, dan K.R.T. Djajadipura. Setelah segala sesuatu siap maka pada hari Minggu-Wage tanggal 5 Muharam tahun Be 1856 atau 1925 diadakan pertemuan untuk merundingkannya yang keputusannya sbb.:
a. Mufakat adanya kursus dalang di Jogjakarta.
b. Kursus itu diberi nama „Habiranda".
c. Kursus dimulai pada hari Senen-Kliwon (esok harinya) tanggal 6 Muharam Be 1856 atau tanggal 27 Djuli 1925-M.
d. Menetapkan Pengurus Pendirian Kursus tsb., Ketua R.M. Rija Gandaatmadja; Penulis K.R.T. Djajadipura; Bendahari R. Rudjita; Pembantu: G.P.H. Tedja¬kusuma dan B.P.H. Surjadiningrat.
e. Pamong kursus: Direktur K.R.T. Djajadipura merangkap mengadjar Pengetahuan (Kawruh), pedalangan umum; Guru sejarah R.W. Prawiradipura; Guru Sulukan R.T. Madubranta; dan Guru Pakeliran R.B. Cermawicara.
f. Sebagai donateur tetap: Pemerintah Belanda, Pemerintah Kasultanan, Pemerintah Paku-Alaman. Adm. Pabrik Karanggayam, dan masih banyak lagi.
g. Commissie untuk membuat Statuten dan Huishoudelijk Reglement adalah: Controleur Dr. L. Adam: G. P. H. Tedj akoesoema, B. P. H. Suryaningrat, K. R. T. Djajadipoera.
h. sejak berdiri hingga sekarang, kursus itu baru dapat memberikan pelajaran pedalangan tingkat pertama, ialah hanya dapat „majang".
Ketua Habiranda R.M. Rija Gandaatmadja wafat, tidak ada lagi gantinya dan pengurus seluruhnya menjadi macet. Keadaan waktu itu fungsi Ketua organisasi ada ditangan R.W. Sastrasoeprapta yang kemudian menjadi Bupati bernama K.R.T. Pancakoesoema.
Ssejak pengurus itu ditangan K.R:T. Pancakoesoema almarhum maka R.W. Madoekoesoema tidak lagi memberi pelajaran di kursus tersebut. Dengan demikian, maka pelopor Guru kursus „Habiranda" tsb. hanyalah tinggal R.M. Cermawicara saja. Sesudah K.R.T. Pancakoesoema wafat, maka Ketua Pamong dipegang oleh B.P.H. Pakoeningrat almarhum. Dan R.B. Cermawicara dibebaskan dari tugasnya.
Tahun 1925 s/d 1945 dst. 1956.
Sesudah K.R.T. Pancakoesoema wafat, maka B.P.H. Pakoeningrat memegang Ketua Pengurus Habiranda, disini K.R.T. Madoekoesoema muncul lagi sebagai $en¬dahari. Dalam fase ini maka Habiranda mulai dihidupkan kembali, dengan inengambil tempat kursus dipekapalan alun-alun Lor Jogjakarta. Akan tetapi sajang, belum selang beberapa bulan, terjadi clash yang ke: II. Selama pendudukan ini kursus tsb. berhenti. Sesudah clash ke II dan Jogja kembali, maka kursus dimulai lagi dengan mengambil tempat di Prabeja (dapur Sri Sultan) Oleh karena murid masih terus belajar, dan gurunya tidak ada maka Sdr. Rija Soedibjaprana diminta oieh Pengurus agar suka memberi pelajaran, dan terlaksana. Berhubung siswa makin banyak, maka sekolah itu dipindahkan dari Prabeja ke ruang Kumendaman (1951).
Atas perkenaan pemerintah Keraton, maka pada tahun 1952 tempat kursus pindah ke Pracimasana, Guru-gurunya: Pakeliran (Guru Kepala), R.B. Cermawicara, pembantu-pembantunya: Sabetan R.B.Lebdajiwa, Sulukan B.Radyamardawa (dahulu Sdr. Dadapmantap tsb. diatas) dan Guru Kanda/carita Rijasoedibjaprana, dan se¬landjutnya. Pada saat ini, R.B.Cermawicara dibebaskan dengan ondersta.nd dan Guru¬kepala digantikan oleh Sdr. Bekel Radyamardawa.
Setelah BPH. Pakuningrat wafat, maka KRT. Madoekoesoema menggantikan menjadi Ketua Pamong Habiranda (1955), sampai sekarang. Lain dari pada kursus pedalangan Habiranda, dalam Kota Jogjapun ada kursus pedalangan juga yang diadakan oleh Himpunan Siswa Budaja dan tilarsudi Wirama, akan tetapi pelajaran pedalangan tersebut adalah tehnik Surakarta. Sebagaimana lazimnya, maka siswa-siswa dari kursus Habiranda ini bermula menerima murid banyak, akan tetapi jarang sekali yang dapat mengikuti sampai mendapat idjazah disebabkan belajar selama tiga tahun itu adalah waktu yang tidak sebentar. Maka bila ditafsir, siswa yang selesai menuntutnya pelajaran hingga berijazah, kira-kira hanya 10% saja.
DILUAR KO TA.
Dalang Kulonprogo (sebelah barat Jogjakarta) tidak banyak adanya sejarah pedalangan. Hanya kini ada dua orang dalang yang termashur bernama: Kasmadi Sewugalur, dan Regot (Widiprajitno) didesa Karangendek Sentolo.
Pada zaman revoiusi, maka pada tahun 1946 di Sentolo berdiri satu organisasi Dalang yang diberi nama PDKP. (Persatuan Dalang Kulon Progo), atas inisiatif Sdr. Katidjo Wiropramoedjo didesa Djlegong SentoIo.
DPKP. pernah mengadakan kursus guna menambah ilmu para dalang anggautanya, sampai berjalan dua angkatan (1 tahun).
Tudjuan kursus itu jalah: Akan mencetak dalang agar mereka dapat menyam¬paikan kebutuhan-kebutuhan tanah air kepada khalayak ramai. Berhubung dengan kesulitan biaja, dan Sdr. Katidjo pindah dari Sentolo, maka organisasi itu, mati.
II. GUNUNG KIDUL.
Daerah Jogjakarta sebelah selatan Gunungkidul. Disana masih terdapat Dalang Orang tua, yang dapat meruwat.
Akan tetapi sama sekali sudah tidak ada dalang yang mendingan. Semuanya hanyalah praktijk dalang. Achir-akhir ini mulai muncul keturunan dalang Gunung¬kidul untuk menuntut pelajaran pedalangan di kursus Habiranda.
Di Wonosari ada organisasi dalang yang dinamakan PDGK. (Perkumpulan Dalang Gunungkidul), diketuai oleh Sdr. Hardjowardojo pegawai Jawa tan Penerangan. Menurut Penelitian, kursus itu akan diarahkan untuk penerangan djadi buhan mementingkan „Seni pedalangan". Disana telah dapat diadakan kursus kerawitan yang sendirinya bermanfaat juga kelengkapan keperluan pedalangan. Selain itu juga berdiri memperkembangkan kesenian disana, dan pernah diadakan pergelaran pula. Menilik pedalangan yang diusahakan oleh perkumpulan Marsudi Wirama itu, maka sudah barang tentu yang diadjarkan adalah pedalangan tehnik Surakarta.
IIL BANTUL.
Daerah Bantul banyak terdapat dalang-dalang yang baik, misalnya Soewandi Kuweni, Cermotarjono (Ki Pardjan); Aditarjono, (Susilan); Soewondo, Soejatin dls. Keturunan Dalang didaerah ini, banyak juga yang masuk kursus Habiranda, dan sudah ada yang mendapat idjazah tingkat pertama.
IV. SLEMAN.
Daera.h kabupaten Sleman juga masih terdapat dalang-dalang yang sebaja dengan Ki Cermotarjono (Pardjan), diantaranya: Ki Bekel Cermocarito, Pakem; Gondhomarijo, Ngadjeg Kalasan; dls.
Organisasi pedalangan, tidak ada. Akan tetapi dari kehendak sendiri banyak pula yang menuntut pelajaran ke kursus Habiranda.
LAIN - LAIN
a. Dalang-dalang itu pada umumnya berpendirian kolot. Tidak suka berorganisasi. Sudah dua kali diadakan percobaan, namun bubar juga . Yaitu : Eka Mardi Budjangga yang didirikan pada tahun 1937 dan pada tahun 1955 didirikan pula dengan nama „Pcrkumpulan Dalang Ngajogjakarta". Akan tetapi organisasi yang tersebut belakangan inipun tidak hidup segar.
b. Dari pihak Keraton Jogjakarta, diusahakan juga dengan menerima dalang seluruh daerah Jogjakarta sebagai MAGANG habdi Dalem Dalang. Dan secara bergiliran, mereka itu di cobanya pada waktu bedol songsong, dls.
c. Mengenai pelajaran wijaga untuk pedalangan yang khusus tidak ada. Wijaga¬wijaga pedalangan terdiri dari wijaga-wijaga karawitan saja, dan mereka bekerja mengiringi tabuhan wayang hanyalah secara sambil lalu. (Sambil berpraktijk). d. Dalam memaju kan pedalangan dan dalang serta wijaga, maka tidak boleh di¬lupakan bahwa Radio Republik Indonesia Cabang Jogjakarta turut serta berdjasa; walaupun pada umumnya hanya berpendapat kebetulan (kapinudjon). Akan tetapi para dalang itu diseleksi oleh R.R.I. dengan mencoba dalang untuk siaran dan para pendengar itulah sebagai bukti baik atau tidaknya.
t. Dalang-dalang di Jogjakarta umumnya tidak Jbelum baik antawacana/bahasanya karena pengaruh tutur katanya (cakap) sehari-hari kurang memperhatikan pada bahasa2 pedalangan, sedang mereka itu bersikap seperti a la Habiranda.
f. Keluaran Habiranda sudah banyak yang mempraktijkkan mendalang malah ada pula yang menjadi Professional.
B. WAYANG.
Sesudah ditanda tanganinya Perjanjian Gianti, ber tahta Sri Sultan Hamengku Buwono ke: I: di Jogjakarta (Ngajogjakarta Hadiningrat). - 1755 - M. Waktu Pa¬ngeran Mangkubumi lolos dari Surakarta, Panatah kinasih yang bernama Djajaprana dengan anaknya yang baru berumur 16 tahun, mengikutinya.
TAHUN 175,5 s/d 1830.
Jalan Peperangan Gianti itu selalu berpindah-pindah menurut siasat. Ketika peperangan didaerah Kedu dan Bagelen Ki Djajaprana dengan anaknya yang bernama Penatas, bertempat di desa Dana Raja daerah Wanasaba.
Djaka Penatas kebanyakan turut aktif bertempur, dan sekali tempo pergi ke Dana Raja, guna memberikan laporan kepada ayahnya, dimana tempat markas yang baru. Setelah ia turut berperang disekitar Tidar, dan Barisan Mangkubumen pindah ia tidak ikut, sebab sehabis peperangan itu ia kembali ke Dana Raja menemui ayahnya; dan sesudah lapor kemenangan peperangan Ticiar, ia segera ke Ngadiredja (Markas), akan tetapi sudah terdapat sepi, dan kemudian kembali ke Dana Raja lagi. Disana Penatas meneruskan menatah wayang.
Di Dana Raja, Ki Dalang Djajaprana bertempat tinggal dirumah orang bernama Atak. Selama Ki Djajaprana disana kebutuhan hidupnya dicukupi oleh Ki Atak. Sebagai pembalas budi, maka Ki Atak diberi pelajaran menatah wayang. Persaudaraan makin erat, dan Djaka Penatas dikawinkan dengan anak Ki Atak yang bernama Sutijah. Sesudah berbesanan itu, Djajaprana dan Penatas berpamitan akan menusul Gustinya, sedang Rara Sutijah ditinggal dengan sudah berbadan baik. Seteiah masanya, lahirlah anak Penatas itu dan dinamakan Bagus Riwong. Mulai kecil ia senang turut menatah wayang seperti kakeknya (Atak).
Peperangan berhenti, Perjanjian ditanda tangani, Sri Sultan Hamengku Bu¬wono ke I ber tahta di Jogjakarta. Empu Djajaprana dan Penatas meneruskan peng¬abdiannya. Keduanya menatah dan menyungging wayang purwa. Wayang yang dibawa dari Surakarta didjadikan blak (pola) pembuatan wayang seterusnya.
1. Wayang buatan ki Djajaprana, mewudjutkan gaya tari, yaitu andadap.
2. Wayang buatan ki Penatas, wandanya sama, akan tetapi tatahannya lebih halus dari pada tatahan Empu Djajaprana, dan mewudjutkan gaya berdiri. Sunggingan wayang kedua empu itu masih sangat bersahadja, jalah warna turunan; hanya bedanya sunggingan Empu Djajaprana itu hanya dihiasi dengan Cawen (guratan) sedang sunggingan Empu Penatas, memakai drendjeman.
3. Ki Atak setelah mendengar kabar bahwa besan dan menantunya masih hidup, dan mengabdi ke Keraton Jogjakarta, lalu pergi ke Jogjakarta, sambil membawa wayang buatannya.
Wayang buatan Ki Atak itu: peridek, gagah (kakkong), yang sampai sekaraag dsebut wayang Kedu. Diwaktu Ki Atak pulang kembali ke Dana Raja, maka Penatas menoikuti dan disana bertemu dengan anak bininya. Kemudian anak bininya diboyong ke Jogjakarta.
4. Riwong, adalah gemar dan giat menatah serta menyungging. Wayang buatan¬nya lain dari ketiga bentuk wayang yang telah ada (dari Atak, Djajaprana, Penatas). BlrQernya wayang itu tidak kak-kong, tidak berdiri dan bukan gaya tari, akan tetapi diantara itu semua, yang istilahnya disebut „Prajung".
Tambahan Empu Riwong inilah yang terbagus dari semua penatah wayang. Tapak tatahan halus, akan tetapi masih kuat. Sedang tatahan Ki Djajaprana kuat, al-an tetapi tidak halus; sedang tatahan bapa (Penatas) sama halusnya dengan tatahan Empu Riwong akan tetapi tidak kuat; tatahan semacam tatahan Empu Penatas selanjutnya tatahan „ngrawang". Sunggingan Empu Riwohg seimbang saja dengan sunggingan bapa dan kakeknya. la menambah sunggingan itu dengan kembang-kembang kayu apu dan picisan pada bagian badong wayang, yang istilah dalam sunggingan disebut bludir.
Setelah dewasa Empu Riwong diambil menantu oleh Ki dalang Paku di Waja, Kulonprogo, dikawinkan dengan anaknya perempuan bernama Rara Suprih.
5. Dalam perkawinan ini mempunyai anak perempuan bernama Parnrih, dan anak laki-laki diberi nama Grenteng.
Grenteng berbakat dalang, mendalangnya bagus. Kecuali mahir mendalang, iapun dapat menatah dan menyungging. la maju sekali belajar pedalangan, terutama mengenai sejarah wayang. Lakon-lakon dalam „La yang Purwacarita" sudah selalu ada diluar kepalanya (sangat hafal).
Lain dari pada sunggingan tersebut diatas, ia menambah sunggingan dengan corak sebagai sinar, yang biasanya kelihatan dipajung kalau menelangkup, yang didalam istilah sungging dinamakan „Clacapan".
Kecuali menatah wayang kulit, ia pandai juga mengukir kaju, dibuatnya ber¬wudjut golek. Dan iapun mahir memainkannya golek itu.
6. Lain dari pada Djajaprana dan Resapanatas, ada seorang dari Surakarta menyusul ke Jogjakarta, namanya asli tidak terang. Sesudah diterima pengabdiannya, ia diperbantukan menatah di Keraton juga melajani pesanan-pesanan diluar Keraton.
Kesimpulan penatah (pembuat wayang) diatas, adalah sbb.:
l. Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I penatahnya: Empu Djajaprana, dan Ki Resapanatas.
2. Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II penatahnya: Empu Djajaprana, Reso¬panatas dan Maraguna.
3. Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono III penatahnya: Resopanatas, Maraguna dan Riwong. (Ki Djajaprana sudah meninggal).
4. Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono IV penatahnya bernama: Resopanatas, Empu Riwong, (Ki Maraguna sudah meninggal).
5. Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono V penatahnya bernama: Resopanatas, Empu Riwong kembali ke Wadja, untuk menggemblen,g dalang Grenteng (anaknya).
II Tahun 1830 s/d 1925. -
Sepeninggal Empu Riwong, maka Empu Resopanatas mempunyai kader yang telah dididik menatah, bernama Kertiwanda.
Pada zaman ini, Empu hesopanatas meninggal dunia. Dan Ki Kertiwanda menjadi abdidalem penatah, dikala Sri Sultan Hamengku Buwono ke VI.
Disamping melajani pekerdjaan Sri Sultan, Ki Kertiwanda juga menjadi pe= natah kepatihan (Danuredja/Danudiningrat) dan K.G. Paku-Alam ke VII. Penatah dizaman ini boleh dikata hanya Ki Kertiwanda satu-satunya penatah yang baik.
Di Jogjakarta ada seorang abdidalem urusan Minuman Sri Sultan, bernama Ki Sasrawinangun. Ia pandai menatah dan bagus buatannya. Ki Sasrawinangun menjadi Bekel dizaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII, dan mengerdjakan menatah wayang jasan Sri Sultan. Penyungging dizaman Sri Sultan ke VII adalah Ki B Rajaguna.
Penyungging B Rajaguna mempunyai anak bernama Ki B Rajasuwarna yang pandai menatah wayang, dan juga menatah pada zaman Sri Sultan ke VII. ,
Ki B Rajasoewarna ini banyak dipakai tatahannya oleh K.G. Putra (Pangeran Hadipati/putra Sri Sultan ke VII). Sebagai kawan menyungging (tatahan Ki Djaja¬suwarna) adalah abdi dalem Kadipaten bernama Ki Pawirasemangku.
Kedua penatah dan penyungging tsb., tiap harinya bekerja dikasatrian dengan kawan-kawannya bernama: Ki Bekel Prawirasucitra (Anak Kertiwanda); Bekel Pra¬wirasucitra ini adalah penatah. Lain kawannya sepekerdjaan dan bagus juga garapan¬nya, jalah Ki Bekel Prawirahudaja, Ki Bekel Djajeng Tilarsa dan Ki Bekel Mangkudigda. Kecuali K.G. Pangeran Hadipati, ada lagi putera Sri Sultan ke VII yang sangat maju kearah pedalangan jalah K.G. Pangeran Purubaja yang kemudian menjadi Sri Sultan ke VIII.
Penatahnya: Ki Bekel Sosrowinangun, dibantu oleh Ki Bekel Prawirasugita dan Ki Prawirasekarta. Penyunggingnya: Ki Djajenggena, Edris dan Sangidu, serta Secadarma. Setelah beliau menjadi Pangeran Adipati, maka penatah dan penyung¬ging itu mendapat tanda terimakasih. Sebagai penghargaan Ki Djajenggena diangkat menjadi Bekel Prawiramerteni; Sdr, Edris diberi nama Ki Prawiranarta dan Sdr. Moch Sangidu diberi nama Prawiraseca.
Kegiatan K:G. Hadipati ini makin lama makin tambah, terbukti dengan tambahan penatah dan penyunggingnya yang bernama Ki Prawirokerto dan Ki Prawiromangku. Sesudah K.G.P. Hadipati dinobatkan menjadi Sri Sultan ke VII maka penatah yang tua-tua sudah meninggal dunia, sehingga mengabdikan beberapa abdidalem diling¬kungan natah dan nyungging, dengan mengadakan pembaharuan. Penatah diperkuat dengan Ki Prawirosekarto, Ki Megarsemu dari lingkungan abdidalem pasinden (wijaga) dan Ki Mangkuradjoso dari ordonans. Perlu diketengahkan disini, bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII ketika masih menjadi Purubaja membuat wayang Madya.
Dalam hal ini diketahui oleh Sri Sultan Fiamengku Buwono ke VII dan pem¬buatan tsb. tidak dibenarkan oleh beliau. Maka pembuatan wayang madya tsb, tidak dilandjutkan, dan sampai sekarang masih tersimpan wudjud gebingan.
Banyak sekali kemajuan-kemajuan dalam zaman Sri Sultan ke VIII, misalnya membuat kitab „Bratajuda", wayang orang yang termashur itu, dan sebagai yang terkuat jalah G.P.H. Tedjokusumo, B.P.H. Surjadiningrat, K.R.T. Wiroguno, K.R.T. Djaja¬dipura clan- masih banyak lagi..
Pula Sri Sultan ke VII inilah mendirikan kursus dalang Habiranda. Tahun 1925 s/d 1945 dst.
LINGKUNGAN PAKU-ALAMAN.
Kegiatan para pembuat wayang itu pada zaman K.G. Pakn-Alam ke IV dan ke VII. Dizaman K.G. Paku-Alam ke I termashur perihal kesusasteraan.
Dizaman K.G. Paku Alam ke II menerima tanda sih katresnan berupa wayang Rama dari Sri Sultan Hamengku Buwono II. Kemudian ditambah (dilengkapinya. Dizaman K.G. Paku Alam III-pun meneruskan melengkapi wayang Rama tersebut. Dizaman K.G. Paku Alam IV jasa wayang dengan penatah Ki Kertia-anda, wayang itu bentuknya wayang Mataraman.
1. Pada masa K. G. Paku Alam ke IV ada kerabat yang pandai menatah, jalah bernama Raden Mas Pandji Sudjonopuro yang bekerja pada Kantor Kapudjanggan Pura Paku Alaman. Menurut keterangan sekarang masih ada wayang hasil tangan beliau jalah Darma¬kusuma (Judistira) dan Permadi.
2. Lain dari pada Raden Mas Pandji Sudjonopuro, ada lagi Raden Pandji Notoredjo yang bekerja pada Kantor Kapudjanggan di Pura Paku Alaman juga sebagai kawan sehaluan R.M. Pandji Sudjonopuro.
Di zaman K.G. Paku Alam ke V tidak terdapat keterangan jasanya wayang, akan tetapi giat dalam lapangan seni tari dan kerawitan.
Beliaulah yang menciptakan beksan Bandjaransari, yang serba memperguna-kan sekar-sekar Hageng yang sendirinya beliau menciptakan gending sekar Hageng tersebut. Kangdjeng Gusti Paku Alam ke VI melengkapi wayang rama pula. Dimasa K.G. Paku Alam ke VII kecuali menambah wayang rama sehingga menjadi lengkap sama sekali, beliau jasa wayang dengan pola Kertiwanda; wayang itu semuanya memakai keris.
Dalang zaman ini, bernama Ki Rediguno, dan Somokarijo. Sedang pemimpin pada staf kesenian yang dinamakan „Langenp Raja" ini adalah Ki Wirjodjawoto abdi dalem berpangkat Mantri. Ki Djajengtarjono kerap kali ma yang disana. Ki Wirjo¬djawoto banyak pengetahuannya tentang wayang, terutama wayang „GEDOG". Sehingga ia kerap kali disuruh mendalang di Cakraningratan, (Danuredjan ke: VI) dan Mangku¬bumen (Eyang Sri Sultan ke IX). Wayang gedog itu kebanyakan dipakai pada sehabis penganten sepasaran, maka pedalangan gedng tidak berkembang dan terbiikti sekarang pedalangan ini sudah hampir lenyap sama sekali.
Bilamana ada pertundjukan wayang gedog, maka pertundjukan itu sudah di¬robah dari semula, karena pakelirannya nampak tidak sedap dipandangan dan tak disukai oleh masyarakat susila.
PENYUNGGING DI ZAMAN K.G. PAKU ALAM KE VIII
BERNAMA R. LURAH DJAJENGUTORO.
LAIN-LAIN.
a. Macam wayang.
1. Wayang purwo banyak, maupun dalam keraton, maupun diluar keraton.
2. Wayang yang dibuat pada zaman Kangdjeng Sultan Hagung Hanyokro-kusumo di keraton Jogjakarta masih ada, jalah selembar wayang „Kuda". Wayang ini konon dibuat ketika Kanjeng Sultan Hagung menambak Segarajasa. Pada wayang itu bertulisan:
KAPAL SEMBRANI JASANIPUN KANGDJENG SULTAN HAGUNG NALIKA BENDHUNG SEGOROJOSO".
3. Wayang-wayang yang „s6da" (istilah wayang yang sudah rusak) dilabuh dilaut selatan (kidul).
4. Wayang pusoko buatan yang telah ratusan tahun, masih ada dikeraton.
5. Wayang „TRLTRS" yaitu wayang yang memakai breliant, adalah jasan almarhum Kangdjeng Gusti Putro, dan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
6. Sri Sultan Hamengku Buwono yang ke VIII pun membuat wayang yang bergegel emas.
7: Sri Sultan ke VIII jasa juga wayang-wayang kera yang berkepala sama dengan wayang raksasa bala tentara Prabu Maesasuro.
8. Wayang „KULUK" adalah jasan Sri Sultan Hamengku Buwono V.
9. Wayang „CUNDUK" adalah jasan Sri Sultan Hamengku Buwono V.
10. Wayang „TEPPN" adalah jasan Sri Sultan Hamengku Buwono VI.
11. Wayang pedalangan yang dulu pernah digaduhkan untuk kursus Habiranda dan sekarang dipakai untuk wayangan „Bedolsongsong", adalah jasan Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII.
12. Wayang „LOKAPALA" adalah jasan Kangdjeng Gusti Achadijat (Gusti Putra) putera Sri Sultan ke VII. Wayang bala tentara Mahispati, seperti wayang para Pandawa tetapi memakai sampir. Maka ketelah wayang „SAMPIR" juga . Wayang ini lengkap hingga dapat dipakai pada lakon „RAMA".
13. Wayang „PANDJI" adalah jasan Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII. Wayang itu adalah gambar pradjurit, tetapi hanya diambil yang berpangkat Pandji saja.
14. Wayang „GEDOG" di Keraton dan pura Paku Alaman, ada semuanya.
15. Wayang „RAMA" terdapat di Keraton Jogjakarta serta di Pura Paku Alaman.
16. Wayang ;,MADYA".
17. Pun Wayang „KLITIK" terdapat di Kera,ton serta di Pura Paku Alaman. Diluar Keraton sudah barang tentu terdapat pula wayang purwa yang dimiliki pa¬ra bangsawan, kaum hartawan, para dalang berikut gamelannya. Pun banyak pula orang¬orang bukan bangsa Jawa yang memiliki beberapa kotak wayang-purwa yang lengkap. Berhubung dengan beberapa hal maka ternyata bahwa beberapa buah wayang aseli Keraton Jogjakarta pernah berpindah-pindah tangan tersasar keluar jauh dari pada Keraton. Oleh karena itu maka tidaklah mengherankan bahwa disana-sini terdapat bentuk-bentuk wayang yang sempurna berkat contoh-contoh wayang yang sangat indah itu.
Wayang-wayang jasan Sri Sultan Hamengku Buwono I yang pernah terdampar jauh, tetapi kini telah kembali kepangkalannya antara lain:
a. Werkudara, nama Kjahi Bajukusuma, dari Tuan Wijnschenk Sanasewu.
b. Judistira, nama Kjahi Widjajakusuma, dari seorang Guru sekolah di Tegal (Pe¬kalongan).
c. Ardjuna, nama Kjahi Pancaresmi, dari Tuan Con Hwi, Wates (Kulon-Progo).
d. Ardjuna, nama Kjahi Judasmara, dari Ambarawa.
e. Ardjuna, nama Kjahi Djajaningrum, dari seorang pegawai Kelurahan Salatiga. Pada permulaan Hari Proklamasi maka seni-pedalangan Jogjakarta kelihatan lesu, tidak seperti pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX berusaha melengkapi wayang-wayang yang sudah ada serta berhasrat mengambil inisiatip untuk mengadakan wayang-orang dengan ceritera dari kitab Menak.
Sri Paku Alam VIII telah menerima hadiah dari Sri Susuhunan P.B. 1 berudjud sebuah kotak wayang-purwa lengkap.
Selain yang tersebut diatas itu maka pada masa sebelum perang duma II. di Jogjakarta terdapat wayang yang disebut POTEHI (mirip wayang Tionghoa yang pernah dipertontonkan dalam bahasa Daerah serta Melaju dengan iringan gamelan Slendro serta mengikuti tehnik wayang-purwa.
Pada tahun 1950 maka di Jogjakarta telah tergubah suatu bentuk wayang yang diberi nama „Wayang Pancasila" oleh almarhun Harsono Hadisubeno, seorang pegaa-ai daripada Kementerian Penerangan R.I. dengan maksud untuk alat penerangan kepada Rakyat. Ujud wayang Pancasila itu seperti wayang-purwa dengan beberapa perubahan, seperti: diberi peci, kemeja, memakai pistol, kasatria-kasatria yang berpihak rahaju diberi tanda garis merah-putih dan sebaliknya para angkara-murka diberi tanda merah, putih dan biru, pula memakai topi baja dlsb. Selain wayang Pancasila ini ada pula Wayang-suluh dengan maksud yang sama dari Kementerian Penerangan.
Wayang untuk permainan anak-anak yang diperbuat dari kertas sampai sekarang masih banyak dibuat dan beredar di seluruh daerah.
Wayang-kulit purwa ragam Jogjakarta itu pada dasarnya mempunyai tiga macam corak wanda. Tidak semua wayang mempunyai wanda, akan tetapi kebalikannya ada pula wayang yang dibuat lebih dari pada tiga wanda, sebagai misal:
a) Adipati Karna mempunyai wanda: Reca, Begal dan Rawe.
b) Puntadewa, mempunyai wanda: Panuksma dan Pedasih.
c) Kresna mempunyai wanda: Rondon, Mangu, Gendreh dan Surak.
Kini Kawedanan Hageng Punakawan Kridamardawa atas titah Sri Sultan H.B. IX telah menyelenggarakan suatu pelajaran menatah dan menyungging untuk para peminat seni tatah-sungging tanpa dipungut biaja dan para pengasuhnya ialah hamba Keraton para juru penatah dan penyungging.
Adapun teknik pedalangan ragam Jogjakarta itu urutan paugerannya sebagai berikut :
1. Djedjeran, ada 7 macam, yaitu : kawitan, Sabrangan, Djedjer Bondet, pandita, uluk-uluk, Sumirat dan Rina-rina.
2. Perangan, ada 7 kali, yaitu : perang ampjak (rampogan-gunungan), simpangan, gagal, perang begal atau perang kembang, perang alit, perang tanggung dan perang ageng.
Perang ampjak sering diganti dengan perang kadung. 3. Gara-gara tak boleh diabaikan.
4. Tajungan juga harus ada.
5. Istilah-istilah gerak perangan ada namanya sendiri-sendiri. -
6. Adegan. Djedjer ialah adegan yang diiringi dengan gending pada babak pertama dan lain-lainnya ialah Adegan Gladagan, gerak wayang yang hanya diiringi dengan srepegan dan bukan gending.
7. Sekalian gerakan wayang pada kelir diiringi dengan grepegan.
8. Geraknya wayang bambangan dari pertapaan diiringi dengan ajak-ajak.
9. Kembalinya Sena dari tajungan dengan ajak-ajak.
10. Sulukan, ada yang disebut: lagon, hada-hada, suluk Plencung, suluk Djingking, suluk Galong, Tlutur dsb.
11. Tancep kajon (penutup) disertai sampak manyura dan diteruskan dengan gending Gondjang-anom sebagai tanda bubaran.
Sebagai sumber ceritera wayang-kulit ragam Jogjakarta iaiah kitab: „La yang Purwacarita" dan seterusnya dengan terciptanya kitab: „Serat Purwakanda" maka makin bertambahlah jumlah lakon-lakon wayang. Sebagian besar lakon-lakon yang berlaku di Jogjakarta ini disebut lakon baku, sedang lakon-lakon carangan (cabang) sebagian besar menggubah dari Surakarta atau gubahan perseorangan.
Selain adanya lakon-lakon baku dan carangan ada pula lakon seloka yang ber¬bentuk baru sindiran zaman, seperti „P Rajabinangun", gubahan Sdr. Rijasudibjaprana (Basor), pegawai Kementerian Penerangan R.I. Jogjakarta. *) Ceritera lainnya ialah: „Gunturwisesa dan Nusabineka".
Sehuah kitab tuntunan pakeliran pedalangan langgam Jogjakarta telah dapat dicetak serta dikeluarkan oleh Balai Pustaka dengan ceritera, „Rabinipun Surjatmadja" gubahannya almarhum Kartaasmara.
Madjallah „Pandjangmas" yang diterbitkan oleh Pagujuban Anggara Kasih telah banyak melontarkan lakon-lakon dengan tehnik pakeliran Jogjakarta pada tiap penerbitan.
Disamping ceritera-ceritera yang sumbernya dari kitab-kitab tersebut diatas, maka kini telah banyak terdapat pula lakon-lakon yang asalnya dari kitab „Pustaka Raja", serta dari tersiarnya kitab-kitab pedalangan ragam Surakarta.
Pun pula disebabkan ceritera-ceritera itu dilontarkan oleh rombongan-rom¬bongan wayang-orang, tambahan lagi hubungau antara dalang;-dalang Jogjakarta dan Surakarta makin hari makin baik.
Kalau orang akan melihat pertundjukan wayang-kulit sampai tamat, maka berarti ia harus berdjaga semalam sentuk. Berhubung dengan keadaan zaman baru, maka sangat dirasakan perlu adanya usaha-usaha untuk mempersingkat waktu per¬tundjukan wayang-kulit dengan tidak mengurangi nilai-nilai tinggi didalamnya. Dalam soal ini pulalah Jogjakarta keluar sebagai pelopor. Habiranda melaksanakan penying¬katan waktu ini pada waktu udjian penghabisan siswa-siswanya.
Atas usaha Panitya Permanent Pertundjukan Wayang-kulit untuk anak-anak sekolah, maka telah berkali-kali diselenggarakan pertundjukan wayang-kulit hanya 41/2 jam lamanya.
Malahan pada tahun 1955 diadakan lagi suatu percabaan penyingkatan waktu yang sangat berani, tidak 4 1'2 jam melainkan 2 i/2 jam. Teknik pakelirannya di¬susun oleh Sdr. Rijasudibjaprana dan pedalangannya dilakukan oleh R. Bekel Cerma¬wicara.
Kalau dikala dahulu dilakonkan oleh seorang daiang butahuruf, Ialu meningkat dalang keluarga Sekolah Rakyat atau pernah sekolah di S.R. maka kini di Jogjakarta seni pedalangan telah mendapat perhatian serta dipelajari dengan giat oleh beberapa maha siswa Universitas Gadjah Mada, bahkan sudah ada yang amat mahir mendalang dan pernah dipamerkan di-istana Presidenan Jakarta pada tanggal 3 Maret 1956 serta mendapat succes besar.
Demikianlah goresan selajang-pandang tentang perkembangan seni pedalangan ragam Jogjakarta Hadiningrat sepand yang djalinan sejarah selama 200 tahun, dengan kesimpulan bahwa Kebudajaan/Kesenian Jogjakarta sedari ia itu dilahirkan, tidak statis, lebih - lebih steriel, melainkan selalu berubah, maju berkembang,berganti, dapat melaraskan diri dengan alam dan suasana baru, serta pandai menumbuhkan senibudaja baru pula.
BAB IV.
SEKITAR SENI TARI GAYA JOGAKARTA SELAMA 200 TAHUN
SETELAH berakhirnya perang GIANTI pada 13 Februari 1755, MATARAIVI dibagi menjadi dua, SURAKARTA (waktu itu yang sedang ber tahta Sri Susuhunan Paku Buwono III) dan JOGJAKARTA Sri Sultan Hamengku Buwono ke I).
Dari Surakarta Sri Sultan Hamengku Buwono ke I membawa ahli-ahli seni kerawitan, sungging dan tari, diantaranya: Ki Surabrata dan Ki Prawiralaja, dua-dua¬nya ahli dalam seni-tari. Maka mula-mula bentuk tari Jogja dan Solo itu sama, ialah yang asalnya dari MATARAM. Ini dapat dibuktikan, bahwa waktu Sri Sultan Jogjakarta datang ber¬kundjung di Surakarta beliau dijamu beksa „TAJUB" dan beliau sendiri turut serta menari.
Sri Sultan Hamengku Buwono ke I menggubah (yayasan Hamengku Buwono I) beksan TRUNADJAJA nama beksan ini didasarkan menurut namanya golongan abdi¬dalem „TARUNA-DJAJA" (taruna = muda dan djaja = menang), sesuai dengan sifat-sifat tarinya, yang mempergunakan senjata lawung (semacam tombak tetapi tidak pakai mata tombak) mengesankan suatu latihan perang-perangan. Tarian dilakukan oleh 42 orang pelaku (menurut J. GRONEMAN) bertempat di Kepatihan Danuredjan pada waktu sesudah upacara perkawinan Keraton bila Sri Sultan menantu. Beksan .ini biasa juga disebut beksan „LAWUNG" menurut alat senjata yang dipergunakan. Ada dua macam beksan lawung ialah:
1. Lawung alus (gerak tarinya alus).
2. Lawung gagah (gerak tarinya gagah).
Jumlah penari.
1. Beksan lawung alus:
a. Penari alus sebagai „djadjar" = 4 orang.
b. Penari alus sebagai „Lurah" = 4 orang.
c. Penari gagah sebagai „botoh" = 4 orang.
2. Beksan Lawung gagah: -
a. Penari Bapang sebagai „Djadjar" = 4 orang.
b. Penari Kalang Kinantang sebagai „Lurah" = 4 orang.
c. „ „ „ „ botohnya = 2 orang.
d: Penari pembawa lawung (ploncon) = 4 -orang.
e, . Penari Pelajan, biasa disebut „Sala'oto" 2 orang.
Pada beksan „Lawung gagah" gending-gending yang dipakai untuk mengiringi ialah: „RUMING TAWANG" untuk lawung Djadjar, dan „BIMA KURDA" untuk Lawung Lurah. Selain itu masih ada yang dinamakan beksan „GELAS" atau „Gendul", biasa juga disebut beksan „MADURA" dalam rangkaian beksan „TARUNA DJAJA". Pada tahun 1792 waktu Sri Sultan Hamengku Buwono ke II menggubah sebuah tari BEDAJA serupa dengan bedaja KETAWANG di Surakarta, jasan Sri Sultan Agung, dinamakan „BEDAJA SEMANG". Bedaja ini menceriterakan pertemuan antara Sri Sultan Agung dengan Nyai Rara Kidul.
Konon diceriterakan pula bahwa semasa ber tahta nya Sri Sultan Hamengku Buwono ke II di Keraton Jogjakarta telah diselenggarakan pertundjukan wayang-gedog dalam bentuk wayang-orang dengan iringan gamelan pelog.
Jasan Sri Sultan Hamengku Buwono ke I berupa wayang-orang mengambil ceritera „Gandawardaja". Jasan Sri Sultan Hamengku Buwono ke II wayang orang dua buah ceritera antara lain „Pragolamurti".
Sejak Sri Sultan Hamengku Buwono ke III sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwono ke IV karena keadaan pergolakan dalam Keraton, kesenian tidak mendapat perhatian. Baru sejak Sri Sultan Hamengku Buwono ke V (1822 - 1855) seni tari mendapat perhatian lagi. Pudjangga Keraton yang ternama waktu itu ialah B.P.H. Surijawidjaja. Banyak ceritera-ceritera untuk wayang-orang waktu itu digubah antara lain: Lakon Pregiwa-Pregiwati.
Djajasemedi, dan Petruk djadi Ratu. Pada tiap-tiap bulan Ruwah tentu meng¬adakan pergelaran wayang-orang.
Dapat dibajangkan bahwa pada waktu itu telah didapat banyak penari. Dalang yang menceriterakan jalan nya wayang pada waktu itu belum mempergunakan buku catatan (buku kanda) seperti sekarang ini, tetapi merupakan apalan. Terkenal jaman itu seorang dalang Cebol. Dan baru pada jaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke VI jalan nya ceritera dibuatkan catatan tertulis berupa buku, biasa disebut „serat kanda" (hingga kini di Surakarta masih cara yang lama, tidak memakai catatan tertulis).
Pada jaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke V menggubah beksan „Eteng" yang sebelumnya itu telah ada juga gubahan Sunan Puger (Paku-Buwono ke I) dari Keraton Kartasura (dalam abad ke 17). Beksan ini dilakukan oleh empat orang penari alus bersenjata keris dengan djebeng (semacam perisai) merupakan ksatrija yang diadu perang, dan empat orang penari botoh, yang juga memakai tameng menarikan gaya gagah. Masih ditambah lagi empat penari pelajan, merupakan tarian penuh gerak-gerak dan adegan lelucon (dagelan).
Karena adanya larangan-larangan untuk mengadakan dan mengadjarkan tarian berdiri serupa seperti di Keraton, maka banyak usaha-usaha untuk menciptakan bentuk-¬bentuk tari berjongkok atau jengkeng. Pada tahun 1878 (jaman pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono ke VI) Raden Tumenggung Purwadiningrat, putera Sri Sultan Hamengku Buwono ke III kakak Raden Tumenggung Wiraguna, seorang ahli dalam lapangan seni kerawitan (pencipta titi-raras rante yang hingga kini masih diper¬gunakan di Keraton Jogjakarta), berhasil mencipta beksan „LANGENDRIJA" yang diambilkan dari lakon-lakon wayang klitik ceritera Damar Wulan. Tari ini merupa¬kan tari dj.engkeng, dengan mempergunakan tembang macapat sebagai dialoog. Tentang terciptanya tari Langendrija diceriterakan, bahwa mula-mula hanya merupakan pem¬bacaan dengan lagu tembang macapat dari buku Damar Wulan oleh seorang dalang, yang sejak tahun 1882, dilakukan dalam bentuk tari berdjongkok atau djengkeng. Sewafatnya Pengeran Adipati Aria Mangkubumi ke IV di Jogja tari Langendriya itu sudah tidak pernah dipertundjukkan lagi.
Di Surakarta terutama di Istana Mangkunegaran sebaliknya tari Langendrija itu mendapat perhatian yang sangat besar. Pelaku-pelakunya adalah wanita-wanita abdi-dalem istana Mangkunegaran.
Pada tahun 1890 di Jogja oleh K.P.A. Adipati Danuredja (masih K.R.T. Judo¬negoro) diciptakan sebuah beksan jengkeng juga mempergunakan tembang macapat pula sebagai dialoognya, dan ceritera mengambil dari serat „RAMAYANA" dinamakan „LANGEN MANDRA WENARA". Kecuali itu beliau telah menciptakan beksan djengkeng yang serupa itu mengambil ceritera dari serat MENAK dinamakan „SEMARA SUPI".
Juga Pangeran Prabuwidjaja berhasil mengguba.h beksa „LANGEN ASMARA" mengambil dari ceritera „MENAK".
Pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII kesenian tari mendapat perhatian besar, banyak lakon-lakon wayang-orang digubah pada waktu itu. Jaman itu pakaiannya wayang-orang belum mempergunakan jamang, dan baru jaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII diberi berpakaian jamang atau irah-irahan me¬nurutkan wayang-kulit.
Pada tahun 1914-1918 karena perang Dunia ke I pecah di Eropa, mempengaruhi juga keadaan perkembangan seni tari di Jawa, khususnya di Jogjakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1918 oleh Pengeran Surjadiningrat dan adiknya, ialah Pangeran Tedjakusuma dengan bantuan para ahli dari Keraton didirikan perkumpulan kesenian „Krida Beksa Wirama" yang mendapat subsidi dari Keraton berupa biaja dan pinjaman-pinjaman pakaian wayang. sejak itulah tari gaya Jogja mulai berkembang diluar istana dan mulai dikenal oleh masyarakat yang lebih lama. Tentu saja didalam jalan perkembangannya banyak ide-ide yang masuk dalam seni-tari itu, terutama dalam teknik pemberian pelajaran Krida Beksa Wirama merupakan pelopornya yang utama.
Pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII merupakan klimax kemajuan dan perkembangan seni beksa di Keraton Jogjakarta. Pertunjukan-pertunjukan wayang-orang sampai tiga atau empat hari malam kerap kali diadakan, dimana ratusan penari turut serta mengambil bagian. Empu-empu yang terkenal waktu itu antara lain: K.R.T. Purbaningrat, K.R.T. Djajadipura, dan masih banyak lagi yang tidak disebut-sebut namanya.
Beksan Lawun
Beksan -Lawung asli jogja Tari serimpi yan dapat memupuk
kehalusan budi gadis kita
SEKEDAR PERKEMBANGAN SENI TARI SEJAK BERDIRINYA KRIDA BEKSA WIRAMA
Dorongan untuk mendirikan perkumpulan seni tari Krida Beksa Wirama, adalah karena sejak berakhirnya Perang Dunia ke I pada tahun 1918 tidak ada seorangpun yang berniat memberi pelajaran seni beksa itu. Atas desakan dari Pergerakan Pemuda „JONG JAVA" yang minta diberi pelajaran tari dan gamelan yang mengirimkan utusannya terdiri dari dua pemuda, ialah R. Wiwoho dan R.M. Notosutarso, maka berdirilah K.B.W. pada tanggal 17 Agustus 1918, dengan susunan Pengurus: P.A. Surjadiningrat sebagai Ketua. P.A. Tedjakusuma sebagai Pemimpin Pelajaran tari. R.T.Wiroguno sebagai pemimpin pelajaran gamelan. R.M. Djajadipura sebagai Pemimpin Kapujanggan. R.W. Surjamurcita (sekarang K.R.T.Wiranegara) sebagai sekretaris. RT Puspadiningrat sebagai Bendahara. RT. Atmawidjaja, RW. Puspadirdja, RW. Sastrasuprapta, RP Djajapragola, dan P.A. Surjawidjaja sebagai Komisaris-komisaris.
K.B.W. dan JONG JAVA bekerja sama dalam menyelenggarakan seni tari ini; K.B.W. menyediakan Guru-guru dan Jong Java menyediakan murid-muridnya dari sekolah-sekolah lanjutan. Selain memberi pelajaran tari wayang-orang, KBW. juga memberi pelajaran tari-Bedaja-Serimpi, dan tidak lupa pula mengayarkan.tari wayang-orang, yang digubahnya setelah mengadakan pertunjukan wayang-orang Topeng yang dilakukan oleh penari-penari dari desa-desa dibawah pimpinan para dalang. Selain itu diluar Daerah Jogjakarta juga didirikan cabang-cabangnya, seperti di Jakarta, dibawah pimpinan Prof. Dr. Prijana dan di Malang oleh Dr. Surodjo, tetapi tidak dapat langsung sebab sejak jaman Kemerdekaan dua cabang itu sudah tidak merupakan cabang K.B.W, lagi. Di Malang berganti nama Mardi Budaja dan Jakarta bernama „Indonesia Tunggul Irama" (INTI) dengan Sdr. Drs. Kuncaraningrat sebagai pelopor dan pendirinya (bekas Wakil Ketua Irama Citra). Banyak pertunjukan¬-pertunjukan yang telah diselenggarakan oleh K.B.W. terutama pada jaman penduduk¬an Jepang (97 kali) dan tidak sedikit pula tenaga-tenaga penari yang telah dihasilkan yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh besar didalam banyak usaha-usaha perkembangan seni tari gaya Jogjakarta hingga dewasa ini.
Sejak tahun 1931 di Taman Siswa Pusat juga dipelajarkan tari Bedaja Serimpi dengan mengambil Guru-guru dari K.B.W. sejaj proklamasi Kemerdekaan R.I. pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga kira-kira Maret 1946 tak terdengar sesuatu tentang pelajaran kesenian Jawa, khususnya seni tari. Sebab semua tenaga dikerahkan untuk merebut kekuasaan dari lawan, baik Jepang maupun Belanda. Kesenian tidak terpelihara, yang didapat hanya pertunjukan-pertunjukan untuk kepentingan yang berhubungan dengan perdjuangan kemerdekaan kita waktu itu.
Oleh segolongan pemuda peminat seni Jawa hal ini sangat dirasakan dan dikawatirkan adanya stansi dalam seni tari; kita. Maka pada rapatnya bertempat di Gedung BTI. jalan Bintaran Lor telah diambil keputusan bulat untuk tetap mengadakan latihan-latihan pelajaran seni tari (rapat pada pertengahan bulan Maret 1946). Untuk usaha mengumpulkan tenaga-tenaga, sebagai sjarat diadakan pertundjukan secara besar-besaran dengan mengambil ceritera „CALON ARANG" bertempat di bangsal Kepatihan, yang diketuai oleh Sdr. Wasista Surjadiningrat, dibantu oleh Sdr. Sudharso dan Suhardono almarhum sebagai pimpinan teknisnya. Pertundjukan ini dilakukan pada tanggal 14 Djuli 1946. Para penari dan petugas-petugas lainnya sampai kepada pemukul gamelannya dilakukan oleh para pelajar sekolah landjutan, siswa K.B.W. dalam seni tarinya. Setelah pertundjukan itu berhasil memuaskan, maka dirasa, perlu akan adanya suatu organisasi yang dapat memberikan pelajaran-pelajaran kesenian Jawa. Maka terbentuklah badan persiapan untuk satu tahun yang tujuannya memelihara hidupnya kesenian Jawa hingga setiap saat berguna bagi pembangunan Negara.
Bentuk dari badan yang mempunyai tugas sebagai pembentuk kader kesenian itu terdiri atas tiga kekuatan ialah :
1. Dewan Ahli yang dipimpin oleh Sdr. Sudharso.
2. Dewan Perantara yang yang dipimpin oleh Sdr. Suhardono.
3. Pengurus harian yang mengemudikan jalannya organisasi diketuai oleh Sdr. Wasista Surjadiningrat.
Termasuk anggauta kader ini ialah semua anggauta siswa-siswa K.B.ti. di Jogja, yang telah dapat menari. Ada 11 orang kader putera dan 8 orang kader puteri. Kepada merekalah diharapkan kemudian nanti pertanggungan Jawa b terhadap pembangunan dalam lapangan seni Jawa . Latihan pertama dimulai pada tanggal 5 Oktober 1946 bertempat di pendopo Jawa tan P.P. dan K. Daerah Istimewa Jogjakarta (Wijatapraja). Murid yang belajar pertama-tama ada 156 anak laki-laki dan 180 anak puteri.
Tidak lama berselang sesudah terdjadinya aksi Militer Belanda ke-I K.B.W. akan mulai membuka latihan-latihannya kembali.
Maka diputuskan pada suatu rapat pembagian tenaga kader untuk K.B.V. sendiri, dan untuk melanjutkan usahanya di Wijata-Praja. Dan baru pada tanggal 25 Desember 1949 organisasi itu berupa perkumpulan bernama „IRAMA CITRA" dengan Ketua pertama Sdr. Astuti Notojudo yang meneruskan usaha latihan-latihan dipendapa Wijata-Praja.
Pada tanggal 28 Maret 1948 pengurus K.B.W. yang dipimpin oleh P.A. Surjadiningrat dan P.A. Tedjakusuma menyerahkan kedudukannya kepada Pengurus baru, yang diketahui oleh Sdr. Kusumobroto, dan pada tanggal 2 April 1948 dimulailah latihan yang pertama setelah untuk selama 3 tahun menghentikan tugasnya.
Setelah itu banyak perkumpulan-perkumpulan seni tari didirikan, tertera pada daftar Badan-badan Kesenian/Kebudajaan.
Pada akhir tahun 1954 oleh Jawa tan Kebudajaan Kementerian P.P. dan K. di Jogjakarta dikeluarkan uang subsidi untuk Daerah Istimewa Jogjakarta guna usaha memelihara dan mengembangkan kesenian daerah. Maka dibentuklah Balai Kesenian Rakyat dimasing-masing Kabupaten dan Kotapraja, yang mendapat pengawasan langsung dari Jawa tan P.P. dan K. Daerah Istimewa Jogjakarta. sejak perte¬ngahan tahun 1955 ini subsidi ini telah berhenti, hingga mengakibatkan terbengkelainya usaha-usaha dimasing-masing Kabupaten/Kotapraja itu.
Suatu peristiwa yang sangat penting bagi sejarah perkembangan seni tari gaya Jogja., ialah dengan diselenggarakannya konperensi seni tari ,Jogja pada tanggal % s. d 12 November 1955 dan selanjutnya menghasilkan terbentuknya sebuah organisasi bernama Badan Kontak Seni Tari Corak Jogjakarta.
TARI TOPENG.
Mengenai tari topeng pada lembaran umum telah disinggung-singgung. memang seni tari topeng di wilayah Jogjakarta mendapat tempat juga yang layak dalam masyarakat murba serta mempunyai sejarah perkembangan pula. Akan tetapi sayang sekali seni tari topeng boleh dikatakan telah hilang. Seni tari topeng mempunyai yang lama pula. Malahan didalam Kitab Brahmana purana telah dikatakan tentang adanya topengan. Pun pula dalam kitab pararaton menerangkan bahwa Sang Prabu Hayam Wuruk sering dan mahir menari tari topeng. Seni tari topeng ini tidak terdapat di Jogjakarta dan Surakarta saja melainkan di seluruh pulau Jawa, Madura dan Bali.
TARI BEDAYA.
Akan hal seni tari Keraton Jogjakarta itu dapat dibagi atas 3 golongan:
A. Tari Bedaja dan Serimpi.
B. Beksan dan
C. Wayang-orang (ringgit-tijang).
Jumlah penari bedaja itu didalam Keraton harus senantiasa 60 yang terlatih dengan seksama. Kecuali itu ada carik bedaja yang mengurusi hal-ichwal Bedaja, dan tidak perlu ikut serta dalam latihan-latihan. Kalau ada seorang Bedaja mengundurkan diri karena kawin dan sebagainya maka lowongan Bedaja itu lalu diisi magangan Bedaja (calon).
Latihan-latihan Bedajan itu senantiasa dilakukan pada malam hari ditratag Prabajeksa dibawah pimpinan beberapa orang guru tari-tarian yang berpengalaman. Bedaja-bedaja yang sudah mahir ditempatkan dibagian tengah sebagai contoh adik-adiknya. Apabila pada suatu ketika akan ada perajaan atau hari besar, maka diadakanlahlatihan-latihan tiap malam berturut-turut berikut latihan penghabisannya. Tari Bedaja ini biasanya dilakukan di bangsal Kencana setiap hari besar.
Tari Bedaja itu dilakukan oleh 9 orang puteri atau putera. Diluar Keraton oleh 7 orang. Di zaman sebelum Sri Sultan Hamengku Buwono VIII Bedaja puteri tidak berbaju kotang, kebalikannya Bedaja putera malahan berbadju kotang. Pun juga sanggul Bedaja puteri diatur seperti pengantin wanita. Bedaja lelaki sudah lama tidak berlaku sedari Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII.
Rakitan Bedaja ialah:
6 8
Apit ngajeng Endel wedalan ngajeng.
1. 2 3 4 5
Endel. Batak. jangga. Dada Buntil.
7 9
Apit wingking. Endel wedalan wingking.
Tari Bedaja itu isi ceriteranya diambilkan dari ceritera-ceritera tambo, sejarah dan ceritera-ceritera lainnya. Biasanya nama tarian Bedaja itu terbawa oleh gending yang dipakai mengiringi tariannya. Bedaja Semang besutan dari Bedaja Ketawang, menurut tradisi adalah gubahan Sri Sultan Hamengku Buwono II yang menggambar-kan pertemuan Sultan Agung Hanyakrakusuma dengan Kanjeng Ratu Nyai Rara Kidul seperti telah disebut diatas.
Adapun tari Serimpi itu dilakukan oleh 4 orang puteri yang menggambarkan perangnya pahlawan-pahlawan dalam ceritera Menak, purwa dan lain-lain. Tentu saja dalam penyelenggaraan tari Serimpi im dipahami pateri-puteri seimbang segala-galanya.
Serimpi Renggawati itu dilakukan oleh 5 orang. Sebenarnya Serimpinya sendiri 4 orang ditambah seorang puteri Renggawati. Serimpi Reng¢awati ini diambilkan dari kisahnya Angling Darma adalah seorang putera Mahkota yang masih teruna remadja yang pada suatu ketika terkena upata menjadi seekor burung mliwis. !liliais itunantinya bisa kembali menjadi manusia apabila badannya tersentuh tangan seorang puteri cantik djelita. Peristiwa itu dicerminkan dalam tari-tarian Serimpi Renggawati. Cerita Angling Darma ini berakhir dengan happy end.
Kalau sebelum Sri Sultan Hamengku Buwono VIII Bedaja itu memakai senjata pistol, maka hingga sekarang tidak lagi dan diganti dengan keris serta jebeng (dadap) atau panah beserta busur.
BEKSAN TRUNAJAYA.
Terciptanya beksan Trunadjaja tersebut diatas mungkin sekali digerakkan oleh suatu tradisi yang tiap-tiap hari Sabtu sore diadakan, yaitu latihan-latihan perang dengan watang diatas kuda yang disebut: watangan. Pada latihan-latihan ini maka dipalulah gamelan Kangdjeng Kjahi Gunturlaut dengan gending satu-satunya yaitu monggang. Beksan Trunadjaja ini tidak dapat dipertontonkan setiap saat, melainkan hanya pada waktu-waktu yang penting saja.
Beksan Trunadjaja yang lengkap biasanya memakan waktu beberapa jam. Sekarang oleh karena yang dipertontonkan hanya sebagian saja, yang gagah, maka waktunya dapat dipersingkat, tetapi tidak mengurangi jiwa beksan Trunadjaja yang sungguh gagah perkasa itu.
Satu hal yang perlu mendapat perhatian pada beksan Trunadjaja ialah tentang bahasanya. Bahasa yang digunakan disini ialah bahasa campuran Madura dan Jawa. Untuk mengiringi beksan Trunadjaja ini biasanya dipaluIah gamelan Kanjeng Kjahi Guntursari dalam gending-gending Gangsaran. Kagok liwung dan Bimakurda.
Tari Srimpi Ciptaan baru
BEKSAN WAYANG-ORANG.
Di Keraton Jogjakarta sedari Sri Sultan Hamengku Buwono ke I beksan Wayang¬orang sudah ada, bahkan sudah pernah juga dikirimkan ke-Surakarta untuk dipamerkan didalam Keraton. Ceritera-ceritera yang sudah pernah dimainkan misalnya: Gandawardaja, Pragolamurti, Djajasemadi, Petruk dados Ratu, Sri Suwela, Pregiwa-Pregiwati, Samba sebit, Ciptaning (dari wayang purwa). Ceritera-ceritera wayang gedog seperti:Djojolengkoro, Kudonorowongso, Pandji Lalejan dan sebagainya. Untuk keperluan pertundjukan wayang-orang ini diperlukan pemain sampai beberapa ratus, karena waktunya tentu satu sampai tiga malam sentuk. Seperti yang berlaku dalam pertundjukan wayang-kulit, maka dalam pertundjukan H-ajang-orangpun di Keraton menggunakan Gunungan juga yang dibuat dari pada papan. Konon gunungan semasa Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam pertundjukan wayang-orang pada tanggal 18, 19 dan 20 Maret 1939 masih dipakai juga : Semua peranan didalam lakon itu dilakukan oleh laki¬laki.
` Pada kiTa-kira tahun 1943 maka dimulailah oleh .angkatan muda-uniak dari sedikit kesedikit meninggalkan tradisi bahari dalam mengadakan tari-tarian bersama putera-puteri didalam peranan tari-tarian wayang, beksan petilan dan sebagainya. Pun pula melancarkan tari-tarian yang berbentuk ceritera atau sebagian dari sesuatu ceritera tidak lagi dari wayang purwa, wayang gedog atau Menak, melainkan dari kitab-kitab sejarah atau kesusasteraan seperti: Pararaton, Lutung Kesarung dan sebagainya.
Pada tahun 1921 Sri Sultan Hamengku Buwono VII berkenan memberi idzin kepada Krida Beksa Wirama untuk memberi pelajaran tari bedaja 'kepada siswa= siswanya. Dalam hal ini K.G.P. Adipati Anom yang kemndian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII sangat banyak djasanya. Dengan demikian maka, semendjak itu tari Bedaja tidak dimiliki dan dinikmati sebagian lapisan masyarakat saja„ melainkan masyarakat umum mulai melihat, menikmati, memudji dan ikut serta menyelenggarakan sebagai milik masyarakat ramai. Tari Golek yang sangat mashur digemari oleh masya¬rakat berkembang biak merata sampai meluas keluar daerah Jogja.karta.
MELUASNYA SENI-TARI.
Putera-puteri Jogjakarta telah banyak menyumbangkan. tenaganya kepada usaha¬usaha Pemerintah dalam lapangan kesenian untuk keperluari tukar-menukar kesenian antar Indonesia serta dikirimkan keluar Negeri yang mendapat hatsil gilang-gemilang.
Dalam masa perribangunan ini maka mulai tahun 1950 masyarakatangkatan muda sibuk membuat percobaan-percobaan serta menciptakan tari-tarian baru seperti : Sarira, Jogaprana, Kuda-kuda, Lajang-lajang, Langensekar dan sebagainya.
Apabila tadi telah terlihat kemajuan serta perkembangan seni tari pada umumnya mendapat sambutan serta perhatian masyarakat, maka seni-tari wanita. untuk keperluan tanggapan yang kini disebut Waranggana kelihatan mundur. Kader-kader yang terdidik tidak ada, sehingga untuk keperluan peralatan pada perkawinan, chitanan dan sebagainya masyarakat Jogjakarta terpaksa mendatangkan Waranggana-waranggana dari lain daerah. Hal ini disebabkan karena pada umumnya orang masih memandang rendah kepada seni tari Waranggana berhubung dengan pengalaman-pengalaman yang kurang sedap dipandangan. Seni tari Waranggananya sendiri memang baik. Akan tetapi memang ada. yang mengatakan sebagai ibarat: Sebatang pohon bunga yang indah didalam wadah yang murah. Oleh karena itu maka kini masyarakatlah yang wadjib memberi ganti atau memperbaiki wadah pohon bunga yang indah permai itu.
Dua peristiwa penting di Jogjakarta Hadiningrat yang perlu dicatat ialali pertukaran kesenian tiga Daerah Jogjakarta, Surakarta dan Jawa Barat yang pertarna diselenggarakan oleh Jawaban Kebudayaan pada tahun 1953 dan last but not least, Seminar Ilmu Kebudayaan diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada yang antara lain dikupas bahasa. Gamelan dan Tari dipandang secara musikografis pada tanggal 27 Juni 1956 yang diucapkan oleh Prof. Ir. Purbadiningrat serta, Ki Sindoesawarno Guru pada Konservatori Kerawitan Kementerian P.P. dan K.
DAFTAR NAMA-NAMA BADAN KESENIAN
WILAYAH JOGJAKARTA
no Nama badan Nama Pimpinan Alamat Subsidi
BAGIAN SENI TARI
1 Badan konstak senitari Yogyakarta Soemihardjo Wijotoprojo Bag. Kebudayaan DIY Jogja -
2 Irama Tjitra Soemihardjo Wijotoprojo Bag. Kebudayaan DIY Jogja Subsidi
3 Among Beksa KRTPurwadiningrat nDalem Purwodiningratan -
4 Krida Beksa Wirama RW Kusumobroto Bintaran tengah 16 Subsidi
5 Marsudi Wirama Ki. Padmosuwarna Terban taman 23 Subsidi
6 Siswa Budaja Sdr. Sutara Langenastran Lor -
7 Tjipto Budaja Sdr. A. Boedijono Kadipaten Wetan no. I /212 Jogja Subsidi
8 Dwi Budaya - Ngadisuryan 22 Jk -
9 Himpana siswa budaja S.D. Hoemardani Djl Sandilata 3 Subsidi
10 Sek Senitari Banaran Nj. Indrasoeganda Djl Sukun 29 Jogja -
11 Perkumpulan Kesenian Hadi Budaja - Patehan tengah R.K. -
12 IPPI Mantrijeron Wisnuwardana NDalem Surjaningratan Jogjakarta -
13 Kesenian Putra-putri Soebroto Djl. Ngadisurjan -
14 Kesenian Putra-putri Soemodiono Djl Wijilan 27 -
15 Muda Beksa Wirama RK Kritjak Kidul Kw /III -
16 Pena Sedya Karnapawaka Ketanggunagn Md 6 /101 Jogjakarta -
17 Pagujuban Setya Budaja KRT Djajawikata NDalem Djajawikatan Rotowidjajan -
18 Perkumpulan Kes. Djawa Eq. Pelajar SMP III Soewono Pudjokusuman Mg. V/38a. -
19 Langen Krida Budaya - Ambarukam Kab Sleman -
20 Taman kesenian Taman siswa - Wirogunan 31 Jogja -
21 TOAD Ngesti Wirama - Tedjokusuman -
22 Kursus Kes. Taman Siswa - Jl. Worogunan 32 -
23 Krida Beksa Tamtama Sdr. Salikun Staff Resimen Inf. ST. 13 Gondokusuman -
24 Panitiya kebudayaan - Kl. Jurangjero MPP Bgawen Wonosari -
25 Setya Kawan Darmosuwito Kakiman Wonosari -
26 Balai kesenian Rakyat”Langen Budaja” - Kab. Kulon Progog Wates JOgja -
27 Balai kesenian Rakyat Bantul - Kab. Bantul -
28 Suka Rena Kuncen (Kotagede Bantul Jogjakarta) -
BAGIAN SENI SASTRA
29 Musyawarah kesusastraan Sdr Moh. Dhelan Mangunegaran Kidul Jogjakarta -
30 Lembaga Seni sastra Sdr Surjana - -
31 Himpunan Peminat Sastra Islam -
32 Tunas Muda Sugiri Sastrohardjono Gamelan Lkidul 12 Jogja -
33 Rapsody Seni Sastra Kirdjomuljo D/a Studioi RRI Seecodinigreatan -
34 Laliuta Dara SMA A Jl Pakem yogya -
35 Enlish Departement Student Assosiation (EDSA) Jl Ngupasan 7 -
36 Loka-lika Kranggan 80 Jogja -
BAGIAN SENI DRAMA
37 Yayasan Akademi seni Drama dan Film Sompilan nDalem Pakuningratan) -
38 Perseroaan artis theater Sdr. Muzamir Tugu kulon 107 Jogja -
39 Himp Raksi seni Sdr Soekarno Jl Pakuningratan 31 Jogja -
40 Lingga Budaya Lutfi Sudiyono Tegal panggung 42a -
41 Nirwata putra Singgih Hadi Tjokronegaran Md. 3/211 Jogja -
42 Himpunan Artis Indonesia R Sudjarnadi Tjokronegaran Md 3 /211 Jogja -
43 Perkumpulan seni Drama himpunan Muda. Sdr Suwarno Lanagenardjan Kidul 1 Jogjarkarta -
44 Perk sanadiwara Kuntum Melati Sdr Haja Mulyadi Sajidan GM 5 / 241 Jogja -
45 Pen Permanent pertunjukkan S. Brojonegoro Sagan 116 Jogja
46 Pagujuban anggara kasih Rio Sudibjoprono Ngadiwinatan Ng 3 /87
47 Gabungan Ketoprak krida mardi Sdr. Supardi Mangkukusuman Md 22/223 JOGJA
48 Bag. Ketoprak Snadiwara dan Dagelan RRI Sdr tjokro -
49 Kemuning (CMJ) Sdr Supar Biljas Tjokronegaran Md. 3/211 Jogjakarta -
50 Perkumpulan kes. “Prono Baromo” Surdjawidjayan I / 143 Jogja -
51 Wayang Golek Modern -
52 Himp. Langen Mandra Wanara R. Ng. Sastrosuwignjo Ld. Tjokrodirjan Dn II /470 Jogja -
53 Institut Kebudayaan Indonesia Ir. Prabuningrat HL. Malioboro 67 Jogja Subsidi
54 Jajasan Drama dan Seni Sdr. A Barang Tugu Kidul 16 Jogja
ORGANISASI SENI RUPA
55 Ikatan siswa seni rupa - Bintaran lor no 12 Subsidi
56 Prabangkara Bintaran lor no 12 -
57 Seniman indoneisa muda Sdr Hardjadi Bangiredjo Taman no 20 Subsidi
58 Pelukis Rakyat Hendradjasma Sentulredjo 12 Subsidi
59 Pelukis Indoinesia Solihin Ld Tjokrodirjan Subsidi
60 Pusat Tenaga Pelukis Indonesia Djajengasmara Bintaran Lor 12 Subsidi
61 Pelukis Indonesia Muda - Bintaran Lor 12 Subsidi
62 Lekra - Pakuningratan 40
BAGIAN SENI SUARA
Orkes Gambus Amunir Sdr Moh Saleh Jl gerjen 50 -
Orkes Melaju Mataram Sdr. Mochamad Said Jl. Gerdjen 50 -
Perkumpulan Slawatan Mangunkarsan BIN Maliboro
Himpunan Musik Amateur Sdr. Mudaja Balapan 10 Jogja Subsidi
Bag. Gamelan Sudio RRI KI. Cakrawarsita Secodiningaratan 6 Yk -
Perkumpulan Kesenian Djawa Kerawitan pegawai Kotapraja Jogjakarta - Ngadiwinatan no. 5 -
Ork Radio Jogjakarta I Sdr. Suwandi Secodiningratan 6 -
Ork Radio Jogjakarta II Sdr.Sukimin Secodiningratan 6 -
Ork. Kroncong Segar Djelita Sdr. Nodakelana Secodiningratan 6 -
Ork. Kroncong Gabungan Sdr. Warsono Secodiningratan 6 -
Ork. Kroncong Mustiak Warna Sdr. Djanad Jagalan Beji no. 15 Yoyakarta -
Ork. Kroncong Peni Sdr Purwadi Gowongan Lor 5 / 128 -
Ork. Kroncong Tjahaya Muda Sdr. S. Gijarto Kebonan Kota gedhe -
Ork. Kroncong Pelipur Hati Sdr. Hardjono Ngasem Djojakarta -
77 Ork. Kroncong persegam Sdr. S. Wargo Gowongan Kidul 62. -
BAGIAN KEBUDAYAAN UMUM
78 Lembaga Kebudayaan Indonesia - -
79 Kursus Pedalangan Habiranda (Drama) - -
80 Irma Budaja - -
81 Keluarga Peladjar Bali - -
82 Keluarga Peladjar Sulawesi - Jl Merapi 4 Jk -
83 Keluarga Peladjar Maluku - Bintaran Tengah 8 -
84 Keluarga Peladjar Kalimantan - Jl. Jetishardjo 22 -
85 Keluarga Peladjar beringin - Bintaran Lor 126 -
86 Keluarga Peladjar Sumatra Utara - Jl. Margokridonggo 20 Jogjakarta. -
87 Badan Kontak Djawa Barat Kusnadi Bumijo -
88 Masjarkat Seni Indonesia R. karkono. Tugu Kulon 31. -
89 Islam Studi Club D/a Jasma Jl Tidar -
BAB VI.
DAFTAR KITAB-KITAB JANG DIKAJI
1. Babad Gianti, Kyai Jasadipura I.
2. Bijdrage tot de T.L. en Volkenkunde , zesde volgreeks, 8ste deel 1901
3. Bijdrage tot de T.L. en Volkenkunde , zesde volgreeks, IVde deel 1905
4. J. Groneman
5. DJAWA, Tijdschrift v.h. Java Institut tahun 1821,1922,1923,1935,1939,dan 1949
Pinjaman Perpustakaan Negara Yogyakarta
6. Tijdshrift voor Ned. Indie tahun 1838,1840, 1842,1844.
7. Java Volksvertooningen, Dr. Th. Vigeud
( Pinjaman Perwakilan Djawatan kebudajaan Jawa Tengah
8. TUS Padjang m dikeluarkan oleh Comite Jasadipura I.
9. Witjarakeras, Jasadipura II
10. Kalawarti Pedalangan tahun 1937, 1938, 1939, 1940.
11. In de Kedaton, J. Groneman.
12. Babad lan Mekaring Djoged , P.A. Surjodiningrat.
13. De javaanse danskunst, leylivelkd .
14. Sekitar Perang Gianti Diponegaran.
Gubahan ini dapat dilaksanakan atas bantuan darisaudara-saudara :
Ki Ng. Tjokrowarsita, R. Rio Soedibjapranan serta R. Soedarsa, Pringgabrata dan lain-lain
PERISTIWA –PERISTIWA PENTING
(oleh Pitojo)
I. = Hari Kelahiran II = Memegang Kekuasaan III = Mangkat
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO I
I. Jumat kliwon 16 Agustus 1717
II. a. 13 pebruari 1755
b. Diumumkan pada 11 Oktober 1755
III. 24 Maret 1792
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO II
I. Sabtu legi, 7 Maret 1750
II. a. 2 April 1792
b. pada 21 Desember 1810 turun tahta
c. pada 28 Juni 1811 bertahta lagi
d. pada tanggal 28 Juni 1812 dipaksa turun tahta oleh Rafles dan diasingkan ke pulau Pinang
e. Pada tahun 1816 oleh Pemerintah Belanda mengasingkan beliau dipindahkan ke Jakarta, stahun kemudian (1817) di pindah ke Ambon.
f. Pada 17 Agustus 1826 dikembalikan ke Surabaya. Kemudain atas persetujuannya komisaris Jendral Du Bus bertahta lagi.
III. 2 Januari 1828
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO III
I. Rebo-kliwon 14 Pebruari 1770
II. a. 16 Nopember 1814
b. 28 Desember 1811 turun tahta
c. 28 Juni 1812 bertahta lagi a
III. 3 Nopember 1814
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO III
I. Selasa legi 3 April 1804
II. a. 16 Nopember 1814
Pada waktu itu beliau baru berusia 11 tahun.
Yang menyelenggarakan pemerintahan (ngembani Bhs Djw) Sri Pakulama I .
b. 27 Januari 1820 mulai menjalankan pemerintahan sendiri
III. 6 Desember 1822
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO V.
I. Selasa-legi 25 Januari 1820.
II. a.19 Desember 1822.
-. Pada waktu itu beliau baru berusia 2 tahun yang menjalankan Pemerintahan
Dewan Mangkubumi terdiri dari:
1. Permaisuri Marhum Sri Sultan Hamengku Buwono III.
2. Permaisuri Marhum Sri Sultan Hamengku Buwono IV.
3. Pangeran Mangkubumi.
4. Pangeran Diponegoro.
5. Pangeran Murdaningrat.
6. Pangeran Panular.
b. sejak 17 Agustus 1826 turun tahta . Pemerintahan kembali ditangan Sultan Hameugku Buwono II.
c. 2 Januari 1828 bertahta lagi yang menjalankan Pemerintahan:
1. Pangeran Mangkubumi.
2. Pangeran Hadiwinoto.
Setelah perlawanan Pangeran selesai (1831) yang menjadi Paramp Pemerintahan (menjalankan Pemerintahan sementara Sri Sultan Hamengku Buwono V belum dewasa) Pangeran Mangkubumi, bergelar Penembahan Mangkurat. .
d. 26 Nopember 1836 Pemerintahan dipegang sendiri oleh Sri Sultan Hamen; Buwono V.
IV. 4 Juni 1855.
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VI.
I. Achad-pon 19 Agustus 1821.
II. 5 Djuli 1855.
III. 20 Djuli 1877.
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VII.
I. Senen-legi 4 Pebruari 1839.
II. 13 Agustus 1877.
Pada 29 Januari 1921 turun tahta (mBegawan).
Pada Achad-legi 30 Januari 1921 pindah ke Istana Ngambarukmo. III. 29 Desember 1931.
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VIII.
I. Rebo-wage 3 Maret 1880.
II. 8 Pebruari 1921.
III. 22 Oktober 1939.
SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX.
I. Sabtu-paing 13 April 1912.
II. Senen-pon 18 Maret 1940.
SRI PAKU-ALAM I.
I. 21 Maret 1764, 18 Puasa 1689 Rebo-wage.
II. 22 Juni 1812,- 11 Djumadilakir 1739, Senen-pon.
III. 19 Desember 1829, 22 Djumadilakir 1757, Sabtu-paing:
SRI PAKU-ALAM If
I. 25 Juni 1786, 27 Ruwah 1712 Achad-kliwon.
II. 4 Januari 1830, 9 Redjeb 1757, Senen-pon.
III. 23 Djuli 1858, 12 Besar 1786, Djum'at-kliwon.
SRI PAKU-ALAM III.
I:- 20 Desember 1827; 1 `Djumadilakir 1755, Kemis-paing.
II:' 19 Desember 1858, 13 Djumadilawal 1787, Achad-wage.
III. 17 Oktober 1864, 16 Djumadilawal 1793, Senen-pon.
SRI PAKU-ALAM IV.
I. 25 Oktober 1841, 10 Puasa 1769, Senen-kliwon.
II. 1 Desember Z$64, 2 Redjeb 1793, Kemis-pon.
III. 24 September 1878, 27 Puasa 1807, Selasa-pon.
SRI PAKU-ALAM V.
I. 23 Juni 1833, 5 Sapar 1761, Achad-wage.
II. 10 Oktober 1878, 43 Sawal 1807, Kemis-wage.
III. 6 Nopember 1900, 13 Redjeb 1830, Selasa-legi.
SRI PAKU-ALAM VI.
I. 9 April 1856, 4 Ruwah 1784, , Kemis-legi.
II. 11 April 1901, 21 Besar 1830, Kemis-paing.
III. 9 Juni 1902, 2 Rabingulakir 1832, Rebo-legi.
SRI PAKU-ALAM VII
I. 9 December 1882, 28 Sura 1812, Sabtu-kliwon:
II. 17 Desember 1906, 1 Dulkaidah 1836, Senen-pon.
III. 16 Pebruari 1937, 5 Besar 1867 Selasa-paing.
SRI PAKU-ALAM VIII.
I. 10 April 1910, 29 Mulud 1840, Achad-pon.
II. 13 April 1937, 1 Sapar 1868, Selasa-pon.
1746.
19 Mei, B.P.H. Mangkubumi, meninggalkan Surakarta bersama-sama dengan pengikutnya,diantaranya yang dalam perlawanannya memegang peranan penting adalah: BPH Hadiwidjojo,PangeranWidjil II, Pangeran Krapjak.
1749.
11 Desember, Pangeran Mangkubumi dinobatkan oleh pengikut-pengikutnya bergelar: Susuhunan Paku Buwono. Oleh sebab tempat penobatannya ada didesa Kebanaran (dalam daerah Sukawati-sekarang:Sragen dan Grobogan), maka gelar beliau biasa disebut juga : Susuhunan Kebanaran.
1755.
13 Pebruari, PerjanjianGianti dibubuh tanda tangan. Perjanjian itu biasa juga disebut „Palihan negari", sebab isi Perjanjian itu yang penting adalah „membagi Negara ”Metaram menjadi dua", sebagian dikuasai oleh Sri Susuhunan Paku Buwono III, ibukotanya di Surakarta, dan yang sebagian dikuasai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, beribukota di Jogjakarta. Dengan demikian, maka pada hari itu juga bisa disebut „hari kelahiran Negara Ngajogjakarta-adiningrat".
1756.
7 Oktober, Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Istana pesanggrahan Ngambar-ketawang, lk 7 km. Sebelah barat Kota Jogjakarta, ke Keraton. 1757.
- Tidak diketahui hari bulannya, sejak itu untuk kepentingan para Putera¬sentana, dan para hamba-hamba Kasultanan yang memegang pimpinan Negara, didirikan sebuah perguruan, yang diberi nama Sekolah Tamanan. Mata pelajarannya: Tata-Negara, sedjarah, kebudajaan dan ilmu pengetahuan ketentaraan.
1808. :
28 Djuli, H.W. Daendels mengadakan peraturan baru, yang isinya „merubah tata-cara Keraton". Peraturan itu menimbulkan reaksi yang sangat hebat, sebab pada hakekatnya „menurunkan kedudukan Sri Sultan dan para Putera sentananya, sebaliknya, mempertinggi kedudukan pihaknya kekuasaan asing.
1818. Tidak lagi diketahui hari bulannya, sejak itu dilakukan perubahan susunan Pengadilan yang berlaku didalam daerah Kasultanan. Residentiecourt, demikian namanya, dalam pengadilan baru itu, Residen duduk sebagai Ketua, anggota-anggotanya: Pepatih-dalem (Rijksbestuurder) dan 4 orang Bupati Najaka, sedang juru-basa(Translateur) duduk sebagai Panitera, merangkap Openbare ministerie.
1825. 20 Djuli, Pangeran Diponegoro mulai memimpin perlawanan.
1831. 11 Juni, mulai berlakunya pengadilan: Rechtsbank voor crimineel zaken en Residentie Raad.
1867. Sudah tidak lagi diketahui dengan pasti tentarig hari dan bulannya, dalam tahun itu telah terjadi gempa bumi yang sangat hebat, hingga merusakkan bangunan-bangunan diseluruh Kota Jogjakarta, diantaranya termasuk
Gedung kediaman Residen, Masjid besar dan Masjid Kota-gede, gedung¬-gedung kediaman Belanda dibelakang Benteng Vredesburgh.
Gedung kediaman Residen yang menjadi kurban gempa itu, letaknya ada diudjung Kota Jogjakarta sebelah Barat-Laut, ditepi jalan besar dari Magelang.
1872.2 Maret, jalan kereta-api N.LS., jurusan Semarang - Jogjakarta mulai dibuka dengan resmi. Letak setasiunnya di Lempujangan.
1876. `Mulai berlakunya Pengadilan ;,Criminele of gemengde zaken". 1887. 2 Mei, hubungan kereta-api S.S. ke Jawa -Barat mulai dibuka. 1890. Penerangan gas mulai dibuka. Kantor pusatnya ada di Patuk.
1897.17 Agustus, sekolah calon Guru (Kweekschool), yang terkenal juga dengan nama Sekolah Raja, mulai dibuka oleh Gubermen Belanda.
1903. Mulai berlakunya Pengadilan tersendiri untuk para Putera-sentana Sri Sultan Hamengku Buwono.
1908. Lahirnya Budi Utomo, atas usahanya marhum Dr. Wahidin Sudirohusodo dan kawan-kawannya. Marhum Kiai Hadji Achmad Dahlan termasuk juga seorang diantara pendiri Budi Utomo.
Inilah perkumpulan politik yang tertua dalam daerah Hindia Belanda. 1912. Dari pihak ahli-ahli kesenian, didirikan perkumpulan Habiranda, ialah semacam kursus pedalangan.
18 Nopember, lahirnya perkumpulan Muhammadiyah, atas usahanya Kiai Haji Achmad Dahlan dan kawan-kawannya. Beliau termasuk juga seorang diantara pendiri Budi Utomo.
1917. Perusahaan listrik mulai melebarkan sayapnya didalam kota, dengan perlahan mengoper kedudukan perusahaan gas. Peralihan ini selesai pada tahun 1921.
1918. Waterleiding yang sejak lama sudah mengalir kedalam benteng Vredesburgh, diperluas untuk umum, terutama berhubung dengan pembangunan kampung¬kampung Belanda di Kota-baru.
17 Agustus, oleh ahli-ahli seni tari, didirikan perkumpulan Kridabeksa-wirama, memberi pelajaran tari-tarian Jawa .
1922.
3 Djuli, lahirnya Taman-Siswa, atas usahanya R.M.Suwardy Suryaningrat (Ki Hadjar, Dewantara) bersama-sama dengan kawan-kawannya yang sepaham.
1925.
22 Pebruari, lahirnya PPKD.kemudian dirubah menjadi PPKL. sejak lahirnya Republik Indonesia, nama itu diganti menjadi PKRI. dan kemudian „Partai Katolik".
1927. R. Tagore, pendiri dan pemimpin Shanti Niketan di India, berkundjung di Jogjakarta, selain beliau bersilaturachmi ke Keraton dan ke Pura Paku¬alaman, juga berkundjung ke Padepokan Taman Siswa.
1928.
22 sampai 25 Desember, dilangsungkan konggres Wanita seluruh Indonesia yang pertama, dihadiri oleh berbagai organisasi Wanita.
Dalam konggres itu antara lain diputuskan bahwa sejak itu hari
22 Desember, didjadikan Hari Ibu, yang harus diperingati setiap tahun.
1929
. 4 April, berhubung dengan putusan Konggres Wanita seluruh Indonesia yang pertama tersebut diatas, atas usahanya Ny. Soekonto, isteri Dr. Soekonto, dengan bantuannya organisasi-organisasi sosial, terutama Taman-Siswa, Wanita Katolik dan Muhammadiyah, lahirlah „Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan Anak-anak". Belakangan perkumpulan P.4A. ini dipimpin oleh Ny. Soenarjati Soekemi. Inilah organisasi sosial yang per¬tama kali mendapat undangan untuk turut mengambil bagian didalam Konggres Anti Vrouwenhandel Internationaal, yang diselenggarakan oleh Volken Bond di Bandung pada tahun 1936.
19 Juni, barang-barang milik Ki Hadjar Dewantara dijual lelang oleh kantor belasting, karena Ki Hadjar Dewantara dianggap tidak suka membajar pajak rumah tangga sejak tahun 1922. Tetapi oleh pembeli-pembelinya, sesudahnya harga barang itu dibajar, barang-barang itu dikembalikan lagi kepada Ki Hadjar Dewantara.
25 September, Pemerintah Pakualaman telah mengeluarkan keputusan, membebaskan Ki Hadjar Dewantara dari beban membajar padjak rumah tangga sejak tahun 1922 dan seterusnya. Dengan demikian, uang padjak banyaknya F 76,80 - F 54,- .F 54,- dikembalikan kepada Ki Hadjar Dewantara.
28 September, perkumpulan Akhmadijah mulai mendirikan sekolah yang pertama. 1930. Lahirnya Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (P.S.S.L). atas usahanya Ir. Soeratin dan kawan-kawannya.
8 Pebruari, lahirnya Kepanduan Bangsa Indonesia (K.B.L).
1932.
17 September, lahirnya „Wilde School-ordonnantie", yang terkenal dengan nama „O.O. liar". Isinya sangat menekan kepada sekolah-sekolah partikelir, terutama kepada Taman Siswa, yang dalam kamus Alat kekuasaan Negara dimasa itu, merupakan perguruan yang menyebar dan menanam benih-benih yang sangat berbahaja.
1 Oktober, Ki Hadjar Dewantara dengan atas nama Taman-Siswa seluruh Indo¬nesia, mengirimkan kawat pada G.G. maksudnya menentang „O.O. liar" itu, dan dengan bagaimana juga , akan dilawannya.
2 Oktober, Mr. Kiewiet de Jonge, Kuasa Pemerintah Hindia Belanda mengun¬djungi Ki Hadjar Dewantara, dengan maksud untuk membudjuk, supaya Ki Hadjar Dewantara berlaku lunak, tetapi oleh Ki Hadjar Dewantara ditolaknya dengan mentah-mentah.
1938.
16 Nopember, pendapa Taman Siswa, selesai dibangun, diresmikan oleh Nyi Hadjar Dewantara, dengan sembojan „Rawe-rawe rantas malang-malang putung". 1935, 6 Nopember, oleh Jav. Instituut diresmikan berdirinya Museum Sana Budaja. 1942. 28 Pebruari, para Opsir-opsir Belanda dan soldadu-soldadunya sama meninggalkan Jogjakarta, menudju ke Cilacap, dengan maksud akan melarikan diri ke Australia.
3 Maret, Tentera Jepang datang, bersama-sama dengan barisan Propagandanya. 8 Maret, Komendan Tentara Jepang mulai mengadakan pendaftaran pada orang-orang asing, termasuk juga orang-orang Tionghoa.
10 Maret, gedung Seminari didjadikan kantor Kochi, gedung Hoakiauw Socie-teit didjadikan kantor Barisan Propaganda, Societeit de Vereeniging didjadikan kamar bola (Kemudian dinamakan Balai Mataram), dan gedung Gubernuran didjadikan Chokan kantai.
1945. 10 Mei, Perguruan Tinggi Islam di Jakarta dipindah ke ,Jogjakarta.
17 Agustus, kantor Senden Bu (Barisan Propaganda) menjadi ribut, karena kantor berita Domei yang merzempati bagian atas dari kantor itu, mendapat berita, bahwa Presiden Soekarno dan Wk. Presiden Drs. Moh. Hatta, telah memproklamirkan lahirnya „Republik Indonesia". Berita itu mula-mula akan disiarkan, tetapi belakangan diterima kawat dari Gunseikan Bu, melarang tersiarnya berita proklamasi itu. Sungguhpun demikian, berita itu sekedjap mata telah merata, sebab Wartawan-wartawan yang mendengar berita yang menggembirakan itu telah berhasil menyiarkan ke Masjid Besar dan Masjid Pakualaman, dalam saat Umat Islam sama berserribah yang Djum'at, Sorenya, Ki Hadjar Dewantara dengan bersepeda memimpin arak-arakan murid Taman Siswa.
5 September, Sri Sultan Hamengku Buwono IX membuat amanat, dinyatakan bahwa daerah Kasultanan Jogjakarta, sejak saat itu diumumkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta, yang merupakan sebagian dari Negara Republik Indonesia. Bersamaan dengan itu, Sri Pakualam VIII juga membuat amanat yang isinya serupa.
5 Oktober, berdirinya Badan sensor, terdiri dari
Wakil Pemerintah Kasultanan,
„ Pakualaman,
„ K.N.I, darurat,
„ Pusat Kepolisian,
„ Polisi Kota,
„ B.K.R.,
„ B.P:U:,
„ Wartawan dan Pers,
„ Beritawan Radio,
„ . Kantor pos,
„ Persatuan usaha Sandiwara Indonesia,
„ Peredaran pilem Indonesia,
„ Kantor tilpun,
„ Kantor tilgram.
13 Oktober, dikeluarkannya perintah dari Kepala Daerah, untuk menyerahkan tanda-tanda lambang kebaktian Pemerintah Balatentara Jepang, surat-surat pujian; vandel, tanda penghargaan dan tanda-tanda jabatan Jepang
17 Oktober, mulai dilakukan pembagian bahan pakaian kepada rakyat. Usaha ini disambut oleh rakyat dengan penuh kegembiraan, sebab sejak pendudukan Jepang , rakyat banyak- yang hampir telanjang.
20 Oktober, pembentukan Laskar Rakyat sebagai pembantu Tentara 'Keamanan Rakyat.
30 Oktobef, amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII ; mendemokrasikan Pemerincah Daerah Istimewa Yogyakarta
25 Nopember, penyerangan udara, oleh Kapal L: dara Inggris R.A.F., yang djadikan bulan-bulanan, gedung Radio.
27 Nofiember, penyerangan udara yang kedua, hingga gedung Radio dan gedung Sana Budaja mendapat kerusakan besar. . .
6 Desember, mulai menyusun Dewan Kalurahan.
1946.
12 Pebruari, semua badan-badan executif daerah yang didirikan oleh Pementah Balatentara Jepang , diserahkan kepada K.N.I. daerah:
13 Mei, lahirnya:
1. D.P.R.D. di kota Jogjakarta.
2. D.P.R.D. (Dewan Kota) di kota Jogjakarta.
3. D.P.R. Kabupaten (Dewan Kabupaten) di kota-1 Kabupaten.
4. D.P.R. Kalurahan (Dewan Kalurahan) ditiap Kalurahan.
29 Juni, penghapusan pajak kepala.
3 Juli, terdjadinya percobaan akan coup Pemerintahan, tetapi tidak berhak; Oleh Alat-alat Kekuasaan Negara dilakukan banyak penangkapan.
4 Januari, Presiden Soekarno, Wk. Presiden Hatta dan beberapa orang Men serta stafnya, pindah dari Jakarta, mulai menempati Ibukota Jogjakarta sejak itu Ibukota Kabupaten Jogjakarta menjadi Ibukota Repu Indonesia.
Presiden menempati bekas gedung Gubernur, dan Wk. Presiden menempati bekas gedung Assistent Resident-Afdeelingshoofd (Hoofd van Plaatselijk Bestu)
17 Jjanuari, dilangsungkan perajaan besar-besaran, guna memperingati setengah tahun berdirinya Republik Indonesia.
2 Maret, Presiden memerintahkan kepada Sutan Sjahrir, supaya membentuk Kabinet Baru.
3 Maret, Kabinet Baru terbentuk, Sutan Sjahrir duduk sebagai Perdana Mentri
12 April, Indonesia menawarkan beras 500.000 ton kepada Pemerintah India sekedar untuk meringankan bahaya kekurangan bahan makanan yang diderita oleh Rakyat India.
17 Mei, lahirnya Angkatan Udara Republik Indonesia.
18 Mei, Utusan Pemerintah India, K.L. Punyabi, tiba di Jogjakarta. Kedatannya perlu untuk merundingkan tawaran Indonesia membuat barter dengan barang-barang textiel. Disamping itu juga untuk melihat kenyataanya adakah tawaran itu benar-benar ada „padinya", atau hanya omong kosor Karenanya utusan itu juga memeriksa padi-padi yang sudah disedia untuk barter itu.
14 Agustus, Presiden memberi perintah kepada Sutan Sjahrir, untuk memben Kabinet yang berdasarkan „Kabinet Nasional''. Usahanya berhasil. Sutan Sjahrir tetap menjadi Perdana Menteri.
17September,dilangsungkan konperensi Indonesia-Tionghoa. Sebagai salah-satu dari hasilnya, adalah berdirinya Lembaga Indonesia Tionghoa, yang dipimpin oleh Moh. Tabrani.
2 Oktober, Kabinet Sjalirir jatuh .
5 Oktober, Ulang Tahun Angkatan Perang yang pertama. Dialun-alun diadakan parade besar-besaran.
1947.
3 Djanuari, segolongan putera-putera Indonesia yang sejak lama ada di Negeri Belanda, datang bersama-sama, diantaranya terhitung juga Dr. Setya Budi, Rustam Effendi d.l.l.
1 Pebruari, konperensi antara Pemerintah (dari Kementerian Dalam Negeri) dengan peranakan-peranakan Belanda.
13 Maret, Moh. Abd. Mopnem, Konsul Jendral Mesir berkundjung di Jogjakarta.
1 April, Sutan Sjahrir berangkat ke New Delhi, dengan pesawat terbang yang sengadja dikirim oleh Sri Nehru.
28 Mei, Misi Pemerintah Belanda yang dipimpin oleh van Idenburg, tiba di Jogjakarta.
6 Juni, Konsul Jendral Inggris, Mr. Mitcheson dan Vice Konsul Lambert, berkundjung di Jogjakarta.
21 Juni, Menteri-menteri: Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjariffudin dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, bersama-sama berangkat ke Jakarta . Suasana politik diwaktu itu mulai panas.
25 Juni, sidang Kabinet menindjau politik Sjahrir. Suasana sidang sangat panas.
26 Juni, Kabinet Sjahrir jatuh . Suasana makin panas sekali.
30 Juni, Mr. Amir Sjariffudin, Dr. A.K. Gani, Dr. Sukiman dan Setiadjid, ditunjuk oleh Presiden untuk membentuk Kabinet Baru, dengan diberi batas waktu sampai 1 juli, sedang ex P.M. Sutan Sjahrir diangkat menjadi Penasehat Presiden.
1 Djuli, pembentukan Kabinet yang dilakukan oleh 4 orang formateur tersebut di atas tidak berhasil.
Pada hari itu jam 23 Presiden menunjukMr. Amir Sjariffudin, Dr. A.K. Gani dan Setiadjid untuk berusaha sekali lagi dengan diberi batas waktu sampai 3 Djuli, tengah hari.
3 Djuli, usaha 3 orang formateur itu berhasil. Mr. Amir Sjariffudin dalam Kabinet yang dibentuknya itu, duduk sebagai Perdana Menteri.
5 Djuli, Sutan Sjahrir meletakkan djabatannya sebagai Ketua Delegasi.
29 Djuli, Dakota milik Patnaik, yang membawa obat-obatan untuk Palang-Merah Indonesia, dari Singapura, ditembak jatuh oleh Angkatan Udara Belanda. Karenanya Hadi Soecipto, Dr. Abd. Saleh, Hadi Soemarmo, Wirjokusumo, ex Wing Commander Constantine, Ny.Constantine ex squadron leader Haxelhurst, meninggal dunnia. Djenazahnya semua diusung ke Rumah-Sakit Petronella, dimakamkan den.Lyan upatiara kebesaran Militer.
5 Agustus, berkenaan dengan clash pertama yang dijalan kan oleh Belanda pada 21 Djuli 1947 di Jawa Timur, atas usaha Sri Sultan Hamengku Buwono IX, diterbitkan harian darurat, bahasa Jawa, terbit pada tiap-tiap pagi, disiarkan keseluruh Jawa Tengah dengan cuma-cuma. Harian itu namanya Mataram, diasuh oleh para Wartawan dan beberapa orang pegawai Penerangan, staf redaksinya dipimpin oleh Wartawan Darmosugito, dan tehniknya oleh wartawan Pitojo Ds.Semuanya tanpa honorarium. Isi Mataram yang terutama untuk memberikan penerangan tentang perjuangan kita pada masyarakat, berdasarkan berita-berita radio dari luar negeri yang mengabarkan pandangan dunia Internasional atas perdjuangan Republik Indonesia. Selain itu juga untuk menentang propaganda dan berita-berita yang disiarkan oleh harian Nanggolo yang diterbitkan oleh orang-orangnya van der Plas (dari Jawa Timur), yang tersiar disegenap penjuru. Mataram tiada diterbitkan lagi setelah ada persetudjuan Renville.
26 Agustus, kiriman obat dari India tiba, dihantarkan oleh Dr. P.L.Nirula, Dr. Ec. Senda, Dr. S.K. Rey.
30 Agustus, lahirnya Internationale Brigade, dibawah pimpinan Abdulmazid Khan (India),Dr. Estrada (Pilipina),Tony Wen (Tionghoa) dan Adnan (Malaya).
10 Nopember, Badan konggres Pemuda Republik Indonesia mengandjurkan supaya hari 10 Nopember diresmikan menjadi „Hari Pahlazean".
28 September, „Panitya enam lionsul" yang terdiri dari Konsul-konsul Amerika, Inggris, Tiongkok, Perancis, Australia, Belgia, di Jakarta , tiba di*Ibukota Jogjakarta.
29 Oktober, 3 orang anggauta K.T.N. dengan stafnya sama mengundjungi Jogjakarta..
11 Nopember, perubahan Kabinet, Masjumi mulai turut mengambil bagian: 1948.
11 Djanuari, K.T.N. mulai mengadakan perundingan untuk penghentian tembak-menembak.
23 Djanuari, Kabinet Amir Sjariffudin jatuh .
Presiden menunjuksupaya Wk. Presiden Hatta membentuk Kabinet baru. Kemudian beliau duduk sebagai P.M. dalam kabinet baru itu.
24 Djanuari, lahirnya LP.P.I. ialah gabungan dari berbagai macam organisasi pelajar.
8 Pebruari, Misi Negara Indonesia Timur, yang dipimpin oleh Mononutu tiba di Jogjakarta.
17 Maret, gerakan pembrantasan „buta huruf" diresmikan oleh Presiden dengan upacara besar-besaran di Alun-alun.
26 April, Sidang BP.KNIP. menerima usul „penghapusan peraturan tanah konversi".
29 Juni, Pemerintahan Kota Jogjakarta dioper oleh Pemerintah Militer. Pemerintah Militer Kota berakhir pada bulan Agustus 1950.
11 Agustus, Suripno, (seorang pemuda berasal dari Klaten, yang sebelum perang dunia kedua, dibiayai oleh Studiefonds Kasunanan (Surakarta) untuk meneruskan pelajarannya ke Negeri Belanda, tetapi kemudian ia meninggalkan Negeri Belanda, menuju ke Rusia) tiba di Jogjakarta. Kedatangannya bersama-sama dengan seorang lewat tengah tua, bernama Suparto, yang kemudian ternyata adalah Muso, seorang jago PKI yang sejak lama meninggalkan Jawa Timur.
17 Agustus, Presiden Sukarno memberi pengampunan kepada 145 orang Pemimpin yang ditangkap karena mengambil bagian dalam peristiwa „3 Djuli". Benteng Vredesburgh dihancurkan secara simbolis. yang menjalankan upacaranya Ki Hadjar Dewantara.
22 Agustus, dalam rapat umum di Alun-alun, Muso menuntut supaya perundingan antara Pemerintah RI dengan Belanda dihentikan, dan barang milik Belanda yang ada di Indonesia, disita semua.
28 Agustus, dilangsungkan konggresnya para Dokter penyakit mata, di Ibukota Jogjakarta.
18September ,berhubung dengan meletusnya peristiwa Madiun, dalam Ibukota Jogjakarta dilakukan banyak penangkapan. Sementara itu semua Alat Kekuasaan Negara dikerahkan, untuk menghadapi segala kemungkinan.
1 Oktober, dalam amanatnya dicorong Radio, Presiden Sukarno menyatakan, bahwa Pembrontakan Muso, adalah tragedi Nasional".
5 Oktober, Hari Angkatan Perang III, dirajakan besar-besaran. Diadakan parade di Alun-alun. Dalam amanatnya yang diucapkan pada perajaan itu, antara lain Presiden Sukarno menyatakan harapannya „Supaya perkembangan Angkatan Perang menuju kepada kesatuan Komando, sedang sifat pertahanan, harus berdasarkan „Pertahanan Rakyat".
12 Oktober,Goodwill MissionPakistan tiba di Ibukota Jogjakarta. Maksudnya yang terpenting untuk merapatkan persahabatan.
15 Oktober, Mr. Cochran, Sutan Sjahrir dan Darmasetiawan tiba di Jogjakarta.
4 Nopember, Wk. Presiden Hatta menyatakan bahwa suasana politik sangat djelek, mengingatkan keadaan suasana sebelum 20 Djuli 1947.
x Stikker datang, untuk merundingkan beberapa soal yang berkenaan dengan „Perundingan Kaliurang". '
17 Nopember, Jendral Major Urip Sumohardjo, meninggal dunia dalam usia 55 tahun.
2 Desember, Mr. Cochran mendjemput Wk. Presiden Hatta, untuk mengadakan perundingan di Jakarta .
7 Desember, Mr. Chritchley datang, perlu mengundjungi Wk. Presiden Hatta,
19 Desember, Tentara Belanda menyerang Ibukota Jogjakarta. Tentara pajung mereka turun didekat kota. Pada waktu itu di Gedung Negara sedang diadakan sidang Dewan Menteri, antara lain mengambil putusan: Menteri Kemakmuran Mr. Sjafrudin Prawiranegara yang kebetulan ada di Sumatera, diberi kuasa untuk mendirikan Pemerintahan R.I. Darurat.
Perintah semacam itu juga diperintahkan kepada Mr. Maramis dan Dr. Soedarsono, yang kebetulan ada di Luar Negeri. sejak itu Ibukota Jogjakarta diduduki Tentara Belanda.
Presiden, Wk. Presiden, Sutan Sjahrir, H.A. Salim dan lain-lain pembesar R.I. ditangkapinya,
a Jendral Besar Soedirman meninggalkan tempat kediamannya, keluar kota untuk memimpin Gerakan Gerilja. Lebih dahulu beliau singgah di Gedung Mangkubumen, untuk mengatur siasat.
x Mr. Hendramartana mati ditembak Belanda di jalan Mergangsan.
22 Desember, Presiden Sukarno, H. A.Salim dan Sutan Sjahrir diasingkan ke Brastagi, sedang Wk. Presiden Hatta, Mr. Moh. Roem, Mr. A.G. Pringgodigdo, Mr. Assaat dan Suriadarma diasingkan ke Bangka.
29 Desember, kamp-kamp, dan post-post pendjagaan Belanda didalam kota diserang oleh TNI. bersama-sama dengan barisan Gerilja, sehingga mendapat kerugian besar sekali.
1949.:
1 Pebruari, dikeluarkan putusan dari Kepala staf Angkatan Perang No. 1 LG.S.A./49, maksudnya: memobilisir Pemuda Pelajar. Diantara mereka sebagian besar adalah Pemuda-pemuda Pelajar yang bergabung didalam LP.P.I.
2 Pebruari, Letnan Wijono gugur di Sentul.
1Maret, Ibukota diserang oleh Gerilja yang kekuatannya l.k. 2000 orang. Kirakira jam 24 kekuatan tentara Belanda disapu bersih dari Ibukota. Ibukota diduduki oleh Gerilja kita sampai pagi hari, tetapi setelah matahari mulai memancarkan sinarnya, mereka sama menghilang. Serangan ini menyebabkan tentara Belanda tidak berani lagi pada malam hari bermalam didalam kota sebagai biasanya. Mereka bermalam di lapangan terbang Meguwo. Hanya mereka yang tidak volbloed dan bukan bangsa Belanda saja pada malam hari diharuskan tetap didalam kota.
Sebaliknya bagi pihak kita, serangan malam itu membangun kembali „kekecilan hati" Rakyat kita, hingga mereka tidak mempunyai alasan berkawatir untuk mengusir tentara Belanda dari Ibukota Jogjakarta khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
x Jendral Meyer, Dr. Argement (Dari Recomba Jawa-Tengah) Kolonel van Langen dan Stok (Bestuurs Adviseur Jogjakarta), menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono IX, untuk membicarakan soal keamanan. Ditolak mentah-mentah.
2 Maret, Jendral Spoor menindjau keadaan Ibukota Jogjakarta setelah tentaranya mendapat „Kemenangan".
3 Maret, BFO. menyatakan sikapnya, menyokong tuntutan R.I. supaya Pemerintah Republik Indonesia di Jogjakarta di kembalikan sebagai sedia kala.
9 April, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memberi keterangan kepada para Wartawan, membantah keterangan pihak Belanda, bahwa didudukinya. Ibukota Jogjakarta melulu untuk menjaga keamanan Rakyat. Sebaliknya Sri Sultan Hamengku Buwono IX menegaskan bahwa yang menyebabkan tidak aman adalah kedatangan Belanda, kata beliau, oleh sebab itu kalau Belanda meninggalkan Ibukota Jogjakarta dengan sendirinya keadaan akan kem menjadi aman lagi.
11 April, Sri Sultan Hamengku &azvono IX berangkat ke Jakarta untuk kepen tingan pengembalian R.I.
13 April, Mr. Moh. Roem memberi keterangan kepada Wartawan U.P. antara lain dikatakan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersedia mengorganisir Pemerintahan di Jogjakarta dalam tempo 24 jam, yang keamanannya akan dijamin oleh Polisi Negara R.I
20 April, mulai jam 22 sampai dekat pagi, Ibukota Jogjakarta diserang oleh Gerilja. Akibatnya, pihak tentara Belanda mendapat kerugian besar.
21 April, Hari Kartini dirajakan didalam rumah pendjara Wirogunan oleh para tahanan politik. Selain lagu Kartini, lagu Indonesia Rajapun berdengung juga .
28 April, sekali lagi Sri Sultan Hamengku Buwono IX berangkat ke Jakarta, terus ke -Bangka, mendjumpai Wk. Presiden Hatta.
27 Mei, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang oleh Pemerintah R.I. sudah diangkat menjadi Menteri Negara Ko-ordinator Keamanan dalam, Negeri membuat pengumuman, „bahwa sesudah tentara Belanda mengundurkan diri, semua Rakyat, termasuk juga Warga Negara keturunan Asing, demikian juga orang-orang yang bekerja pada Pemerintah Federal, keamanan dan keselamatannya akan dijamin".
28 Mei, dalam kesibukan mempersiapkan pemulihan R.I. di Gedung Kepatihan, tiba-tiba pihak Belanda menyerbu, melakukan penangkapan-penangkapan, dan mem.beslag surat-surat. Berhubung dengan itu Sri Sultan Hamengku Buwono IX membuat protes.
1 Juni, dua orang Mahasiswa puteri, Astuti Ds. dan Ety Sm. yang ditangkap Belanda sejak 25 Pebruari 1949 karena dituduh mengambil bagian dalam gerakan Gerilja, tetapi oleh Raad van Justitie Jawa Tengah dibebaskan, sungguhpun demikian masih di Stadsarrest di Semarang, atas protesnya Menteri Negara Ko-ordinator Keamanan Dalam Negeri, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dipulangkan ke Ibukota Jogjakarta dengan kapal udara.
25 Juni, tentara Belanda mulai ditarik dari Jogjakarta.
29 Juni, Ibukota Jogjakarta ditinggalkan oleh Tentara Belanda.
Dalam tempo 24 jam, penduduk didalam Ibukota Jogjakarta dilarang keluar rumah. Tindakan itu perlu diambil, berhubung dengan mundurnya Tentara Belanda meninggalkan Jogjakarta.
30 Juni, kekuasaan Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta kembali ditangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Menteri Kasimo, Prawoto Mangkusasmito, keduanya Anggauta B.P. K.N.IP. pulang dari Daerah Gerilja. Dengan pesawat Unci dari Jakarta, Moh. Natsir, Mr. Sartono., Lacuba dan Gusti Djohan pulang ke Ibukota, dari Daerah Gerilja.
5 Djuli, untuk menyambut kedatangan Presiden, Wk. Presiden Hatta cs., maka datanglah dari Jakarta : Mr. Cochran, Mr. Critchen, Mr. Herremans, Prof. Mr. Dr. Soepomo dan Darmasetiawan.
6 Djuli, Presiden Sukarno, Wk. PresidenHatta dan kawan-kawannya yang dahulu diasingkan keluar Jawa, tiba di Ibukota Jogjakarta. Dilapangan terbang Maguwo disambut oleh Rakyat dengan penuh kegirangan. Dalam perjalanan ke Gedung Negara, mobilnya sengaya dijalankan dengan perlahan, untuk memberi kesempatan kepada Rakyat, yang penuh sesak disepanjang tepi jalan, menyampaikan hormatnya.
10 Djuli, Mr. Sjafrudin Prawiranegara, Mr. Loekman Hakim, tiba di Ibukota dari Sumatera. Jendral Besar Soedirman kembali dari daerah pedalaman, dimana beliau memimpin Gerilja. Sungguhpun didalam keadaan sakit payah, tetapi semangatnya masih tetap sebagai baja.
13Djuli, Mr. Susanto Tirtoprodjo dan Susilowati, keduanya anggauta B.P.KNIP datang dari Daerah Gerilja. Mr. Sjaf'rudin Prawiranegara menyerahban mandaatnya kepada Presiden Sukarno.
14-18Djuli, konperensi pemuda seluruh Indonesia, yang mengambil bagian 28 organisasi pemuda.
15Djuli, Mr. Kosasih dikirim oleh Ketua B.F.O. ke Jogjakarta, untuk membicara¬kan tentang kesulitan-kesulitan berkenaan dengan bakal berlangsungnya konperensi Antar Indonesia.
16 Djuli, rombongan Pemerintahan Daerah Istimewa Jogjakarta, dengan dipimpin oleh Sri Pakualam VIII melakukan penindjauan ke daerah-daerah peda¬laman.
17 Djuli, Dr. van Royen, Ketua Delegasi Belanda, datang untuk menghadap Presiden Sukarno. Di Gedung B.P. KNIP, Komd. Wehrkreise, menyerahkan tugas keamanan Negara kepada Polisi Negara R.I. Jam malam yang semula mulai jam 20 sampai jam 5 pagi, diundur mulai jam 22 sampai jam 5 pagi.
Utusan-utusaru B.F.O. yang akan mengundjungi konperensi Antar Indonesia sudah mulai datang.
19 Djuli, resepsi pembukaan konperensi Antar Indonesia.
20 Djuli, 13 orang tahanan politik tiba di Ibukota Jogjakarta: Mr. Subardja, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Dr. Cooa Siek Ien, Ir Thajib, Siauw Giok Cwan, Adam Malik, Sajuti Melik, Maruta Nitihardja, Pujung Siregar, M. Djoni, Abikusno Cokrosujoso, A. Qudus.
21 Djuli, perhitungan jiwa seluruh daerah, dilakukan dengan serentak.
-x Penyerahan resmi barang-barang textiel sumbangan dari N. I. T. kepada Menteri Kasimo, barang-barang sumbangan itu beratnya 50 ton.
22 Djuli, konperensi Antar Indonesia, antara lain telah mengambil putusan: menyetudjui RIS. memakai bendera „Sang Merah Putih" lagu kebangsaan „Indonesia Raya", dan memakai bahasa persatuan „Bahasa Indonesia".
24 Djuli, Persatuan Istri Tentara dipimpin oleh Ny. Hidajat, menghadap Sri , Sultan Hamengku Buwono IX, untuk melahirkan terima kasihnya atas djasa-djasa Sri Sultan Hamengku Buwono IX selama memegang pimpinan keamanan.
26 Djuli, pertemuan antara Delegasi R.I. dengan Delegasi Belanda, membicarakan pelaksanaannya „Penghentian tembak-menembak". Ac jam malam tidak lagi dimulaikan jam 22 sampai jam 5 pagi, tetapi mulai jam 24 sampai jam 5 pagi.
27 Djuli, sembah yang Idul Fitri besar-besaran di Alun-alun Utara, Presiden Sukarno dan Wk. Presiden Hatta turut serta juga .
1 Agustus,Wk. Presiden Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX berangkat ke Jakarta. Di lapangan terbang disambut oleh rakyat Jakarta dengan penuh kegirangan luar biasa sekali. Kedua Pemimpin Besar itu setelah turun dari kapal udara terus didukung ra.kjat.Pekik merdeka mengguntur hebat sekali.
3 Agustus, Penglima Tertinggi memerintahkan „Penghentian Permusuhan".
• Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Sri Mangkunegara tiba di Ibukota Jogjakarta,untuk menerima keangkatan beliau menjadi anggauta penasehat konperensi K.M.B.
• Palar Wk. Pemerintah Republik Indonesia di P.B.B. tiba.
• Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Wk. Ketua Dewan Pertimbangan Agung.
9 Agustus, Wakil dari Palang Merah Internasional tiba. * Sri Paku-Alam dilantik sebagai Letnan Kolonel.
x- Sri Paku-Alam VIII dilantik menjadi Gubernur Militer V.
16 Agustus, Sri Sultan Hamengku Buwono IX membuat amanat, maksudnya untuk memelihara Kemerdekaan, yang sangat penting harus kita dapat memelihara kesatuan bangsa kita seluruh Indonesia. Sedang kepada para Pemimpin diperingatkan supaya insyaf atas kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya yang telah lalu kejujuran merupakan pegangan dalam melakukan darma, memimpin rakyat.
25 Agustus, In R.M. Soepardi Prawironegoro dan Dr. Helmi, diutus kekonggres Ecafe yang diadakan di Bangkok.
27 Agustus, konperensi Wanita seluruh Indonesia.
X Wakil Dir. Indian Overseas Bank, tiba di Jogjakarta untuk membicara¬kan kemungkinan-kemungkinan membuka cabang kantor di Indonesia. 8 Oktober, konperensi Palang Merah seluruh Indonesia.
15 Oktober, konperensi Pendidikan Antar Indonesia.
10 Nopember, Pemerintah memberi tanda jasa kepada 300 Gerilja, berupa Bintang Kehormatan.
14 Nopember, Wk. Presiden Hatta tiba, dari Negeri Belanda. 22 Nopember, konperensi Tani seluruh Indonesia.
29 Nopember, lahirnya Kota-p Raja dan D. P. R.-nya.
30 Nopember, menteri Belanda: Stikker datang di Ibukota Jogjakarta, untuk menghadap Presiden.
6 Desember, sidang pleno K.N.I. yang dilangsungkan di Pagelaran, menerima baik tentang persetudjuan K.M.B.
7 Desember, umat Katholik seluruh Indonesia membuat konggres.
16 Desember, wakil-wakil dari Negara bagian membuat sidang di Bangsal Ke¬patihan, dengan suara bulat mereka memilih Bung Karno menjadi Presiden RIS.
17 Desember, penobatan Presiden RIS. di Sitinggil Jogjakarta.
20 Desember, Presiden Sukarno menunjukkepada Drs. Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Anak Agung Gede Agung dan Sultan Hamid II, untuk membentuk Kabinet R.LS. baru.
23 Desember, Delegasi Indonesia yang terdiri: Drs. Moh. Hatta, sebagai Ketua, anggauta-anggautanya Sultan Hamid II, Mr. Sujono Hadinoto, Dr,Suparmo, Mr. Dr. Kusumaatmadja dan Prof. Mr. Dr. Soepomo, berangkat ke Negeri Belanda untuk menerima pengembalian Kedaulatan Republik Indonesia. Delegasi Indonesia yang terdiri dari: Sri Sultan Hamengku Buwono IX. sebagai Ketua, anggauta-anggautanya: Anak Agung Gede Agung, -Mr. Kosasih dan Mr. Nioh. Roem untuk menerima pengembalian Kedaulatan Republik Indonesia dari Wakil Agung Mahkota, di Jakarta .
27 Desember, Mr. Asaat dilantik menjadi acting Presiden Republik Indonesia, berkedudukan di Jogjakarta.
28 Desember, dalam amanatnya yang diucapkan pada rapat samodera yang diadakan di Alun-alun. Presiden Sukarno antara lain mengatakan bahwa: „Jogjakarta menjadi termashurb oleh karena jiwa kemerdekaannya. Hiduplah terus jiwa kemerdekaan itu".
* Presiden Sukarno dan lain-lain Pemimpin Negara, berangkat ke Jakarta ,dan sejak itu Kota Jogjakarta kembali menjadi Kotapraja lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)